Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
BANTHAYO.ID - Pukul 15.00 WITA. Kami diajak oleh Pali Jati berkunjung kerumah Nakiki. “Mari ikut saya. Saya akan antarkan kalian ke danggau mereka,” kata Pali Jati.
ADVERTISEMENT
Meskipun Bakiki dan Nakiki pasangan suami istri, tapi mereka tidak tinggal serumah. Bakiki memiliki rumah sendiri, rumahnya lebih sederhana, beratapkan rumbia dan berdindingkan papan. Sementara rumah Nakiki beratapkan dengan seng. Mereka sudah terbiasa mandiri sejak tinggal di hutan.
Sesampainya di rumah Nakiki, kami berbincang banyak. Melepaskan semua pertanyaan yang sejak tadi memenuhi isi kepala.
Cerita orang yang mengatakan jika mereka memakan hasil buruan secara mentah segera diluruskan oleh Nakiki.
"Amiyatiya debo hepotubua to delomo o'ayuwa (Kami tetap memasak di dalam hutan)," katanya Nakiki dalam bahasa Gorontalo. “Ami hepotubua lo ulongo, upilohutu lami mondo huta (Kami memasak menggunakan belanga yang dibuat dari tanah liat,” lanjutnya.
Nakiki mengaku diajarkan oleh orang tuanya dan orang tuanya diajari oleh buyutnya untuk membuat belanga tersebut.
Sambil menyelami ingatan, Nakiki mulai berkisah masa-masa hidupnya di hutan. Saat tinggal di hutan mereka membangun bivak yang beratapkan rumbia untuk bermalam.
ADVERTISEMENT
Sebelum mengenal pakaian, mereka hanya menggunakan daun rumbia untuk menutupi selangkangannya. Meskipun begitu, mereka tidak merasa kedinginan dan jarang sakit.
"Wanu woluwo tamo ngongoto, bopo tuluhelo to bihu lo tulu (Jika ada yang sakit, akan ditidurkan di dekat api hingga pagi)," jelas Nakiki.
Jika keesokan harinya, lanjut Nakiki, orang sakit tersebut belum sembuh juga, akan diberikan tanaman herbal yang banyak tumbuh liar di hutan.
Mereka juga tetap bertani saat di hutan. Menanam jagung yang akan dijadikan makanan ketika masa panennya tiba. Nakiki mewariskan ilmu bertani tersebut juga dari buyutnya.
Nakiki bercerita jika buyutnya adalah orang yang pertama kali menjadi polahi. “Tiyombu latiya tau lo panipi, bo tiyo ta donggo mootawa lo kambungu (Buyut saya berasal dari Panipi -- sekarang Kecamatan Batudaa--, hanya dia yang masih mengenal kampung).”
ADVERTISEMENT
Selain jagung, makanan pokok mereka adalah sagu yang tumbuh melimpah di rawa-rawa yang ada di hutan. Untuk lauk, mereka mengandalkan hewan buruan dan ikan yang diambil di sungai.
Tidak ada yang diistimewakan di kelompok mereka. Pria dan wanita sama, melakukan aktivitas berburu untuk bertahan hidup.
“Ami dudulota hepohumuta to wala’o lo dutula u to ayuwa (Kami berdua menangkap ikan yang ada di sungai-sungai kecil yang ada di hutan),” lanjutnya.
Hanya Nakiki yang aktif menjawab pertanyaan kami, Bakiki hanya terdiam karena sudah tidak ingat lagi dengan kehidupan waktu dihutan dahulu.
Saat ditanyakan tentang polahi yang memakan manusia, Nakiki membantahnya, “ja'o tutu (Itu tidak benar),” katanya.
Begitu juga dengan kesaktian mereka yang bisa menghilang saat diceritakan oleh warga pengambil rotan di hutan. Alasannya, mereka seperti menghilang, karena sudah menguasai betul jalan yang ada di hutan. Mereka juga takut bertemu dengan warga saat masih menjadi polahi, "ami olo mohe lo tau, wanu mo dunggaya ami monguwatio, lapata'o lato tumete'o (Kami takut dengan manusia, jika bertemu kami akan teriak dan segera lari menjauh dari tempat tersebut)."
Sebelum menetap di Balangga, mereka tinggal bersama kelompoknya yang ada di wilayah pertambangan. Belakangan mereka memisahkan diri dan memutuskan untuk bermukim di Balangga.
ADVERTISEMENT
Mereka tidak tahu pasti kapan mulai tinggal di Balangga, yang Nakiki ingat mereka mulai tinggal di tempat itu tak lama setelah berkenalan dengan Pali Jati.
"Kira-kira sekitar lima belas tahun lalu saya mulai mengenal mereka," timpal Pali Jati.
Pali Jati menjelaskan, jika ada warga yang ingin membuka lahan di Balangga, akan meminta izin kepada mereka. "Saya pun sebelum membuka lahan perkebunan ini, meminta ijin ke mereka."
Alasannya, karena mereka orang yang pertama kali bermukim di tempat tersebut, "mereka mengetahui seluk beluk yang ada di tempat ini," lanjutnya.
Meskipun begitu, Nakiki hanya mengelola lahan sekitar lima hektare dan dibagikan ke anaknya seluas dua hektare. Perkebunan mereka ditanami jagung, kentang, ubi, cabai dan bahan pokok lainnya untuk mereka konsumsi atau dijual di perkampungan.
ADVERTISEMENT
Setiap kamis Nakiki akan pergi ke pasar yang ada di perkampungan untuk menjual hasil perkebunannya atau sekadar membeli bahan pokok yang dibutuhkan.
Pernah sekali saat perjalanan ke pasar, sepeda motor yang di tumpangi Nakiki jatuh membuat mata kirinya lebam. Akibatnya dia harus menginap di rumah sakit ditemani oleh Bakiki.
"Teto boyito, hui madelo dulahu (Di tempat itu -- rumah sakit-- malam seperti siang, tidak bisa dibedakan," kisah Bakiki.
Tahun 2017 silam, Perusahaan HTI masuk ke Dusun Tumba, termasuk Balangga. Lahan Nakiki dan petani setempat masuk di wilayah konsesi milik HTI. Lalu mereka protes dan menolak memberikan lahan tersebut.
Jejak HTI di tempat itu bisa dilihat dari jalan besar yang mereka bangun dan pohon-pohon tumbang yang ada di sekitar jalan.
ADVERTISEMENT
Tak terasa cakrawala mulai berganti senja, malam hampir tiba, Nakiki mengajak kami ke rumah anaknya. Nama anak itu Sidu, rumahnya tidak jauh dari rumah Nakiki.
Mengetahui kami akan menginap di dangau milik Pali Jati, Sidu mengajak kami untuk bermalam di tempatnya.
"Menjelang senja seperti sekarang, petani yang bermalam di Balangga akan berkumpul di tempat saya, sebaiknya tinggal bermalam disini saja," ajak Sidu.
Saat malam hari, lanjut Sidu, suhu di balangga sangat dingin, terutama untuk orang yang baru pertama kali bermalam seperti kami.
Balangga sendiri terletak di lereng Gunung Boliyohuto. Gunung dengan ketinggian kurang lebih 2072 Mdpl itu nampak kokoh bersanding dengan gunung-gunung yang ada di sekitarnya.
Langit mulai gelap, matahari telah kembali ke peraduannya. Sidu mengambil aki sebagai daya untuk menyalakan lampu. Semakin malam udara terasa lebih dingin, kami pun enggan untuk mandi atau sekadar membasuh kaki.
ADVERTISEMENT
Masyarakat yang ada di sekitarnya sering mengonsumsi bohito atau tuak untuk mengimbangi rasa dingin mereka.
“Selain untuk menambah stamina, bohito bisa menjaga suhu tubuh agar tetap hangat,” kata Anis, seorang warga di Balangga.
Menjelang malam, hanya Anis yang datang ke rumah Sidu, petani lainnya hanya sekadar singgah saja untuk meminta tuak.
Bersua dengan polahi, mematahkan semua cerita yang ada di kepala saya tentang mereka. (Habis).
----
Reporter : Renal Husa
Editor : Febriandy Abidin