Riwayat Bendi di Gorontalo: Kisah Kusir yang Pergi dan Bertahan

Konten Media Partner
21 Februari 2019 12:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rusli Lakuo bersama bendinya di depan sebuah pertokoan di Kota Gorontalo, Minggu (17/2). Foto : Tomy Pramono
zoom-in-whitePerbesar
Rusli Lakuo bersama bendinya di depan sebuah pertokoan di Kota Gorontalo, Minggu (17/2). Foto : Tomy Pramono
ADVERTISEMENT
BANTHAYO.ID - Perkembangan alat transportasi di Provinsi Gorontalo menjadikan bendi (di Jakarta, akrab disebut delman) terdegradasi keberadaannya. Moda transportasi yang sudah ada sejak tahun 1800 itu kini hanya bisa ditemui di tempat-tempat tertentu, seperti pusat perbelanjaan. Jumlahnya pun tak lebih dari 10 unit.
ADVERTISEMENT
Tahun 1997, masyarakat di Gorontalo mulai mengenal becak motor (bentor). Akibatnya, pemilik bendi secara berangsur-angsur beralih ke moda transportasi baru. Seiring dengan hal itu, Bendi mulai tersingkir.
Selama 22 tahun, pelan-pelan, bendi mulai menyingkir. Namun, Rusli Lakuo (45) tetap memilih bertahan. Warga Kelurahan Heledulaa Utara, Kecamatan Kota Timur, Kota Gorontalo, itu mengaku tak punya pekerjaan lain dan menganggap bekerja menjadi kusir bendi sebagai hobi.
"Pekerjaan ini sudah menjadi hobi," imbuh Rusli.
Penghasilan hariannya sebagai kusir sekitar Rp 50-60 ribu per hari. Menurut Rusli, dengan pendapatan sebesar itu sudah cukup baginya untuk menghidupi keluarga dan merawat kudanya.
Alasan lain mengapa Rusli masih bertahan sebagai kusir adalah adanya pelanggan yang masih setia menanti ia dan bendinya. Khususnya, anak-anak sekolah.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan Yamin Ahmat (31). Pria ini sempat menjadi kusir, namun beralih untuk mengemudikan bentor, lantaran kuda miliknya mati. Lalu, bendi yang tersisa ia jual untuk memodali pembelian bentor.
"Perawatan kuda cukup berat," ungkapnya. Itu juga menjadi alasan Yamin beralih profesi.
Di mata masyarakat Gorontalo, bendi adalah alat transportasi yang nyaman. Selain bisa menikmati pemandangan saat menumpangi bendi, tarifnya pun sangat terjangkau.
"Harapan kami para kusir ini bisa dibuatkan aplikasi pesan online agar bisa bersaing dengan alat transportasi modern," ungkap Yoneng (30), masyarakat setempat.
Ia juga meminta para kusir bisa melengkapi fasilitas yang ada di bendi. Fasilitas yang dimaksud seperti tempat buang kotoran kuda dan membantu menghias bendi agar menarik perhatian masyarakat atau penumpang.
Rusli Lakuo saat memuat penumpang, Minggu (17/2). Foto : Tomy Pramono
Pandangan Budayawan
ADVERTISEMENT
Menurut Dosen Sosiolog Universitas Negeri Goronalo yang juga pemerhati budaya Gorontalo, Funco Tanipu, pada tahun 1800 bendi baru sebatas digunakan oleh keluarga kerajaan dan kolonial. Bendi adalah moda transportasi untuk elit.
Rakyat kebanyakan lebih banyak berjalan kaki, sementara yang punya kuda biasa naik kuda. Apalagi saat itu, sepeda belum ada. Namun, bisa memiliki kuda dianggap semacam identitas yang tinggi bagi rakyat. Memasuki tahun 1900, bendi mulai diproduksi banyak tapi masih digunakan di kalangan terbatas, khususnya elit.
Setelah kemerdekaan, bendi bisa digunakan untuk umum, khususnya saat memasuki tahun 1960-an. Pada kala itu, rakyat kebanyakan menggunakan pedati yang ditarik dengan kuda atau kerbau.
ADVERTISEMENT
Masih menurut Funco, bendi atau delman memengaruhi dan ikut menentukan kelas sosial seseorang. Pada tahun 1800-an hingga pertengahan 1900-an, status sosial orang yang naik bendi dan pedati sangat berbeda.
Delman di Gorontalo mulai jarang digunakan sejak pertengahan abad ke-19. Saat itu, becak yang ditarik manusia mulai banyak. Sebab, untuk memelihara kuda perlu ongkos dan biaya yang lumayan. Belum lagi menjaga kesehatan kuda. Bahkan, pakan kuda pada saat itu mulai jarang diperjualbelikan, begitu juga tukang sol sepatu kuda mulai jarang.
"Namun hal ini hanya bertahan beberapa tahun, hingga bentor mulai digunakan sebagai moda transportasi umum Gorontalo. Saat itu, bendi mulai jarang digunakan, dan hanya pada beberapa titik saja," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
---
Reporter: Burhan Undu, Tomy Pramono, Rahmat Ali
Penulis: Burhan Undu, Tomy Pramono
Editor: Febriandy Abidin