Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Konten dari Pengguna
Pendidikan, Kesadaran, dan Tantangan Dunia Kerja
8 Februari 2025 12:20 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Baqi Maulana Rizqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![https://unsplash.com/s/photos/industry](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jkgmqsp2c23sj9reqt5jxgxt.jpg)
ADVERTISEMENT
Sebagai warga negara Indonesia yang lahir, tumbuh, dan besar di negeri ini, saya telah merasakan langsung pahit manisnya kehidupan. Sudah sejak lama saya menyelesaikan studi Strata-1, setelah menempuh pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Selama itu, saya mendapat berbagai bentuk didikan serta bekal keterampilan, baik hard skill maupun soft skill. Namun, yang menjadi pertanyaan besar adalah seberapa jauh pendidikan yang ditempuh ini benar-benar berdampak pada kesejahteraan hidup.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, dengan jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 275 juta jiwa pada tahun 2024 menurut data dari Katadata (Sumber: Katadata, 2024), tantangan dalam menciptakan kesempatan kerja yang merata dan layak semakin kompleks. Dari sekian banyak orang, hanya segelintir yang benar-benar memiliki kesempatan menikmati kehidupan yang layak. Mereka yang bisa menempati posisi yang sering kali diklaim sebagai "sukses," "mapan," dan berbagai istilah lainnya.
Jika kita mencoba menelaah, program wajib belajar 12 tahun yang dijalankan saat ini ternyata belum cukup untuk memastikan seseorang memperoleh kehidupan yang layak. Program wajib belajar ini mencakup pendidikan dasar (SD) hingga pendidikan menengah (SMP dan SMA/SMK) yang kini diwajibkan bagi setiap anak Indonesia. Meskipun program ini memberikan akses pendidikan yang lebih luas, tantangan masih ada pada bagaimana kualitas pendidikan serta relevansinya dengan dunia kerja yang semakin kompetitif. Program wajib belajar ini, yang telah diperluas dari 9 tahun menjadi 12 tahun, memang mencakup periode yang lebih panjang, namun masalahnya bukan hanya terletak pada jumlah tahun pendidikan, tetapi bagaimana pendidikan itu mempersiapkan individu menghadapi dunia kerja yang sesungguhnya.
ADVERTISEMENT
Masalahnya bukan sekadar pada jumlah tahun pendidikan, tetapi lebih pada bagaimana sistem pendidikan itu sendiri mempersiapkan individu untuk menghadapi realitas dunia kerja dan kehidupan. Pendidikan seharusnya membebaskan dan memberikan kesadaran hakiki bagi peserta didiknya, sekaligus membekali mereka dengan keterampilan dan kompetensi yang sesuai.
Lebih jauh, fenomena privilege atau "orang dalam" dalam dunia kerja juga menjadi penghambat besar bagi prinsip meritokrasi.
ADVERTISEMENT
Selain itu, syarat usia kerja juga perlu direvisi untuk memungkinkan peluang yang lebih luas bagi siapapun agar dapat bekerja. Saat ini, banyak perusahaan yang menetapkan batasan usia terlalu ketat, baik untuk pekerja muda maupun bagi mereka yang sudah berpengalaman tetapi dianggap "terlalu tua" untuk bekerja. Padahal, setiap individu memiliki potensi yang berbeda-beda, dan pembatasan usia yang kaku hanya akan mempersempit kesempatan kerja bagi banyak orang yang sebenarnya masih produktif.
Karl Marx pernah menegaskan bahwa cara manusia menghasilkan apa yang dibutuhkan untuk hidup adalah sesuatu yang sangat logis dan konkret. Kesadaran ini mengingatkan kita bahwa apa pun pekerjaannya—apakah petani, peternak, pedagang, buruh, atau pegawai—semuanya memiliki nilai penting dalam kehidupan. Yang perlu menjadi catatan adalah bahwa pekerjaan yang dilakukan harus memiliki batasan yang jelas dalam memenuhi kebutuhan hidup, tanpa harus menjebak pekerja dalam eksploitasi berlebihan.
ADVERTISEMENT
Dalam pandangan Marx, nilai kerja ditentukan oleh jumlah barang dan jasa yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup pekerja dan keluarganya. Dalam sistem kapitalis, kerja sering dipandang sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan, dengan nilai yang ditentukan oleh biaya reproduksi tenaga kerja.
Selain itu, Marx menyoroti bahwa dalam sistem kapitalis, pemilik modal sering kali membayar tenaga kerja sesuai dengan nilai pasar tenaga kerja, yang sering kali tidak mencerminkan nilai penuh dari kerja tersebut. Hal ini menyebabkan pekerja menerima upah yang tidak sebanding dengan nilai yang mereka ciptakan melalui kerja mereka. Marx menekankan pentingnya pemahaman nilai kerja dalam konteks kebutuhan dasar pekerja dan bagaimana sistem ekonomi dapat mempengaruhi kesejahteraan mereka (Sumber: digilib.uin-suka.ac.id).
ADVERTISEMENT
Perbaikan sistem pendidikan harus diarahkan untuk membebaskan individu dari ketidakadilan struktural serta memberikan efek kesadaran yang hakiki. Pendidikan harus mampu membentuk manusia yang tidak hanya siap bekerja, tetapi juga memiliki daya kritis terhadap sistem yang ada. Dengan demikian, pendidikan bukan sekadar alat untuk menghasilkan tenaga kerja, tetapi menjadi jalan untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.