Potret Kota Tua Bekas Hindia Belanda di Gorontalo

Konten Media Partner
4 November 2019 19:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bangunan bercirikan indies di wilayah Kota Tua Gorontalo. Senin, (4/11). Foto : Dok Banthayo.id (Wawan Akuba)
zoom-in-whitePerbesar
Bangunan bercirikan indies di wilayah Kota Tua Gorontalo. Senin, (4/11). Foto : Dok Banthayo.id (Wawan Akuba)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
BANTHAYO.ID,GORONTALO - Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Gorontalo mendaftarkan kawasan 'kota tua' Kota Gorontalo dalam Sistim Registrasi Nasional Cagar Budaya Kementerian Kebudayaan (Kemdikbud) pada 2017.
ADVERTISEMENT
Pemetaan kota tua dilakukan oleh BPCB Gorontalo di tahun yang sama dengan melibatkan akademisi dan komunitas.
Wilayah kota tua yang diajukan luasnya sekitar 158,43 hektare (ha) dari luas Kota Gorontalo sebesar 7903 ha. Luasan ini dibagi antara zona inti dan zona penyangga. Zona inti luasannya 68,38 ha, sedangkan zona penyangganya seluas 90,05 ha.
Wilayahnya terbentang dari pusat Kota Gorontalo di sekitar Lapangan Taruna Remaja hingga Kecamatan Kota Selatan, Kota Gorontalo. Di sepanjang kawasan itu, BPCB mengidentifikasi sebagian besar bangunan peninggalana zaman kolonial masih berdiri kokoh.
Karena di tahun 1894, Gorontalo secara resmi dijadikan ibu kota "afdeling" oleh Hindia Belanda dan di wilayah ini pusat kegiatan pemerintahan, pendidikan, permukinan dan perdagangan dilakukan.
ADVERTISEMENT
Afdeling adalah bagian dari suatu keresidenan dan merupakan wilayah administrasi pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, setingkat kabupaten dengan administratornya dipegang oleh seorang asisten residen.
Bangunan tua berarsitektur indies. Foto : Dok Banthayo.id (Wawan Akuba)
Walaupun begitu, saat ini jika dilihat dalam situs webnya, kawasan yang didaftarkan tersebut masih belum disetujui karena harus diverifikasi lebih lanjut apakah masuk dalam cagar budaya atau tidak.
Ajeng Wulandari, salah satu tim pemetaan dari BPCB Gorontalo saat dikonfirmasi, Senin (4/19) mengungkapkan, saat ini kawasan tersebut belum terverifikasi dan masih ada kendala dalam penetapannya. Data latar belakang sejarah yang diajukan masih belum lengkap. Saat ini data tersebut sedang dilengkapi dan akan diajukan ulang.
Lebih lanjut Ajeng menjelaskan, penentuan kawasan kota tua sebenarnnya diambil berdasarkan identifikasi bangunan di dalam kawasan yang secara visual berarsitektur indies. Bangunan indies secara arsitektur bercirikan kolonial, namun dipadukan dengan gaya arsitektur lokal Gorontalo.
ADVERTISEMENT
Selain itu, dasar penentuannya adalah menggunakan peta lama. Namun kendala yang terjadi kemudian, peta yang menjadi rujukan ini tidak memiliki legenda atau secara historis. Tidak dapat diketahui bahwa peta tersebut dibuat di masa pemerintahan siapa. Sehingga peta itu hanya dijadikan sebatas rujukan interpretasi.
“Dasar itu ternyata belum kuat untuk kami jadikan usulan penetapan. Latar sejarahnya itu belum lengkap. Makanya verifikasinya masih tertunda dan dikembalikan karena kami diminta untuk melengkapi secara latar sejarahnya. Tapi sampai dengan saat ini kami sedang menyusun kelengkapan data latar serjarahnya,” ungkap Ajeng.
Lebih lanjut Ajeng menambahkan, penetapan kota tua Kota Gorontalo sebenarnya adalah bentuk perlindungan BPCP terhadap nilai-nilai budaya dan tinggalan masa lalu yang masih tampak secara visual di kawasan tersebut.
Kantor pelni gorontalo, telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh BPCB. Foto : Dok Banthayo.id (Wawan Akuba)
Menurutnya, tuntutan pembangunan Kota Gorontalo di tengah sempitnya lahan dapat berpotensi mengorbankan bangunan-bangunan bernilai sejarah. Sehingga antisipasinya dengan penetapan batasan wilayah kota tua Kota Gorontalo.
ADVERTISEMENT
Bentuk perlindungan ini menurut Ajeng tidak hanya untuk objek bersejarah yang merupakan bangunan bekas administrasi maupun pemerintahan di masa lalu. Tapi perlindungan itu juga diberikan kepada bangunan yang secara sejarah kepemilikannya hanya orang biasa ataupun pedagang biasa. Memang menurutnya, penetapan cagar budaya itu prosesnya sangat lama.
“Sehingga kemarin kami berharap ketika secara kawasan itu sudah bisa ditetapkan, otomatis yang ada di dalam (bangunan cagar budaya yang belum ditetapkan) akan terlindungi. Sebenarnya yang kami kejar adalah itu, tapi ya itu tadi, kami terbentur sejarah yang bisa menguatkan kenapa wilayah di situ sebagai kawasan kota tua," katanya.
Dengan adanya data penetapan kawasan kota tua Kota Gorontalo yang dikembalikan dan harus diperbaiki, saat ini juga, BPCB Gorontalo mendorong tim ahli cagar budaya untuk dapat menetapkan bangunan-bangunan yang lain. Sehingga dapat mempercepat penetapan kawasan kota tua Kota Gorontalo.
ADVERTISEMENT
Morfologi Kota Gorontalo dan Arsitektur Bangunannya
Kantor Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Fungsi awal bangunan ini adalah sebagai rumah tinggal pejabat Belanda. Foto : Dok Banthayo.id (Wawan Akuba)
Dalam disertasi berjudul “Morfologi Kota Gorontalo Dari Masa Tradisional Hingga Kolonial” yang ditulis Irfanuddin Wahid Marzuki (2018) menyebutkan, keberadaan Gorontalo dimulai semenjak masa tradisional, kerajaan, kerajaan Islam, kolonial, hingga saat ini.
Pada masa tradisional dan kerajaan, Gorontalo merupakan wilayah kecil yang masuk kerajaan Ternate. Namun pada pada 11 Mei 1677, kongsi dagang atau perusahaan Hindia Timur Belanda, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) menguasai wilayah Gorontalo karena tertarik dengan perkembangannya.
Kekusaan VOC diawali dengan perjanjian antara Sultan Amsterdam (sultan Kerajaan Ternate) dan Robertus Padtbrugge dari VOC, yang memuat pelepasan hak tuntutan Ternate atas wilayah Sulawesi Utara termasuk Gorontalo.
Sehingga jika diidentifikasi, tata ruang Kota Gorontalo saat ini merupakan peninggalan kolonial Hindia Belanda yang mengacu aturan "law of indies" dan dapat dikategorikan sebagai kota kolonial baru (nieuw indisch stad).
Sejak awal bangunan ini berfungsi sebagai penginapan, nama awalnya Hotel Velberg, kemudian sejak tahun 1960-an berubah nama menjadi Hotel Melati. Foto : Dok Banthayo.id (Wawan Akuba)
Prinsip perancangan kota kolonial mengacu kepada dokumen law of indies tahun 1573, yakni dalam bentuk penggunaan pola kisi dan pembagian blok-blok kaveling ukuran yang setara.
ADVERTISEMENT
Dalam disertasinya juga, Irfanuddin menulis, terbentuknya Kota Gorontalo sebagai kota kolonial sejak lokasi pusat dipindah ke arah selatan lebih dekat pelabuhan laut dengan struktur kota mengikuti law of indies.
Pusat kota berupa lapangan, yang saat ini menjadi Lapangan Taruna Remaja. Selain itu dibangun juga rumah asisten residen yang saat ini menjadi Rumah Dinas Gubernur Gorontalo, hotel, penjara, perkantoran, dan permukiman Hindia Belanda di sekelilingnya.
Kota indies merupakan periode awal bangsa Belanda berkuasa di Indonesia. Pola dan struktur kota mengikuti yang ada di Belanda, dan dikombinasikan dengan kebudayaan lokal Indonesia. Sedangkan kota kolonial merupakan kota yang bercirikan Eropa, berkembang mulai tahun 1870an dan terdapat pemisahahan lokasi hunian yang jelas berdasakan struktur sosial masyarakat.
ADVERTISEMENT
“Morfologi Kota Gorontalo pada masa kolonial mengalami perubahan dari berbentuk memanjang menjadi berbentuk kipas (the fan city shape), karena faktor geografis Kota Gorontalo yang berada pada sebuah teluk, diapit dua sungai (Bone dan Bolango), serta perbukitan terjadi di sisi kiri dan kanannya,” tulisnya.
Selain itu, seperti kota-kota kolonial lainnya, permukiman Kota Gorontalo dipisah berdasarkan etnis. Eropa menempati kawasan strategis di pusat kota, negara bagian timur Asia (Cina, Arab, dan India) berada di sekitar pasar dan penduduk pribumi berada di tempat agak jauh dari pusat kota.
Kantor Pos Gorontalo, telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya oleh BPCB. Foto : Dok Banthayo.id (Wawan Akuba)
Ketika dihubungi lewat telepon, Irfanuddin yang juga arkeolog ini menuturkan, jika dilihat dari segi visual bangunan luar maupun dalam, bangunan tua di Gorontalo memiliki ciri arsitektur kolonia dan arsitetkur indies.
ADVERTISEMENT
Pengaruh arsitektur kolonial menurutnya dapat dilihat dari penggunaan dinding tembok yang tebal dan lantai ubin serta kemiringan atap. Namun tidak bisa juga dikatakan murni kolonial, karena menurutnya, budaya dan iklim ikut memengaruhi arsitektur bangunan itu, sehingga dipadukan dengan arsitektur Gorontalo.
“Kalau saya melihat bangunan peninggalan ini lebih cenderung berarsitektur indies. Yakni arsitektur campuran antara kolonial dan tradisional. Karena kalau kolonial murni itu rumahnya tidak memiliki teras atau beranda. Jadi rumah itu langsung mepet ke jalan dan megah. Sedangkan di Gorontalo tidak banyak berciri seperti itu. Hampir semuanya menggunakan teras,” tutupnya.
----
Reporter : Wawan Akuba