Konten Media Partner

Nasib Genting Rumah Lanting

24 Februari 2019 21:16 WIB
clock
Diperbarui 21 Maret 2019 0:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rumah lanting khas Suku Banjar di aliran Sungai Martapura, Kota Banjarmasin yang masih bertahan. Foto: Donny Muslim/banjarhits.id
zoom-in-whitePerbesar
Rumah lanting khas Suku Banjar di aliran Sungai Martapura, Kota Banjarmasin yang masih bertahan. Foto: Donny Muslim/banjarhits.id
ADVERTISEMENT
Rumah berpapan kayu itu berdiri di atas aliran Sungai Martapura. Aneka tanaman berjajar rapi di depan rumah kelir kombinasi putih-hijau ini. Beratap seng, rumah lanting itu masih bertahan di tengah perkembangan Kota Banjarmasin yang makin pesat.
ADVERTISEMENT
Eksistensi rumah lanting sebagai hunian tradisional khas Suku Banjar makin meredup digilas zaman. Di Banjarmasin, keberadaan rumah lanting boleh dibilang tinggal hitungan jari. Penelusuran wartawan banjarhits.id, Donny Muslim menguatkan asumsi bahwa pamor rumah lanting makin genting.
Rumah-rumah terapung itu kini cuma banyak tersisa di kawasan bantaran Sungai Martapura, Kelurahan Pasar Lama dan Kampung Sasirangan Seberang Masjid. Jumlahnya kisaran 14 unit rumah lanting.
Satu dari belasan rumah ini milik Husaini (62). Ketimbang rumah lanting milik warga lain yang sudah reyot dan berlumut, rumah lanting milik Husaini masih tampil nyentrik. Teras rumahnya dipagari. Bangunannya dicat kelir hijau dan putih.
Husaini bercerita bangunan berukuran 5x4 meter yang ditempatinya itu sudah dihuni sejak turun-temurun. "Kakek nenek saya sudah tinggal di sini sejak awal. Kami cuma melanjutkan dan memugarnya biar tidak punah," kata Husaini kepada banjarhits.id, Minggu (24/2).
ADVERTISEMENT
Husaini masih ingat betul menjumpai rumah lanting berjumlah ratusan di era 1960-an. Rumah ini berjajar di Sungai Martapura kawasan Pasar Lama, Seberang Masjid, Piere Tendean, hingga Sungai Baru. Lantaran tinggal belasan, Husaini berharap Pemko Banjarmasin tak lagi main gusur rumah lanting karena ikon budaya orang Banjar terhadap penyikapan kondisi geografis.
"Sekarang memang banyak berkurang. Orang-orang sudah modern ingin tinggal di darat. Tapi saya memilih bertahan. Selain karena menjaga warisan dari orang tua, kami juga tidak ingin warisan orang Banjar juga hilang," ujar Husaini.
Kepala Bidang Pengembangan Pariwisata Kota Banjarmasin, Khuzaimi membenarkan hanya ada 14 rumah lanting yang masih tersisa di Kota Banjarmasin. Dia menyebut pemerintah kota sudah berupaya maksimal mempertahankan rumah lanting sebagai destinasi wisata.
ADVERTISEMENT
"Itu sudah tercantum dalam Peraturan Walikota Banjarmasin. Kalau mengharap dipugar langsung oleh pemerintah kota, saya rasa sulit. Karena harus mendapatkan persetujuan dari mereka. Ya, biar mereka para pemiliknya saja yang mempertahankan," kata Khuzaimi.
Adapun Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (LKS2B) Kalimantan, Mansyur, berkata banyak sekali catatan sejarah dan literasi terkait keberadaan rumah lanting. Misalnya, pendapat sejarawan Idwar Saleh (1982) yang mengutip sumber Cina masa Dinasti Ming, menyebut terdapat rumah-rumah di atas air yang dikenal sebagai rumah Lanting (rumah rakit).
Sumber ini berasal dari catatan zang xie, dalam tulisannya dong xi yang kao tahun 1618. Demikian halnya ketika orang Eropa, Valentijn berkunjung ke Borneo. Valentijn menuliskan di Banjarmasin banyak sekali rumah dan sebagian besar mempunyai dinding terbuat dari bambu dan sebagian dari kayu.
ADVERTISEMENT
Rumah-rumah itu besar sekali, dapat memuat 100 orang, yang terbagi atas kamar-kamar. Rumah besar ini dihuni oleh satu keluarga dan berdiri di atas tiang yang tinggi.
Rumah lanting khas Suku Banjar yang masih bertahan di Sungai Martapura, Kota Banjarmasin. Foto: Donny Muslim/banjarhits.id
Cerita tentang rumah lanting lebih rinci dikemukakan Johanne Willi of Gais, ketika pertama kali mengunjungi kampung Tatas, Banjarmasin tahun 1730-an. Menurut Willy, kota Tatas (Banjarmasin) terdiri dari 300 buah rumah.
Bentuk rumah hampir bersamaan dan antara rumah satu dengan lainnya yang dihubungkan dengan titian. Alat angkutan utama pada masa itu adalah jukung atau perahu. Selain rumah-rumah panjang di pinggir sungai terdapat lagi rumah-rumah rakit yang diikat dengan tali rotan pada pohon besar di sepanjang tepi sungai.
"Eksistensi lanting dalam masyarakat Banjar memiliki salah satu nilai penting sebagai pelestarian kebudayaan yang dimiliki," kata Mansyur.
ADVERTISEMENT
Agar semakin menarik, dia menyarankan penataan keberadaan lanting harus dilakukan secara serius. Misalnya lewat program pembangunan rumah lanting dalam satu wilayah pinggiran Sungai Martapura yang ramah lingkungan, namun tidak mengabaikan aspek kesehatan masyarakat.