Beda Malpraktik dan Risiko Medis

Konten Media Partner
14 April 2018 12:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi dokter  (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dokter (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
*Penulis: Pribakti B (Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat dan Dokter RSUD Ulin Banjarmasin)
ADVERTISEMENT
Banjarhits.id - Gugatan dari masyarakat terhadap profesi dokter dengan tuduhan malpraktik seakan tidak henti-hentinya mencuat di pemberitaan publik. Aneka kasus yang menjadikan dokter sebagai pelaku malpraktik seolah menjadi ladang subur bagi media untuk dikupas dan diekspos layaknya pemberitaan para selebritis. Tuntutan keluarga korban tidak hanya ditujukan bagi pihak rumah sakit, namun lebih kepada penanganan yang dilakukan oleh pihak dokter terhadap pasien. Dari mulai tuduhan kesalahan diagnosis, kesalahan penanganan, hingga hal-hal yang bersifat administrasi di rumah sakit.
Harus diakui, masyarakat, termasuk para pengacara/ahli hukum, masih rancu mengartikan dua hal: malpraktik dan risiko medis. Ada yang risiko medis, tapi dianggap malpraktik. Demikian sebaliknya. Lalu apa beda malpraktik dan risiko medis? Secara harfiah, malpraktik terdiri dari dua suku kata: “mal” yang berarti “salah”, dan “praktik” yang berarti “pelaksanaan” atau “tindakan”. Sehingga malpraktik bermakna pelaksanaan atau tindakan yang salah. Jika melihat pengertian harfiah tersebut, kata “malpraktik” bisa dikenakan kepada siapa yang melakukan tindakan atau pelaksanaan atas dasar keahliannya.
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, istilah malpraktik lebih melekat kepada kalangan profesional, sehingga oleh beberapa ahli bahasa lebih banyak yang menggunakan istilah professional misconduct. Malpraktik adalah sikap tindak profesional yang salah dari seorang profesi, seperti dokter, insinyur, ahli hukum, akuntan, dokter gigi, dan dokter hewan. Malpraktik bisa diakibatkan oleh sikap tindakan yang tidak peduli, kelalaian, atau kekurangan keterampilan atau kurang kehati-hatian saat menunaikan kewajiban profesinya. Tindakan salah yang disengaja atau praktik yang bersifat tidak etis.
Dalam pemahaman awam, malpraktik lebih melekat kepada kesalahan tindakan yang dilakukan oleh dokter sehingga dikenal istilah “malpraktik medis”. Walaupun kata malpraktik secara hukum hanya dikaitkan dengan kelalaian medis, World Medical Association membuat batasan malpraktik yang sejalan dengan batasan Ikatan Dokter Indonesia (IDI): “adanya kegagalan dokter untuk menerapkan standar pelayanan terapi terhadap pasien, kurangnya keahlian, atau mengabaikan perawatan pasien, yang memicu cedera terhadap pasien." Lebih jauh soal malpraktik medis, istilah ini kemudian berkembang tidak hanya dikenakan kepada dokter semata, namun mengena kepada tenaga kesehatan lain.
ADVERTISEMENT
Ada istilah lain yang masyarakat belum memahami, atau bahkan tenaga medis sendiri pun belum paham apa istilah yang terjadi dalam pelayanannya. Ada yang dikenal dengan risiko tindakan medis yang memiliki makna sangat luas. Risiko medis terbangun dari kata “risiko” dan “medis”. Risiko sendiri berasal dari kata “risk” yang dalam bahasa Inggris berarti ada kemungkinan terjadinya sesuatu yang tidak baik di kemudian hari, situasi yang dapat membahayakan, atau mempunyai hasil yang tidak baik.
Sedangkan pengertian tindakan medis, mengutip Permenkes 290/Menkes/Per/III/2008, pengertiannya tindakan kedokteran adalah suatu tindakan medis, berupa preventif, diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan dokter atau dokter gigi terhadap pasien. Risiko tindakan medis dapat terjadi dalam setiap rangkaian proses pengobatan, seperti penegakan diagnosis, operasi, penentuan obat dan dosisnya, pasca operasi dan lain sebagainya. Risiko medis juga dapat terjadi di semia tempat fasilitas pengobatan misalnya rumah sakit, klinik, praktik dokter, apotik, dirumah pasien, di tempat umum (pada kegiatan imunisasi, bakti sosial misalnya), dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Mengacu beberapa literatur yang berkenaan dengan “medical risk” diketahui ada perbedaaan antara risiko relatif dan risiko mutlak. Risiko relatif tindakan medis artinya risiko itu bersifat individual dan tidak diperkirakan sebelumnya, sedangkan risiko multak bersifat umum. Artinya, semua orang yang mendapatkan tindakan medis itu akan mendapatkan risiko yang sama dan sudah diperkirakan sebelumnya. Risiko relatif dicontohkan dengan orang yang tanpa diketahui sebelumnya ternyata tidak tahan dengan suntikan antibiolotik penciline sehingga menyebabkan reaksi anafilaktik. Risiko mutlak, misalnya, rontoknya rambut setelah sering menjalani kemoterapi kanker.
Dalam perspektif medis, para dokter tidak dapat disalahkan bila terjadi kesalahan medis, kecelakaan medis, dan kelalaian medis. Hal-hal ini terjadi di luar kemampuan dan prediksi pasti dari dokter. Dokter sudah melakukan segala sesuatunya dengan benar dan mengacu Standar Operasional Pelayanan (SOP) yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi fasilitas pelayanan. Prinsip pelayanan kedokteran ditekankan kepada upaya, bukan pada hasilnya.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, dalam sumpah dokter dilafazkan “Saya akan berikhtiar dengan sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, gender, politik, kedudukan sosial dan jenis penyakit dalam menunaikan kewajiban terhadap pasien”. Ikhtiar berarti upaya yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan dengan mengutamakan kepentingan pasien.
Sisi lain yang menjadi pertimbangan dalam penetapan ada tidaknya tindakan pidana dalam malpraktik medis adalah harus ada unsur niat melakukan kejahatan. Sedangkan dalam menjalankan profesinya, setiap dokter terikat sumpah dokter yang mewajibkan setiap yang melafazkannya untuk menjalankan profesi luhur tersebut dan mempertanggungjawabkannya dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu, dalam perjalanannya sangat sulit membuktikan ada unsur pidana dalam akibat tindakan kedokteran.
Lalu apakah akibat pelayanan medis dapat dipidana? Jawabannya dapat. Sebab dalam pertimbangan hukum ada yang disebut “ benda tersebut yang berbicara” (the thing speaks for itself). Walaupun doktrin ini lebih banyak dipakai dalam perkara perdata, namun untuk kasus-kasus tertentu terkadang dipakai dalam perkara pidana. Seperti contoh kasus pembuatan surat kematian palsu yang langsung dibuktikan dengan tidak adanya jenasah yang diterangkan dalam surat, kesalahan mengamputasi, dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Untuk menekan kondisi yang tidak diharapkan dari pelayanan kedokteran, maka organisasi profesi berdasarkan amanah Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, mengajak seluruh anggotanya terus meningkatkan kompetensinya. Hal ini bertujuan memberikan mutu pelayanan yang terbaik bagi masyarakat. Kehati-hatian dalam melakukan pelayanan, dengan tetap mengikuti standar pelayanan yang ditetapkan serta melakukan upaya semaksimal mungkin berdasarkan kemampuan yang ada, tetap harus dikedepankan oleh setiap dokter yang memberikan pelayanan.
Pasien selaku pengguna layanan kedokteran mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan yang bermutu tanpa harus menuntut hasil. Namun, pasien juga memiliki kewajiban untuk secara kooperatif bersama dokter dan tenaga kesehatan lain untuk menghasilkan pelayanan yang tepat.
Pemahaman akan hukum kesehatan di negara yang telah berkembang, setiap sengketa pelayanan kedokteran diselesaikan melalui jalur nonlitigasi atau melalui mediasi. Melalui jalur mediasi dapat diperoleh win-win solution yang dapat memberikan manfaat bagai pasien atau keluarga dan dokter. Hal ini bukan berarti menutup tanggung jawab bagi dokter akibat dari seluruh tindakannya jika terbukti melakukan pelanggaran. Semoga bermanfaat. (*)
ADVERTISEMENT