Potret Baca Puisi Tanpa Henti di Gorontalo

Konten Media Partner
25 Desember 2019 19:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bupati Bone Bolango Hamim Pou, kedua (kanan) menyempatkan diri untuk membaca puisi. Rabu, (25/12). Foto : Dok Banthayo.id (Wawan Akuba)
zoom-in-whitePerbesar
Bupati Bone Bolango Hamim Pou, kedua (kanan) menyempatkan diri untuk membaca puisi. Rabu, (25/12). Foto : Dok Banthayo.id (Wawan Akuba)
ADVERTISEMENT
BANTHAYO.ID, GORONTALO - Sudah pukul 03.00 pagi, tapi puisi-puisi masih saja terdengar dibacakan. Mereka membacanya pelan. Ada juga yang lantang. Pembacanya bergantian, seperti tidak memberi waktu jeda, apalagi berhenti hingga tujuh hari tujuh malam lamanya.
ADVERTISEMENT
Malam itu, 23 Desember 2019, kegiatan tadarus puisi ke-9 digelar di Desa Huntu Selatan, Kecamatan Tapa, Kabupaten, Bone Bolango, Gorontalo, bersamaan dengan lokasi kegiatan pameran "Maa Ledungga". Acara itu sebelumnya di buka di Aula BPU Kecamatan Tapa.
Baim Alpino, seorang penyair yang sudah kira-kira lima jam membaca puisi tanpa henti, kemudian menyerahkan pelantang suara yang ia pegang kepada seorang kawannya. Ia berhenti, meneguk air lalu duduk.
Di sela waktu itu ia menyantap pisang yang disiapkan panitia, menyeduh kopi lalu menyandarkan tubuhnya yang sudah dibasahi keringat di sebuah tiang penyangga bangunan.
Tadarus puisi ke-9 digelar di Desa Huntu Selatan, Kecamatan Tapa, Kabupaten, Bone Bolango, Gorontalo. Foto : Dok Banthayo.id (Wawan Akuba)
“Capek, tapi asyik. Kita seperti menantang diri kita untuk terus membacakan puisi,” imbuhnya.
Baim yang juga seorang pegiat seni itu menuturkan, jika ingin bisa membaca puisi berjam-jam, harus menyiapkan puisi yang tidak sedikit. Ia sendiri memilih puisi yang memang panjang-panjang. Walaupun begitu, ia cukup senang karena memang sudah memiliki banyak buku-buku puisi.
ADVERTISEMENT
“Panitia juga telah menyiapkan buku-buku puisi yang bisa dibacakan. Saat itu juga kita sudah bisa mengakses puisi via internet, jadi lebih gampang,” ungkap Baim dengan suaranya yang sedikit parau.
Tadarus puisi digelar selama sepekan. Foto : Dok Banthayo.id (Wawan Akuba)
Tadarus puisi sendiri sebenarnya adalah kegiatan membaca puisi yang sembilan tahun silam adalah kegiatan di kampus Universitas Negeri Gorontalo (UNG), khususnya oleh mahasiswa Fakultas Sastra dan Budaya (FSB). Diinisiasi pada tahun 2011. Tiga tahun sejak diinisiasi, pelaksanaannya masih dilakukan di kampus, lalu di tahun selanjutnya dilaksanakan di luar kampus.
“Waktu itu di Rumah Adat Dulohupa, kemudian di tahun berikutnya di Riden Baruadi Galeri, dan di tiga tahun terakhir kita laksanakan di Danau Limboto, tepatnya di Rumah Pendaratan Soekarno,” ujar Zulkipli Junaidi, sang penggagas kegiatan itu.
ADVERTISEMENT
Ketika digelar di luar kampus UNG, tadarus puisi kemudian menjadi milik kebudayaan masyarakat Gorontalo. Tidak secara eksklusif milik mahasiswa lagi, karena skalanya menjadi luas. Karena telah menjadi pekerjaan yang dilakukan oleh teman-teman yang bergerak di bidang kebudayaan di Gorontalo.
Selain tadarus puisi kegiatan tersebut juga diisi dengan diskusi dan penulisan puisi. Foto : Dok Banthayo.id (Wawan Akuba)
Lalu di pergelarannya yang ke-9 tahun, sekelompok anak muda dari Himpunan Pelajar Mahasiswa Tapa Bulango meminta tadarus itu dilaksanakan di Aula yang mereka minta, di Aula BPU Tapa. Kelakuan anak muda ini membikin Zul senang, karena kedatangan mereka, berdiskusi dan meminta penyelenggaraan tadarus, menjadi tanda bahwa kebudayaan akhirnya dimiliki bersama, tidak hanya oleh orang-orang yang bergerak di bidang kebudayaan saja.
“Harapan saya kepada Himpunan Pelajar Mahasiswa Tapa Bulango, bisa mengembangkan kebudayaan. Tentunya di samping ada kor sendiri yang memang sering dilakukan,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Oleh Himpunan Pelajar Mahasiswa Tapa Bulango, Tadarus Puisi hanya mampu mereka gelar selama tiga hari tiga malam. Sisanya kemudian dilanjutkan di lokasi perayaan Maa Ledungga.
Walaupun begitu, tadarus puisi tidak hanya melulu membaca puisi, karena di samping itu, ada diskusi dan penulisan puisi.
Panitia dan peserta saat berfoto bersama. Foto : Dok Banthayo.id (Wawan Akuba)
“Nanti kami akan menentukan hari apa untuk membuat workshop. Jadwal untuk pembacaan, penulisan dan penciptaan puisi. Kita sama-sama berdiskusi, kita sama-sama mengeksplorasi tema-tema yang ada di sekitar kita kemudian kita wujudkan dalam bentuk karya-karya puisi,” katanya.
Zul mengungkapkan bahwa tadarus puisi ini sebenarnya sudah memenuhi syarat untuk diusulkan masuk museum rekor dunia Indonesia, atau rekor muri. Tapi bukan itu tujuannya menurutnya, dan tidak terlalu penting. Karena jika hanya mengejar rekor muri, maka bisa saja edisi tadarus puisi tidak akan bertahan hingga sembilan tahun lamanya.
ADVERTISEMENT
“Dulu pak Amar Badu menawarkan rekor muri, dananya 40 juta rupiah kalau tidak salah waktu itu. Tapi dana itu kalau diberikan kepada mahasiswa yang menjadi panitia acara, tentu akan sangat luar biasa manfaatnya. Dibandingkan dengan mengurusi rekor muri yang kita hanya mendapatkan selembar kertas yang tertulis pencapaian rekor muri pembacaan puisi sekian hari sekian malam,” tutupnya.
Malam itu, setelah tiga hari tiga malam pelaksanaan, Bupati Bone Bolango, Hamim Pou, datang menyambangi pelaksanaan tadarus puisi. Tidak hanya datang, ia juga ikut membaca dua puisi. Sudah sangat larut, tapi puisi yang dibacakan Hamim menambah semangat para pembaca puisi yang lain.
---
Reporter : Wawan Akuba