Me'eraji, Tradisi Menyambut Isra Mikraj di Gorontalo

Konten Media Partner
5 April 2019 9:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang Imam (Leebi) di Majisd Al-Maghfirah Desa Hutadaa Kecamatan Talaga Jaya, Kabupaten Gorontalo, Saat membacakan Syair Naskah Me'eraji. (jumat, 05/3/. Foto : Burhan Undu/banthayoid)
zoom-in-whitePerbesar
Seorang Imam (Leebi) di Majisd Al-Maghfirah Desa Hutadaa Kecamatan Talaga Jaya, Kabupaten Gorontalo, Saat membacakan Syair Naskah Me'eraji. (jumat, 05/3/. Foto : Burhan Undu/banthayoid)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
BANTHAYO.ID – Masyarakat muslim di Provinsi Gorontalo punya tradisi Me'eraji untuk menyambut Isra Mikraj. Tradisi itu biasa digelar setiap 27 Rajab
ADVERTISEMENT
Me'eraji adalah proses membaca naskah aksara Arab yang ditulis dengan bahasa Gorontalo. Naskah yang harus habis dibaca sepertiga malam itu, menceritakan perjalanan Isra Mikraj Rasulullah Muhamad SAW.
Kegiatan itu sudah menjadi tradisi yang wariskan turun-temurun. Tradisi itu juga mengisyaratkan kepada masyarakat Gorontalo, bahwa bulan Ramadan semakin dekat.
Sebelum memulai Me'eraji, kemenyan, bara api, meja kecil beserta kain putih sebagai alas, dan segelas air putih yang harus disiapkan.
Bara dan Mayang Pinang Menjadi Salah Satu Bahan yang Wajib Disediakan saat Perayaaan Tradisi Me'eraji (Isra Mikraj). (Jumat, 05/3/. Foto : Burhan Undu/banthayoid).
Setelah itu barulah naskah Isra Mikraj akan dibaca oleh "Leebi" atau Imam, yang diawali dengan doa bersama.
Menurut Ketua Dewan Adat Desa Keramat, Yamin Husain, selain memperingati perjalanan nabi, perayaan Me’eraji juga dilakukan untuk mendoakan negeri (du’a lo lipu).
ADVERTISEMENT
Isi dalam naskah yang dibacakan tersebut, menurutnya, memiliki fungsi sebagai pembinaan budi luhur bagi masyarakat Gorontalo, karena pada naskah tersebut terkandung pelajaran agama, etika dan moral yang dapat memperkuat keimanan pendengar.
Naskah Me’eraji juga merupakan salah satu kesusastraan yang sering digunakan dalam melakukan syiar Islam. Olehnya pembacaan Me’eraji dilakukan rutin sekali setahun yang dilaksanakan di masjid ataupun pada rumah-rumah warga.
Naskah Me'eraji ditulis Dalam Bahasa Arab Pegon, dan di Bacakan Dalam Bahasa Daerah Gorontalo. (Jumat, 05/3/. Foto : Burhan Undu/banthayoid.
Yamin menjelaskan, jika perayaan yang dilaksanakan selama sepertiga malam itu menceritakan perjalanan nabi yang dibagi menjadi 22 penggal cerita (naskah).
Pada naskah Me’eraji tersebut menceritakan empat hal seperti perilaku nabi, perjalanan nabi dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa dan perjalanan ke Sidratul Muntaha, menceritakan wafatnya nabi serta wungguli (cerita rakyat) rangkuman dari naskah Me’eraji.
ADVERTISEMENT
Naskah yang tertulis tersebut, jelas Yamin, dahulunya hanya tersedia dalam aksara arab pegon, sekarang orang sudah bisa membacanya dalam tulisan latin dalam Bahasa Gorontalo dan Bahasa Indonesia.
Perubahan naskah tersebut menurutnya, terjadi karena pemilik naskah memperbarui naskah lama yang sudah rusak, kemudian naskah yang sudah rusak tersebut dimusnahkan.
Pada sisi lain, naskah tersebut dianggap akan mendatangkan rejeki bagi orang yang memilikinya, “hal itulah yang menyebabkan naskah tua Me’eraji sukar untuk diperoleh,” katanya.
Pembacaan naskah me’eraji yang terbagi dalam 22 penggal cerita tersebut, biasanya akan dibacakan oleh tiga hingga sembilan orang.
Lampu Tradisional dibuat dari buah pepaya Mengkal menjadi alat penerangan saat pembacaan syair Me'eraji. (Jumat,05/3/. Foto : Burhan Undu/banthayo.id)
Untuk satu penggal cerita dalam naskah, bisa dibacakan hingga tiga orang dan menghabiskan waktu hingga 15 menit.
Pakar Ilmu Tarbiyah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Gorontalo, Ridwan Tohopi mengatakan, pembacaan naskah Me'eraji itu lebih menitikberatkan pada selawat nabi yang diucapkan berulang kali dan meminta keselamatan kepada Allah SWT.
ADVERTISEMENT
"Naskah itu juga mengurai tentang sifat nabi yang perlu diteladani. Bahkan menjelaskan nur Muhamad," katanya.
Dalam jurnalnya yang diterbitkan El Harakah Vol.14 No.1 Tahun 2012, Ridwan menulis bahwa pembacaan itu juga memuat 10 falsafah dasar masyarakat Gorontalo yang melekat untuk tidak dilanggar.
"Jika dilanggar akan mendapatkan sanksi sosial, terkucil dan mengalami degradasi kepercayaan dimasyarakat,” tulisnya.
Berikut 10 falsafah Gorontalo:
1. Dila mowali mobijana (dilarang memfitnah).
2. Dila mowali motao (dilarang mencuri atau korupsi).
3. Dila mowali moyitohu mongobuwa (dilarang main perempuan).
4. Dila mowali mohimbulo (dilarang berdusta).
5. Dila mowali mo topu (dilarang berjudi).
6. Dila mowali mongilu bohito (dilarang minum arak dan sejenisnya yang memabukkan).
7. Dila mowali mopoyinggile to tawu (dilarang menyalahkan tanpa bukti tertentu).
ADVERTISEMENT
8. Dila mowali mojalo to tawu (dilarang memarahi orang).
9. Dila mowali sombongiyolo (dilarang menyombongkan diri).
10. Dila mowali mosilita to tawu (dilarang membicarakan kekurangan dan kejelekan orang lain).
---
Reporter :Burdu, Renal Husa
Editor : Febriandy Abidin