Konten dari Pengguna

Tradisi Ritual Adat Kesenian Bela Diri Banyuwangi “Pencak Sumping”

BANYUWANGI CONNECT
membacalah walau sebentar
14 Agustus 2019 22:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari BANYUWANGI CONNECT tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pagelaran seni pencak silat ini masyarakat Mondoluko - Photo ILHAM
zoom-in-whitePerbesar
Pagelaran seni pencak silat ini masyarakat Mondoluko - Photo ILHAM
Ritual pencak sumping merupakan kesenian bela diri ( pencak silat) asli Indonesia yang sangat melekat pada kehidupan Suku Osing di dusun Mondoluko desa Taman Suruh Kecamatan Glagah, setiap tahunnya dilaksanakan bertepatan dengan 10 Dulhijah ( lebaran Idul Adha ) , tahun ini bertepatan dengan minggu pon, 11/8/2019. Ritual adat Pencak Sumping ini dihadiri oleh Camat Glagah Astorik dan Forpimka Kecamatan Glagah.
ADVERTISEMENT
Pada setiap pagelaran seni pencak silat ini masyarakat Mondoluko sangat antusias dan kompak. Mereka juga mengundang dan menjamu para tamu yang hadir dari luar desa maupun dari kecamatan lain untuk mengikuti pagelaran pencak silat ini.
Yang menjadi keunikan dari setiap acara pagelaran pencak silat dilaksanakan seluruh masyarakat mondoluko menyuguhkan kue jajanan tradisional nogosari yang di sebut Sumping. Sehingga pagelaran pencak silat yang ada di dusun Mondoluko ini di sebut “Mencak Sumping”.
"Selain sebagai ajang silaturahmi, pencak sumping ini juga jadi tempat saling mengingatkan. Ilmu bela diri bukan untuk kesombongan, hanya untuk jaga diri," ujar dia.
Penonton Acara seni pencak silat di Mondoluko Kec.Glagah - Photo ILHAM
Masyarakat Dusun Mondoluko, punya tradisi kuno Pencak Sumping yang masih dilestarikan. Setiap lebaran Idul Adha, warga Dusun Mondoluko mengundang puluhan jawara pencak silat lintas generasi se-Kabupaten Banyuwangi untuk tampil dalam rangkaian ritus bersih desa.
ADVERTISEMENT
Menurut Rahayis ( ketua, panitia penyelenggara) bercerita, tradisi Pencak Sumping dalam ritus bersih desa sudah berlangsung ratusan tahun secara turun-temurun.
Dari cerita turun temurun, Rahayis mengatakan, Dusun Mondoluko pernah dipimpin oleh seorang raja dan meninggal dengan kondisi terluka, karena tidak menguasai ilmu bela diri. Sang ratu kemudian diminta untuk belajar ilmu silat agar bisa membela diri saat berperang.
"Mondol artinya luka yang parah, dan disebut Mondoluko. Sejak saat itu ratu bersama rakyatnya rutin belajar silat. Bahkan Anak-anak mulai usia 7 tahun juga sudah belajar, baik Laki-laki dan perempuan," terangnya. Sementara istilah Pencak Sumping, berawal dari peristiwa pagebluk yang mengakitbatkan banyak orang meninggal, sehingga diadakan ritus bersih desa untuk menghilangkan petaka tersebut.
ADVERTISEMENT
Ritus bersih desa yang berlangsung setiap lebaran Idul Adha. Warga mondoluko, mengarak dan menaruh sesaji di setiap sudut desa.
"Kalau Pencak Sumping ini untuk hiburan rangkaian seni dalam bersih desa itu. Setiap pendekar yang bermain, kalau kalah nanti sama temannya dikasih makan sumping (jajanan tradisional)," ujar Rahayis.
Kali ini, ada 50 pendekar pencak silat dari 20 perguruan silat yang datang ke Dusun Mondoluko untuk tampil dalam tradisi Pencak Sumping. Mulai Anak-anak dari usia 7 tahun hingga orang dewasa tampil menunjukkan seni bela dirinya. Sementara puluhan Ibu-ibu terus memasak sumping, jajanan yang terbuat dari tepung beras dan pisang. Bila sudah matang, akan terus disajikan kepada para pendekar.
Peserta seni pencak silat di Mondoluko Kec.Glagah Banyuwangi - Photo ILHAM
Sedangkan menurut budayawan Fatah Yasin Noor , menulis tentang Mondoluko. Saya suka dengan kata ini. Mondoluko itu ternyata dusun di Desa Tamansuruh. Tak ada yang pernah ke sini selain saya, Haji Ilham keris, dan Kang Usik. Dari Kemarang naik dikit belok kanan. Jalannya sudah lama rusak, batu tajam bikin ban gembos. Sejak jaman bupati Ratna sudah rusak sampai sekarang belum tersentuh pembangunan. Pak Camat perlu ditegur dengan keras.
ADVERTISEMENT
Kami ke Mondoluko ingin tahu adat tradisi Pencak Sumping. Sebuah tradisi turun temurun di dusun itu. Dilaksanakan tiap tahun pas Idul Adha. Saya mampir ke rumah Ahmad Surur, santri jebolan pondok pesantren Al Anwari Kertosari. Ahli membaca tulisan Arab gundul, Pegon. Yang mbabat alas di situ tak lain dan tak bukan ternyata Mbah buyutnya Ahmad Surur. Kurang lebih 300 tahun silam. Pendekar silat dan ahli solat. Namanya lupa. Yang nyatet Wyak Ilham. Surur ini fasih menerjemahkan quran ke bahasa Osing. Qowim pernah geleng geleng kepala oleh kecerdasan alamiah anak muda ini. Sekarang mbuh. Dirumahnya saya disuguhi kopi dan makan, jangan kesrut, dan jajan kampung. Saya cuma nyicipi tape yang dibungkus godong aneh, bukan daun pisang.(KRTH.ILHAM/BTD)
ADVERTISEMENT