news-card-video
23 Ramadhan 1446 HMinggu, 23 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Daily Worker dan Prajurit TNI: Ketimpangan Ruang Hidup Warga Sipil

Baqi Maulana Rizqi
Penulis I Pengawas Pemilu Bawaslu Brebes I Ketua PPK Sirampog KPU Brebes I S.M. Manajemen, Universitas Peradaban
20 Maret 2025 17:02 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Baqi Maulana Rizqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://unsplash.com/s/photos
zoom-in-whitePerbesar
https://unsplash.com/s/photos
ADVERTISEMENT
Di satu sisi, warga sipil semakin sulit mempertahankan ruang hidupnya. Mereka berjuang mati-matian untuk mendapatkan pekerjaan yang layak di tengah sistem ketenagakerjaan yang penuh eksploitasi dan ketidakpastian. Tenaga mereka dikuras habis demi memenuhi target industri, tanpa jaminan kesejahteraan yang jelas. Di sektor logistik, misalnya, ratusan bahkan ribuan pekerja daily worker di Shopee Express, JNE, J&T, dan perusahaan serupa silih berganti tumbang akibat beban kerja yang berat dan ketidakjelasan kontrak kerja. Upah mereka pun kerap dipotong oleh vendor perekrut tenaga kerja (Tirto.id, 2023).
ADVERTISEMENT
Namun, di sisi lain, pemerintah dan DPR justru mengesahkan RUU TNI menjadi UU, yang memperluas peran prajurit ke berbagai sektor sipil yang seharusnya diisi oleh warga sipil sendiri. Pasal 47 UU ini memungkinkan prajurit menduduki jabatan di berbagai kementerian dan lembaga, mulai dari koordinator bidang politik dan keamanan negara, intelijen, penanggulangan bencana, narkotika nasional, pengelolaan perbatasan, hingga Kejaksaan dan Mahkamah Agung (DPR RI, 2024). Bahkan, mereka masih dapat menduduki jabatan sipil lainnya setelah pensiun atau mengundurkan diri dari dinas aktif.
Dwi Fungsi TNI dan Ancaman Terhadap Demokrasi
Keputusan ini menimbulkan banyak pertanyaan. Bukannya memperjuangkan kesejahteraan buruh harian, mengawasi sistem outsourcing yang merugikan pekerja, atau memperbaiki regulasi ketenagakerjaan agar lebih adil, pemerintah justru membuka lebih banyak ruang bagi militer untuk terlibat dalam urusan sipil. Ini mengingatkan kita pada masa Orde Baru, di mana TNI memiliki peran dwi fungsi—bukan hanya sebagai alat pertahanan negara, tetapi juga sebagai kekuatan politik yang turut campur dalam pemerintahan dan kehidupan sipil. Akibatnya, banyak kebijakan yang dibuat lebih berpihak pada kepentingan militer daripada kesejahteraan rakyat (Herbert Feith, 1994).
ADVERTISEMENT
Padahal, salah satu amanat utama reformasi 1998 adalah menghapus peran dwi fungsi TNI dan mengembalikan supremasi sipil. TAP MPR No. VI/MPR/2000 dan TAP MPR No. VII/MPR/2000 menegaskan bahwa TNI hanya bertugas dalam bidang pertahanan negara dan tidak memiliki peran di ranah politik maupun birokrasi sipil (Kompas, 2023). Namun, pengesahan UU TNI yang baru tampaknya semakin menjauhkan kita dari semangat reformasi.
Lebih parahnya lagi, pelibatan TNI dalam urusan sipil sudah terbukti tidak efektif. Contohnya adalah proyek food estate yang digarap oleh militer tetapi justru gagal dan mangkrak (Mongabay, 2023). Program yang seharusnya meningkatkan ketahanan pangan itu malah tidak berjalan efektif, lahan terbengkalai, dan hasil panen tidak sesuai target. Jika dalam sektor pangan saja militer tidak mampu mengelola dengan baik, bagaimana bisa mereka dipercaya untuk menangani sektor-sektor lain yang lebih kompleks?
ADVERTISEMENT
Kasus Pelanggaran Jabatan oleh Militer
Selain food estate, keterlibatan TNI dalam jabatan sipil semakin meluas ke sektor-sektor strategis lainnya. Misalnya, penunjukan prajurit aktif di Bulog, yang seharusnya berada di bawah kendali sipil. Bulog adalah lembaga yang mengelola stok pangan nasional, dan seharusnya diisi oleh tenaga profesional dengan latar belakang ekonomi atau manajemen pangan, bukan militer (CNN Indonesia, 2024).
Kasus lain yang mencuat adalah keterlibatan TNI dalam program makanan bergizi gratis yang dicanangkan pemerintah. Seharusnya, program ini dijalankan oleh kementerian terkait yang memiliki keahlian dalam bidang gizi, kesehatan, dan kesejahteraan sosial. Namun, dengan kehadiran TNI, program ini justru berpotensi menjadi alat kontrol militer dalam sektor sosial yang seharusnya dijalankan oleh sipil (Tempo, 2024).
ADVERTISEMENT
Yang lebih memprihatinkan, skandal Tedi, seorang pejabat di Sekretariat Kabinet, yang diduga melanggar undang-undang karena memberikan ruang bagi TNI untuk menduduki jabatan yang tidak sesuai dengan fungsi utamanya. Ini adalah bentuk nyata dari bagaimana militer semakin merambah ranah sipil tanpa kendali yang jelas, melanggar prinsip supremasi sipil yang dijamin dalam konstitusi (Detik.com, 2024).
Ancaman Bagi Keamanan Warga Sipil
Keberadaan prajurit dalam ranah sipil tidak hanya berisiko menciptakan ketidakmampuan dalam mengelola sektor-sektor tertentu, tetapi juga membahayakan warga sipil. Kasus penembakan bos rental mobil oleh seorang anggota TNI di Tangerang adalah bukti nyata bahwa prajurit yang dipersenjatai seharusnya tidak masuk ke dalam jabatan sipil (Detik.com, 2024). Insiden ini mencerminkan bagaimana pelibatan aparat bersenjata dalam urusan sipil dapat menjadi ancaman bagi keamanan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Di tengah berbagai ketimpangan ini, pemimpin negara justru semakin membuat rakyat kehilangan kepercayaan akan kehadiran negara. Ketika rakyat menunggu solusi konkret dan kebijakan yang pro-pekerja, justru yang didengar adalah pernyataan tidak pantas sepertindasmu. Seorang presiden seharusnya memberikan kebijakan yang solutif, bukan sekadar pidato emosional yang semakin menjauhkan pemimpin dari rakyatnya (Kompas.com, 2024).
Kembali ke Amanat Reformasi
Jika negara ingin benar-benar kuat, yang harus diperkuat adalah kesejahteraan rakyatnya, bukan memperbanyak prajurit dalam jabatan sipil yang berisiko menambah persoalan baru. Amanat reformasi harus tetap dijaga, bukan dikikis perlahan demi kepentingan segelintir elite.
Sistem kerja yang tidak transparan dan kontrak kerja yang tidak jelas semakin menambah beban para pekerja. Mereka tidak hanya menghadapi tekanan fisik dari pekerjaan yang berat, tetapi juga kecemasan akan masa depan mereka sendiri. Dalam sistem ini, industri bisa dengan mudah membuang pekerja kapan saja tanpa konsekuensi, sementara outsourcing membuat perusahaan induk lepas tangan dari tanggung jawab terhadap kesejahteraan buruh.
ADVERTISEMENT
Lebih parahnya lagi, mitos bahwa kelas bawah itu malas bukanlah argumen yang valid. Mereka bukan malas, tetapi sulit mendapatkan pekerjaan yang adil. Industri yang seharusnya menjadi wadah kerja yang saling melengkapi justru menganut sistem “kalau tidak mau bekerja, kami bisa cari yang lain.” Aturan yang ada lebih banyak berpihak pada pemodal, sementara pekerja harus berjuang sendiri dalam ketidakpastian.
Keputusan untuk memperluas peran militer ke sektor sipil ini bukan hanya soal ketimpangan ketenagakerjaan, tetapi juga ancaman terhadap prinsip demokrasi dan supremasi sipil. Jika ruang sipil semakin dipersempit oleh keterlibatan militer, di mana posisi rakyat dalam negara ini? Bagaimana nasib pekerja harian, buruh lepas, dan mereka yang masih berjuang untuk mendapatkan pekerjaan yang layak di tengah sistem yang sudah timpang sejak awal?
ADVERTISEMENT
Amanat reformasi jelas: militer kembali ke barak, supremasi sipil harus dijaga. Jika negara benar-benar ingin maju, maka yang harus diperkuat adalah rakyatnya, bukan menjadikan militer sebagai solusi dari semua persoalan yang justru harus ditangani oleh warga sipil sendiri.