Konten Media Partner

Mulai Wartawan sampai Panglima Perang, Sosok Kartini Asli Banjar

21 April 2019 21:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ratu Zaleha, pahlawan Perang Banjar. Foto: istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Ratu Zaleha, pahlawan Perang Banjar. Foto: istimewa
ADVERTISEMENT
Reputasi heroik perempuan Banjar dalam pergerakan sudah terlacak sejak era pendudukan Belanda. Para kaum hawa turut aktif berjuang melawan kolonialisme asing. Selain tampil di medan laga, wanita-wanita tangguh asli Banjar ini juga bergerak dalam ranah jurnalistik.
ADVERTISEMENT
Sejarawan asal Universitas Islam Antasari Banjarmasin, Mursalin, berkata ada sejumlah tokoh wanita yang berjasa bagi Bumi Lambung Mangkurat, seperti Siti Sjahrijat. Siti seorang anggota Parindra yang lantang berpidato di Pasar Gatah Barabai.
Pidatonya untuk mengobarkan semangat juang perempuan agar bangkit sejajar dengan laki-laki demi melawan kolonialisme Belanda.
Nama wanita lain pejuang Banjar adalah Gusti Norsehan Djohansyah, Ketua Persatuan Tindakan Wanita Indonesia (Pertiwi). Gusti Norsehan sebagai istri dari Merah Djohansyah, pimpinan Perwani yang getol memperjuangan kemerdekaan 1945.
Adapula sosok Siti Aisyah, istri dari perintis surat kabar Soeara Kalimantan A. A Hamidhan. Siti menguasai bahasa Inggris, Belanda, Jerman, dan Prancis. Ia seorang jurnalis sekaligus pengasuh rubrik mingguan Soeara Iboe Kalimantan dengan nama pena Sri.
ADVERTISEMENT
"Rubrik tersebut kita ketahui berisi satu di antaranya adalah tentang cara perempuan menyelamatkan rumah tangga dari tantangan Perang Pasifik. Selain itu beliau juga merupakan seorang guru di Meisjes Vervolgschool," kata Mursalin kepada wartawan banjarhits.id, Minggu (21/4).
Adapun menurut ahli sejarah dari Universitas Lambung Mangkurat, Mansyur, cerita heroisme srikandi Banjar tempo dulu mulai dilupakan oleh generasi zaman now. Padahal ketika pecah Perang Banjar abad ke-19, pamor pejuang wanita mulai bermunculan di medan laga. Mereka tak canggung bertempur melawan penjajahan.
Mansyur merujuk sosok Siti Fatimah, wanita pemimpin pasukan Muning sampai ke administrasi Tanah Laut. “Tokoh ini muncul ketika menyeruak gerakan petani Tambai di daerah Tapin Hilir sekitar 1859 yang dipelopori oleh Aling," ucap Mansyur.
ADVERTISEMENT
Cerita hubungan Siti Fatimah dan Aling bisa dinukil dari tulisan Profesor Heliun Syamsudin. Ada dua versi cerita keterkaitan Siti dan Aling. Sosok Siti, konon, berstatus keponakan Aling. Adapun versi lain, Siti dikenal seorang kerabat jauh dari Aling.
Ketika awal Perang Banjar berkecamuk pada 1859, Fatimah menduduki panglima yang memimpin prajurit khusus perempuan. Ia membantu Aling yang bergelat Juntai Langit.
Sosok wanita tangguh lainnya Tumenggung Cakrawati alias Galuh Sarinah, wanita pejuang di kawasan Riam Kanan, Kabupaten Banjar. Gelar Tumenggung Cakrawati sejatinya nama suami dari Galuh yang gugur ketika Perang Banjar sebagai pengikut Pangeran Antasari.
Menurut Mansyur, sosok Galuh Sarinah kerap menunggang kuda dengan pakaian laki-laki. Pada Agustus 1861, Galuh Sarinah dan Tumenggung Antaludin pernah memimpin pertempuran di Gunung Pamotan dan Gunung Halau-halau.
ADVERTISEMENT
Pejuang lainnya merujuk sosok Ratu Zaleha yang ikut andil ketika Perang Banjar tahun 1859 - 1905. Pada masa perjuangan melawan kolonial Belanda, Ratu Zaleha memimpin pasukan wanita yang terdiri dari perempuan Banjar dan Dayak.
Ratu Zaleha, kata Mansyur, pendamping suaminya, Gusti Muhammad Arsyad saat Perang Banjar. Memimpin sekelompok pasukan, pasangan suami istri ini bahu membahu melawan setiap serangan Belanda di daratan dan aliran Sungai Barito.
“Daerah tersebut antara lain Bamban, Kalang Barat, Daratan Tinggi Baras Kuning, Sungai Manawing dan sekitarnya. Musuh yang dihadapi bukan orang sembarangan, tetapi Pasukan Marsose Belanda yang tangguh dan sudah terlatih secara militer," tutur Mansyur.