Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten Media Partner
Foto: Melihat Penangkaran Burung Maleo di Hutan Hungayono, Gorontalo
23 Juli 2019 14:17 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
ADVERTISEMENT
BANTHAYO.ID, GORONTALO - Di pedalaman Hutan Hungayono, kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW), terdapat penangkaran burung maleo, satwa endemik Pulau Sulawesi.
ADVERTISEMENT
Banthayo.id berkesempatan mendatangi lokasi tersebut, Selasa (23/7). Ditemani sejumlah warga setempat, kami memulai dari titik start, yakni dari Desa Tulabolo, Kecamatan Suwawa Timur, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, yang menjadi pintu utama masuk ke lokasi penangkaran.
Untuk sampai di Hutan Hungayono, waktu tempuh yang diperlukan sekitar 2 jam berjalan kaki. Kami harus melintasi punggung-punggung gunung dengan panorama alamnya masih asri. Tiba di lokasi, kami bisa langsung melihat kawanan burung maleo.
Seorang peneliti dari Wildlife Conservation Society (WCS), Halim Polapa, mengatakan burung maleo dikenal sangat pemalu. Pada umumnya, maleo bertelur di tempat-tempat yang memiliki panas bumi seperti di tepi pantai dan Hutan Hungayono.
Sebelum Hungayono menjadi hutan konservasi, perburuan satwa endemik itu begitu tinggi. Pada saat itu, habitat maleo sangat terancam.
ADVERTISEMENT
"Dulu masyarakat setempat sering berburu maleo. Telurnya diambil, burungnya ditembak, sehingga maleo terancam punah," ucap Halim.
Halim menuturkan, burung maleo merupakan satwa yang sudah lama menempati Hutan Hungayono. Namun dikarenakan populasi burung maleo semakin terancam, pemerintah memprogramkan penangkaran burung maleo sebagai upaya untuk pemulihan ekosistem mereka di kawasan hutan tersebut.
Sejak tahun 2000, proses penangkaran mulai dilaksanakan. Sejak itu juga, populasi maleo di hutan tersebut meningkat sebesar 80 persen dari populasi sebelumnya yang hanya 20 persen.
"Proses ini lebih berguna dari sebelumnya di mana mereka dilepasliarkan. Karena kalau bertelur secara liar, banyak predator lainnya yang akan memangsa telur maleo," tutur Halim.
Dalam proses penangkaran itu, lanjut Halim, awalnya maleo dibiarkan bertelur di tanah yang memiliki lekukan atau lubang besar. Setelah itu, telur maleo dipindahkan ke tempat penetasan yang telah disiapkan.
ADVERTISEMENT
Di tempat penetasan itu, dibuat sederet lubang kecil seukuran telur maleo, dengan kedalaman 20 sampai 30 sentimeter.
Telur maleo berukuran rata-rata 11 sentimeter, dengan berat 240-270 gram per butirnya, atau 5-8 kali lebih besar dari dari telur ayam.
Selanjutnya, telur burung maleo memerlukan waktu 70 sampai 80 hari agar bisa menetas.
"Kalau sudah menetas, anak burung maleo akan mencoba keluar ke atas tanah dan mereka sudah bisa langsung terbang. Maka kami juga harus segera melepasnya," tutur Halim.
Menurut Halim, kurang lebih 10 ribu ekor burung maleo yang ditangkarkan dan dikembalikan ke habitatnya semula. Sementara itu, sangat sulit untuk Halim menghitung populasi burung maleo yang ada di Hutan Hungayono.
"Ketika kami lepas, kami sudah tidak tahu lagi apakah mereka bisa bertahan hidup atau tidak. Meskipun jumlah perburuan satwa oleh masyarakat mulai berkurang, tapi kawanan burung maleo sering dimangsa oleh hewan lainnya," jelas Halim.
ADVERTISEMENT
Halim menambahkan, burung maleo sudah bisa bertelur pada umur delapan bulan. Dalam setahunnya, burung maleo bisa delapan kali bertelur.
Di Hutan Hungayono, burung maleo bertahan hidup dengan memakan buah-buahan serta serangga.
"Tapi kami tak tahu lagi setelah dilepas ke alam mereka bisa selamat sampai dewasa atau tidak. Entah mereka akan kembali dalam satu atau dua tahun, kita hanya berusaha agar penangkaran mereka tetap terjaga," pungkas Halim.
----
Reporter: Rahmat Ali
Editor: Febriandy Abidin