Bicara Kekerasan Terhadap Perempuan di Sekolah Puan

Konten Media Partner
7 Desember 2019 14:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sekolah Puan adalah sebuah kelas diskusi yang diinisiasi oleh organisasi non-profit Sahabat Anak dan Perempuan (Salam Puan). Sabtu, (7/12) Foto : Dok Banthayo.id (Wawan Akuba)
zoom-in-whitePerbesar
Sekolah Puan adalah sebuah kelas diskusi yang diinisiasi oleh organisasi non-profit Sahabat Anak dan Perempuan (Salam Puan). Sabtu, (7/12) Foto : Dok Banthayo.id (Wawan Akuba)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
BANTHAYO.ID, GORONTALO - Kekerasan terhadap perempuan terjadi dan telah berlangsung lama dalam keseharian. Beberapa yang dilakukan tersebut mampu dikenali sebagai kekerasan, sedangkan lainnya dianggap biasa. Kekerasan sendiri adalah sebuah pola perilaku yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan, mempertahankan kekuasaan dan kontrol atas orang lain. Karena merupakan pola, kekerasan terjadi berulang kali dan dapat bermacam-macam wujudnya.
ADVERTISEMENT
Membahasa perilaku kekerasan terhadap perempuan, artinya membicarakan modus, cara, dan bagaimana perilaku itu dilakukan selama ini. Belum lama ini, di lapangan Rektorat Universitas Negeri Gorontalo (UNG), dalam Sekolah Puan, digelar kelas yang membahas “Feminisme dan Bentuk-bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan”.
Sekolah Puan adalah sebuah kelas diskusi yang diinisiasi oleh organisasi non-profit Sahabat Anak dan Perempuan (Salam Puan). Kelas ini digelar dua minggu sekali. Bahasannya berbagai hal terkait anak, perempuan dan gender. Kelasnya dibagi dalam beberapa segmen dengan peserta berdasarkan umur.
Bulan ini, sebagai rangkaian dari kampanye 16 Days of Activism Against Gender Violence atau 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16HAKTP) yang berlangsung sejak 25 November hingga 10 Desember 2019, kelas ini kemudian mengganti topik pembahasannya dengan membicarakan tentang kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di ruang publik dan domestik.
Dalam Sekolah Puan, digelar kelas yang membahas Feminisme dan Bentuk-bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan. Foto : Dok Banthayo.id (Wawan Akuba)
Gerakan 16HAKTP adalah mandat Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) terhadap peningkatan kesadaran publik bahwa hak perempuan adalah Hak Asasi Manusia (HAM).
ADVERTISEMENT
Sejarah gerakan ini awalnya adalah kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Digagas pertama kali oleh Women’s Global Leadership Institute pada tahun 1991, dan disponsori oleh Center for Women’s Global Leadership.
Sore itu, Sekolah Puan diisi oleh Novi R Usu sebagai pemateri, diikuti oleh mahasiswa. Dalam materinya, Novi yang mengurusi Bidang Kajian dan Strategi Perempuan di Salam Puan tersebut, berbicara banyak tentang kasus-kasus kekerasan, maupun aktivitas yang menjurus pada kekerasan terhadap perempuan.
Menurutnya, jika kekerasan itu merujuk pada sifat menyakiti, merendahkan, dan membuat orang lain tidak nyaman, maka sebenarnya kekerasan tersebut tidak hanya dilakukan oleh laki-laki, namun juga oleh perempuan itu sendiri.
Menguliti bentuk-bentuk kekerasan yang ada, Novi merujuk pada kriteria kekerasan yang disampaikan oleh UNIFEM, atau UN Women, yang merupakan entitas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.
ADVERTISEMENT
Novi menjelaskan tentang gender based violence yang merupakan kekerasan berdasarkan gender. Walaupun tidak selalu, tapi biasanya menurut dia, kekerasan semacam ini dilakukan oleh laki-laki kepada perempuan. Hal tersebut terjadi karena laki-laki yang menganggap perempuan lemah dan anggapan merendahkan lainnya.
Sejarah gerakan ini awalnya adalah kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Foto : Dok Banthayo.id (Wawan Akuba)
Ia mencontohkan, misalkan laki-laki yang menegur perempuan dengan panggilan yang tidak etis, seperti melakukan ‘suit-suit’ ketika ada wanita yang lewat di depannya, atau juga disebut catcalling. Itu menurutnya juga bagian dari kekerasan yang selama ini tidak disadari oleh orang-orang.
“Misalkan panggilan seperti ‘halo cewek’, atau juga ada yang menegur cewek yang lewat di depannya dengan maksud mengolok-olok, seperti mengomentari cara berjalannya, atau hal-hal yang melekat pada wanita tersebut, itu juga kekerasan."
ADVERTISEMENT
Yang melakukan hal semacam ini menurutnya bisa dipolisikan jika ada saksi yang melaporkan. Dan hukumannya juga ada untuk perbuatan semacam itu. Jadi memang tidak boleh menurutnya. Dan itu mesti disadari oleh laki-laki. Pokoknya menurutnya, jika hal tersebut menimbulkan ketidaknyamanan orang lain, maka sudah bisa dikategorikan sebagai kekerasan.
“Dari yang sepertinya sederhana seperti itu, dan mungkin kalian pernah mengalami, dan merasa biasa saja, padahal sebenarnya itu tidak biasa, karena kita sudah tidak nyaman. Karena siapa pun di dunia ini, tak memiliki hak untuk membuat orang lain tidak nyaman."
Novi mencontohkan sebuah kasus kekerasan psikis di Amerika yang terjadi di tahun 2003. Saat itu korbannya menurut dia mencapai 23 juta perempuan, sedangkan pelakunya tidak mampu di hukum karena buktinya tidak cukup kuat untuk dijadikan dakwaan. Sehingga saat itu, aktivis perempuan Oprah Winfrey, harus mencoba membuktikan kasus-kasus tersebut, dengan ijin beberapa pemilik rumah, ia memasang kamera pemantau di rumah-rumah orang tersebut.
ADVERTISEMENT
Oprah Winfrey saat itu bekerja sama dengan Lisa Ling. Dari rekaman itu, mereka kemudian melihat bagaimana intensitas kekerasan verbal itu di dalam rumah. Dan ternyata yang sering melakukan itu adalah suami.
“Saat itu, entah sekarang bagaimana, apakah kasusnya bertambah atau berkurang. Namun yang harus diperhatikan itu adalah kekerasan psikis walaupun tidak berbekas secara fisik, namun dalam hati pasti melekat dan itu menyakitkan."
Mahasiswa yang mengikuti kelas-kelas semacam ini, diharapkan mampu menjadi agen penerus untuk kampanye terkait kekerasan. Foto : Dok Banthayo.id (Wawan Akuba)
Jika melihat pelaku yang paling potensial melakukan kekerasan, kata Novi bisa dilihat di dua ranah, yaitu ranah domestik dan publik. Domestik di wilayah rumah tangga, sedangkan publik di luar rumah.
“Domestik bisa saja dilakukan oleh keluarga dan orang terdekat. Bisa berupa psikis, fisik, verbal maupun non-verbal. Dan kekerasan di ranah ini bisa menjadi sillent violence, atau kekerasan yang sunyi. Karena korbannya enggan untuk mengadu."
ADVERTISEMENT
Yang menarik adalah partnership violence, atau kekerasan masa pacaran. Kekerasan jenis ini kadang juga tidak disadari, apalagi untuk para anak-anak muda yang sedang kasmaran. Kekerasan yang terjadi akan dipandang sebagai bentuk kasih sayang.
“Gaya pacaran posesif misalkan, yang membuat wanita tidak bisa melakukan apa yang dia suka, juga sudah masuk dalam ranah kekerasan. Itu akan menjadi awal dari kekerasan fisik. Misalkan ketika wanita kemudian melawan dengan tidak menuruti, pasti akan terjadi kekerasan."
Termasuk juga yang dicontohkan Novi adalah slavery, atau perbudakan dalam masa pacaran anak muda. Misalkan baru tahap pacaran, sudah bekerja bagaikan pembantu. Memasak, mencuci piring, menyapu, itu juga adalah bagian dari kekerasan. Atau juga paling sering adalah keharusan untuk antar jemput dan jika terlambat di marahi, itu juga sudah masuk kekerasan.
ADVERTISEMENT
Di akhir acara, Novi mengungkapkan, bahwa mahasiswa yang mengikuti kelas-kelas semacam ini, diharapkan mampu menjadi agen penerus untuk kampanye terkait kekerasan. Selain itu juga mampu menjadi agen perubahan melalui diri mereka sendiri. Karena penghapusan kekerasan terhadap perempuan membutuhkan kerja bersama dan sinergi dari berbagai komponen masyarakat untuk bergerak serentak, baik aktivis HAM perempuan, pemerintah, maupun masyarakat secara umum.
Dalam rentang 16 hari, dibangun strategi pengorganisasian untuk menyepakati agenda bersama. Dan Salam Puan melakukan kampanye tersebut melalui luring maupun daring.
Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia
Jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol adalah KDRT/RP yang mencapai angka 71 persen atau 9.637 kasus. Foto : Dok Banthayo.id (Wawan Akuba)
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, pada 6 Maret 2019, merilis dokumen catatan kekerasan terhadap perempuan selama tahun 2018. Catatan tahunan ini mencatat kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang diterima oleh berbagai lembaga masyarakat maupun institusi pemerintah yang tersebar di semua provinsi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Juga, pengaduan langsung yang diterima oleh Komnas Perempuan dalam kurun waktu satu tahun ke belakang. Tahun 2018, Komnas Perempuan mengirimkan 918 lembar formulir kepada lembaga mitra Komnas Perempuan di seluruh Indonesia dengan tingkat respons pengembalian mencapai 23 persen, yaitu 209 formulir.
Walaupun begitu, ditulis dalam catatan tahunan bahwa di tahun 2018, jumlah kasus yang dilaporkan meningkat 14 persen. Jumlah kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) pada 2018 sebesar 406.178, jumlah ini meningkat dibandingkan degan tahun sebelumnya yang hanya sebesar 348.466.
Bulan ini, sebagai rangkaian dari kampanye 16 Days of Activism Against Gender Violence atau 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16HAKTP) yang berlangsung sejak 25 November hingga 10 Desember 2019. Foto : Dok Banthayo.id (Wawan Akuba)
“Data ini dihimpun dari 3 sumber. Dari Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama sejumlah 392.610 kasus, dari lembaga layanan mitra Komnas Perempuan sejumlah 13.568 kasus, dari Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) satu unit yang sengaja dibentuk oleh Komnas Perempuan untuk menerima pengaduan korban yang datang langsung ke Komnas Perempuan, sebanyak 415 kasus yang datang langsung, dan 367 kasus melalui telepon, dan dari Sub Komisi Pemantauan yang mengelola pengaduan melalui surat sebanyak 191 kasus dan 261 melalui surat elektronik,” tulis dalam dokumen tersebut.
ADVERTISEMENT
Dari data-data yang terkumpul tersebut, jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol sama seperti tahun sebelumnya adalah KDRT/RP yang mencapai angka 71 persen atau 9.637 kasus. Ranah pribadi paling banyak dilaporkan dan tidak sedikit di antaranya mengalami kekerasan seksual. Posisi kedua KTP di ranah komunitas atau publik dengan persentase 28 persen atau 3.915 kasus, dan terakhir di ranah negara dengan persentase 0.1 persen atau 16 kasus.
----
Reporter : Wawan Akuba