Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
Konten dari Pengguna
Perkembangan Penduduk dan Perubahan Formasi Etnis di Blambangan Tahun 1800an.
21 September 2018 12:53 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
Tulisan dari BANYUWANGI CONNECT tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Sampai akhir abad ke-19, masalah kependudukan di Banyuwangi masih menjadi salah satu isu menarik dalam sejarah karena memiliki kaitan penting dengan masalah ekonomi, politik, etinisitas dan keagamaan. Dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di Jawa Timur, Banyuwangi selama periode ini mengalami perkembangan penduduk yang lambat, namun mengingat apa yang terjadi pada abad sebelumnya, perkembangan penduduk di wilayah ini cukup berarti. Periode konflik dan peperangan yang terjadi sejak paruh ke dua abad ke-18 di Banyuwangi telah menyebabkan penurunan drastis jumlah penduduk, baik karena korban perang, wabah penyakit, kelaparan maupun pengungsian atau eksodus ke wilayah lain yang lebih aman.
ADVERTISEMENT
Abad ke-19 di Banyuwangi dapat dikatakan sebagai abad yang damai, karena selama periode ini tidak pemah lagi terjadi konflik politik dan peperangan. Satusatunya insiden politik yang penting selama periode ini terjadi pada tahun 1874, ketika sekitar 4.000 penduduk melakukan demonstrasi di depan rumah bupati Banyuwangi untuk memprotes kebijakan pajak tanah yang baru, namun peristiwa ini bisa diredam sehingga tidak menimbulkan konflik terbuka.
Memasuki periode yang damai abad ke-19 aktifitas penduduk berangsurangsur normal kembali. Komposisi penduduk yang hancur secara sosial dan struktural mulai menemukan bentuknya kembali. Komunitas-komunitas, Eropa, Meistizo, Kreole, Cina, Arab, Mandar, Bugis, Melayu dan penduduk asli terbentuk secara sosial dan struktural. Komposisi etnis di Banyuwangi semakin diperkuat dengan pembentukan kepala-kepala komunitas di antara mereka. Organisasi
ADVERTISEMENT
pemerintahan kolonial dan lokal juga mulai berfungsi kembali dengan normal. Jabatan-jabatan politik dari tingkat tertingi, bupati, hingga yang terendah kepala dusun mulai tersusun dan berjalan secara sistematis. Kegitan ekonomi rakyat mulai tertata kembali dan invetasi asing juga mulai masuk ke Banyuwangi. Aktifitas spiritual penduduk di bidang keagamaan dan ritual-ritual ada juga mulai berkembang. Bahkan pemerintah secara tegas mengakui jabatan-jabatan khusus di bidang keagamaan dan kebudayaan, seperti Penghulu, ketib, modin, lebeh, bilal dan imam. Selama periode ini Islam berkembang sangat pesat di Banyuwangi.
Dalam struktur sosial masyarakat kolonial, penduduk Eropa ditempatkan dalam hirarkhi tertinggi, menyusul kemudian masyarakat meistizo, kreole, Cina, Arab dan Timur Asing iainnya, dan yang terakhir adalah penduduk bumiputra, atau dalam kategori kolonial inlander atau Inslandsche bevolking. Setelah Pemerintah Hindia-Belanda mengambil alih kembali pemerintahan dari tangan Rafless pada tahun 1816, para pegawai kolonial Hindia Belanda kembali ditempatkan di Banyuwangi dan administrasi pemerintahan kembali berjalan. Masalah kependudukan menjadi perhatian utama pemerintah kolonial di Banyuwangi. Dalam laporannya yang sangat panjang tentang keadaan penduduk di Banyuwangi pada tahun 1820, Residen Banyuwangi Van der Poel menjelaskan bahwa jumlah penduduk di Banyuwangi masih sedikit walaupun hal itu sudah jauh lebih besar dari dua puluh lima atau tiga puluh tahun sebelumnya. La menjelaskan bahwa perang yang terjadi pada tahun 1771 di Bayu, Songgon, memberikan dampak yang sangat buruk terhadap populasi di Banyuwangi. Demikian juga ketika Blambangan di bawah kekuasaan Gusti Mura dari Bali. La menceritakan kembali dahsyatnya perang itu, walaupun berjalan singkat, termasuk kebrutalan Residen Schophof yang telah membatai ratusan penduduk Blambangan di dalam sebuah kapal di teluk Pampang sebagai balasan atas kematian kurang lebih 60 prajurit Kompeni yang terbunuh di Bayu. Tindakan Schophoff ini menurut Residen Van der Poel menyebabkan banyak penduduk Iain yang tersisa ketakutan dan melarikan diri dari Blambangan menuju wilayahwilayah yang* dianggap lebih aman seperti di Puger. Mereka tinggal di hutanhutan dan desa-desa terpencil di pegunungan. Menurut residen, pada tahun 1800 pemerintah telah meminta mereka kembali ke Blambangan. Tidak kurang dari seratus keluarga yang ditemukan di lima desa; Pucang Kerep, Petang, Kapur, Kali Agung dan Pundung, dalam keadaan yang menyedihkan. Residen sendiri tidak bisa memastikan perubahan dan perkembangan penduduk selama tiga puluh tahun terakhir (sejak tahun 1800] secara detil karena menurutnya arsip arsip dari dua periode pemerintahan residen seblumnya dan juga residen pada masa pendudukan Inggris tidak dapat ditemukan. Ia memperkirakan sebelum perang Bayu penduduk Blambangan kurang lebih 60.000 orang. Menurut catatan yang ada penduduk Banyuwangi pada tahun 1818 berjumlah 11.465 dan pada tahun 1820 berjumlah 19.775. Hal in menunjukkan telah terjadi perkembangan berarti.
ADVERTISEMENT
Untuk meningkatkan jumlah penduduk di Banyuwangi, memerintah mempertimbangkan untuk mengambil keuntungan dari kepadatan penduduk di pulau Bali dengan persetujuan raja-raja Bali berharap pemerintah dapat mendatangkan penduduk Bali untuk tinggal di Blambangan. Akan tetapi pemerintah tentu harus menunjuk tempat-tempat dimana mereka harus tinggal. Yang jelas pemerintah tidak mengijinkan mereka tinggal di pesisir timur Banyuwangi tetapi lebih cenderung menempatkan mereka di wilayah bagian barat atau selatan Banyuwangi. Mengenai orang-orang Bali yang akan ditempatkan di Banyuwangi itu Residen memberikan ilustrasi yang sangat menarik:
"Kita telah mengetahui asal-usul dari orang-orang Bali itu, dalam Bahasa Melayu kita menyebut mereka "Orang Baliek", yang berarti orang jahat atau orang salah, hidup secara bebas tanpa aturan (di Bali sendiri rajaraja kehilangan kontrol atas hidup mereka) mereka tidak memiliki aturan. Mereka berusaha tinggal di sini dengan caranya yang licik berserta sekelompok kecil datang ke sini dan berangkat lagi ke pulau asal mereka, atau kadang mereka keluyuran kemana-mana tidak kembali, dan kebanyakan mereka tinggal di pesisir dan menjadi Muslim. Oleh karena itu perlu diupayakan mencegah pengisian penduduk Bali di wilayah sekitar Gambiran, Karadinan dan Gentong. Penempatan seorang kepala penduduk Madura di Sumberwaru dan bagi mereka dalam dua atau tiga tahun hanya ditarik pajak yang kecil atau sama sekali dibebaskan dari pajak, kita bikin mereka senang dan kita bikin jangka waktu itu untuk pembanguna dan hal itu sangat diperlukan, dan ditempatkan desa-desa di hutan-hutan di Banyuwangi disepnajang jalan besar."
ADVERTISEMENT
Dari laporan residen itu menunjukkan bahwa untuk segera membangun perekonomian Banyuwangi tidak bisa menggantungkan perkembangan jumlah penduduk secara alamiah, karena hal ini memerlukan waktu yang sangat panjang. Apalagi masalah kesehatan dan wabah penyakit masih menjadi persoalan di Banyuwangi yang menyebabkan tingkat mortalitas yang tinggi. Penyakit yang sering menyerang penduduk adalah terutama di wilayah pantai pada musim angin muson timur adalah demam dan angin muson barat adalah penyakit kulit, yang menyerang bagian bawah tubuh. Upaya vaksinasi besarbesaran pemah dilakukan antara periode tahun 1809-1810 dan antara tahun 1816-1820. Persoalan lain adalah dari kurang lebih 19.775 penduduk itu masih banyak penduduk berusia lanjut dan anak-anak. Usia tertua mencapai rata-rata antara 70-75 dan usia rata-rata penduduk di Banyuwangi adalah 40-50 tahun. Di banyuwangi antara tahun 1816 hingga tahun 1820 terdapat 2.671 usia anakanak.3 Tentu saja untuk mengandalkan mereka tumbuh menjadi usia produktif akan memerlukan waktu yang sangat lama. Oleh karena itu, tidak ada cara yang lain untuk segera menumbuhkan perekonomian daerah dan menjadikan Banyuwangi sebagai penyumbang penting kas kolonial, penduduk dari luar daerah harus didatangkan. Kebijakan mengambil kelompok masyarakat Bali “liar" seperti yang dijelaskan di atas bukanlah tanpa resiko, terutama karena perilaku mereka yang dipandang tidak baik bagi pemerintah kolonial, sehingga residen cukup berhati-hati untuk mendatangkan mereka itu di Banyuwangi, dengan menempatkan mereka di wilayah pinggiran selatan yang cukup jauh dari ibukota kabupaten. Ditambahkan oleh residen bahwa sejumlah pendatang dari Bali itu mulai menetap tetapi rata-rata setiap tahunnya paling banyak sepuluh sampai lima belas keluarga. Sementara itu di Sumberwaru dan Kalitikus setiap tahunnya ada tiga atau empat keluarga Madura menempati wilayah itu.
ADVERTISEMENT
Secara umum perkembangan penduduk Banyuwangi selama tujuh decade pertama abad ke-19 dapat dilihat pada laporan Residen Banyuwangi di bawah ini.
Perkembangan Jumlah penduduk di Banyuwangi 1820-1873
1820 - 19.775 jiwa
1857 - 37.251 jiwa
1858 - 38.241 jiwa
1861 - 41.942 jiwa
1862 - 42.578 jiwa
1869 - 54.246 jiwa (termasuk orang buangan sebanyak 921 dan imigran 497 Jiwa)
1871 - 53.717 jiwa
1873 - 56.842 jiwa
Tulisan ini ditulis oleh sri Margana Dipresentasikan dalam Seminar Nasional dan Musyawarah Wilayah lkatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Se-lndonesia (IKHIMSI)Jawa Timur Di UNTAG Banyuwangi 13 September 2018