Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
BANTHAYO.ID, GORONTALO - Maraknya perburuan kelelawar jenis kalong putih atau accerodon celebensis di Desa Olibu, Kabupaten Boalemo, Gorontalo, menyebabkan jumlah satwa endemik Sulawesi ini menyusut. Hewan pemakan buah dengan ukuran tubuh yang lebih besar dibanding kelelawar jenis lain ini diburu untuk dimakan dagingnya.
ADVERTISEMENT
Desa Olibu terletak di wilayah pesisir pantai selatan, Kabupaten Boalemo. Tiga perempat garis pantai bagian timur dan barat desa ini adalah hutan bakau. Kalong putih dan kalong hitam mendiami pantai baratnya. Di siang hari, di kawasan ini, kelelawar menetap, beristirahat, melakukan kawin dan melahirkan.
Oleh karena itu wilayah ini kemudian dijadikan kawasan konservasi insitu. Adalah konservasi tempat atau konservasi sumber daya genetik dalam populasi alami tumbuhan atau satwa. Tujuannya untuk melindungi spesies tanaman atau hewan yang terancam punah di habitat aslinya atau predator.
Safriyanto Dako, peneliti dari Universitas Negeri Gorontalo (UNG) mengungkapkan bahwa perburuan kalong di daerah ini dilakukan secara ekstrem. Para pemburu menurutnya tidak memperhatikan kaidah konservasi, karena memburu dengan jumlah yang banyak dan menggunakan senjata api.
Dalam penelitian yang dilakukan Safriyanto bersama Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) UNG di pusat konservasi kalong di desa itu, mengungkapkan bahwa perburuan kalong menggunakan senjata api, ranjau pancing dan layang-layang. Alat tangkap ini kemudian menyebabkan terganggunya aktivitas kelelawar saat beristirahat maupun interaksinya bersama kawanannya. Akibatnya, kalong menjadi sangat liar dan meninggalkan habitatnya.
ADVERTISEMENT
Melalui Program Pengabdian Desa Mandiri (PPDM), penelitian bertajuk “Implementasi Konservasi Kelelawar (Kalong) berkelanjutan di Desa Olibu, Boalemo Gorontalo” itu kemudian menjadikan Desa Olibu sebagai wilayah konservasi insitu berkelanjutan.
Penelitianya dilaksanakan dengan menyasar kelompok masyarakat yang ada di desa tersebut. Sistem kemitraan dilakukan di desa itu dengan melibatkan 8-10 orang yang merupakan anggota masing-masing kelompok. Setiap kelompok diajak untuk melakukan berbagai pelatihan dan kegiatan dalam hal mendukung konservasi kalong di desa tersebut.
Salah satu solusi yang dilakukan dalam penelitian tersebut adalah penanaman buah di wilayah exsitu. Adalah habitat luar dari kalong. Penanaman buah di kawasan exsitu dianggap salah satu solusi sehingga dapat mengembalikan kondisi tanah.
Penggunaan tanaman buah bertujuan untuk menyediakan kebutuhan sumber pakan bagi kelelawar. Bibit buah yang ditanam di antaranya adalah pepaya, rambutan dan duku. Program ini menargetkan, dalam tiga tahun kegiatan penangkapan kelelawar akan beralih di wilayah exsitu, sehingga wilayah insitu yang merupakan habitat asli kalong akan aman dan terjaga.
ADVERTISEMENT
Pertimbangan lain kenapa tidak dilakukannya penanaman di wilayah insitu karena wilayah tersebut memiliki kondisi tanah yang berpasir sehingga tidak cocok untuk tanaman buah tadi.
Perburuan Kalong Putih
Saat ini, permintaan terhadap kalong putih dari luar Gorontalo sangat tinggi. Harga yang ditawarkan untuk setiap ekornya relatif mahal. Semakin besar ukuran tubuhnya, akan semakin mahal pula ia dibeli. Sehingga ini yang menyebabkan perburuan kalong berlangsung secara ekstrem.
“Sesuai yang saya temui harganya berkisar Rp 30-60 ribu. Makin besar makin mahal. Kami pernah menemukan kalong putih yang bobotnya sampai 1 kilogram. Tentu harganya lebih mahal. Biasanya kalong ini akan dikirim ke Sulawesi Utara,” ungkap Safriyanto.
Alasan ini yang kemudian pada penelitiannya, Safriyanto dan tim melalukan pembinaan kelompok masyarakat mengenai status fisiologi dan konservasi kelelawar berkelanjutan. Kesepakatan dilakukan antara kelompok, pemerintah desa, pemerintah kecamatan dan perwakilan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Hal-hal yang disepakati adalah larangan penebangan pohon bakau, penggunaan senjata api dan sejenisnya dalam perburuan, dan frekuensi perburuan kalong yang hanya dibatasi dua kali dalam seminggu. Selain itu disepakati juga aturan perburuan berdasarkan waktu tertentu. Yakni pada pukul 03:00 hingga 05:00 pagi. Juga pemburu harus melakukan tangkap pilih. Kalong yang berukuran kecil, bunting dan sedang menyusui harus dilepasakan jika tertangkap.
Menurut Safrianto, saat ini memang agak sulit menentukan jumlah kalong yang ada. Ia mengungkapkan sulitnya jika harus menghitung kalong satu per satu. Sehingga jumlah pasti populasi yang ada tidak diketahui, ia hanya bisa memperkirakan.
“Dari beberapa metode perhitungan yang kami lakukan selama enam bulan, ada sekitar 3.000-4.000 kalong yang sudah keluar atau ditangkap. Jadi kalau diperkirakan, jumlah populasinya kurang lebih di bawah dari 10.000,” tutup Safriyanto.
ADVERTISEMENT
Dikuti dari situs lippi.go.id, Agustinus Suyanto, pakar kelelawar di Indonesia mengungkapkan, kelelawar dalam fungsi ekologi sangat penting karena hewan ini menjaga keanekaragaman tumbuhan hutan tropis. Selain sebagai penyerbuk bunga, kelelawar juga menurutnya bisa menyebarkan biji.
Menurut Suryanto juga, kelelawar berperan penting dalam menyebarkan biji. Sebab, hewan ini hanya memakan daging buah yang dikunyah untuk diambil cairannya, dan sebagian serabut daging buah disepah dan bijinya dibuang. Akibatnya, biji menjadi bersih dari daging.
"Biasanya kelelawar pemakan buah, terutama yang berukuran kecil, tidak makan di pohon induk. Mereka membawa buah yang diperoleh dengan cara menggigit dan membawanya ke pohon lain yang mereka anggap aman hingga berjarak 100-200 meter dari pohon induk. Dengan demikian, biji dipencarkan jauh dari pohon induknya, sehingga kesempatan biji untuk berkecambah dan tumbuh dewasa sangat besar," kata Suryanto seperti yang ditulis dalam situs lippi.go.id.
ADVERTISEMENT
----
Reporter : Wawan Akuba