Konten Media Partner

Surat Edaran Pemkab Gorontalo dan Diskriminasi Transpuan yang Dilegalkan

30 April 2025 20:06 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kontes kecantikan. Foto: Jade ThaiCatwalk/Shutterstock.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kontes kecantikan. Foto: Jade ThaiCatwalk/Shutterstock.
ADVERTISEMENT
Dalam masyarakat demokratis yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, tindakan negara dan pemerintah daerah seharusnya mengarah pada perlindungan dan pemberdayaan seluruh warganya, tanpa terkecuali. Namun, Pemerintah Kabupaten Gorontalo justru mengambil langkah yang bertolak belakang. Melalui Surat Edaran Nomor 800/BKBP/76/IV/2025, yang disahkan pada 25 April 2025, pemerintah daerah tersebut secara eksplisit melarang keterlibatan waria (transpuan) dalam acara hiburan rakyat, hajatan pesta, karaoke, dan turnamen pertandingan.
ADVERTISEMENT
Surat edaran ini bukan hanya mengukuhkan stigma dan diskriminasi terhadap kelompok transpuan, tapi juga membuka ruang legitimasi sosial untuk tindakan-tindakan eksklusif dan kekerasan yang lebih luas terhadap mereka. Surat edaran ini pada dasarnya telah menjadikan identitas gender sebagai ancaman moral yang harus dicegah, bukan sebagai bagian dari keberagaman manusia yang justru perlu dilindungi.
Tindakan ini melanggar hak atas kebebasan berkumpul dan berekspresi yang telah dijamin oleh Pasal 28E Undang-Undang Dasar 1945, serta Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pelibatan transpuan dalam kegiatan publik, termasuk sebagai penonton, peserta, ataupun pengisi acara, merupakan bagian dari hak warga negara untuk ikut serta dalam kehidupan sosial dan budaya. Dengan mengkriminalisasi kehadiran mereka, pemerintah Gorontalo telah menginjak prinsip dasar negara hukum: bahwa setiap kebijakan publik harus tunduk pada hukum, bukan pada prasangka.
ADVERTISEMENT
Surat edaran ini juga cacat secara hukum. Tidak ada regulasi nasional yang menyatakan bahwa menjadi transpuan adalah tindakan melanggar hukum. Mengeluarkan pelarangan berdasarkan identitas gender seseorang tanpa basis yuridis yang jelas justru merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang. Alih-alih menegakkan hukum, pemerintah daerah justru menciptakan produk kebijakan diskriminatif yang bertentangan dengan hukum nasional dan internasional yang melindungi minoritas.
Salah satu alasan mengapa banyak transpuan bekerja di sektor hiburan adalah karena akses terhadap pekerjaan formal sering kali tertutup oleh diskriminasi. Dengan melarang kehadiran mereka di acara-acara publik, pemerintah Gorontalo tidak hanya menyingkirkan mereka dari ruang sosial, tetapi juga merampas hak ekonomi mereka. Ini jelas bertentangan dengan mandat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang mengharuskan pemerintah daerah menjamin akses terhadap pekerjaan bagi seluruh warga, tanpa diskriminasi.
ADVERTISEMENT
Adanya pernyataan dari pejabat publik yang menyamakan keberadaan transpuan dengan kerusakan moral bangsa adalah bentuk simplifikasi yang berbahaya. Tidak ada satu pun indikator objektif yang membenarkan bahwa keberadaan transpuan otomatis melanggar norma agama atau adat. Bahkan, budaya lokal seperti Bugis di Sulawesi mengenal lima gender, termasuk calalai dan calabai, yang memiliki posisi sosial tersendiri. Dalam banyak ajaran agama pun, tafsir tentang keberagaman gender terus berkembang ke arah yang lebih inklusif dan manusiawi.
Yang lebih ironis, kebijakan diskriminatif ini justru terjadi di tengah upaya pemerintah pusat mewujudkan Indonesia Emas 2045 melalui penguatan demokrasi, HAM, dan nilai-nilai Pancasila. Salah satu poin dalam Asta Cita Presiden Prabowo adalah memperkokoh ideologi Pancasila dan demokrasi. Maka, kebijakan seperti ini jelas bertolak belakang dengan visi nasional yang ingin mengarusutamakan penghormatan terhadap hak seluruh warga negara.
ADVERTISEMENT
Tuntutan LBHM
Atas dasar tersebut, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mendesak Pemerintah Kabupaten Gorontalo untuk segera mencabut Surat Edaran yang diskriminatif ini. Kami juga meminta Kementerian Dalam Negeri untuk mengevaluasi kebijakan daerah yang tidak selaras dengan peraturan perundang-undangan nasional dan prinsip-prinsip HAM. Lebih jauh, Komnas HAM perlu turun tangan melakukan investigasi atas potensi pelanggaran hak yang terjadi akibat kebijakan ini.
Indonesia tidak akan pernah menjadi negara maju jika masih membiarkan praktik diskriminasi berdasarkan identitas gender. Ruang publik harus menjadi milik semua warga negara, bukan hanya mereka yang sesuai dengan norma mayoritas. Transpuan adalah warga negara Indonesia. Mereka berhak untuk hidup, bekerja, berkarya, dan dihormati sebagaimana warga negara lainnya. Kebijakan yang menyingkirkan mereka, dalam bentuk apa pun, adalah bentuk kegagalan negara dalam menjamin prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
ADVERTISEMENT