Konten dari Pengguna

Prosa, Seniman, dan Pernikahan

Bardjan
I make Wandha kneel down on me. Haha. Back off, you mortals!
9 Januari 2018 21:10 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bardjan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Prosa, Seniman, dan Pernikahan
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Pernikahan garis miring keluarga adalah maut bagi seniman. Bukan, bukan kataku. Kalimat tersebut kupotong semena-mena dari percakapan pesirkus di film Shadows and Fog-nya si pedofil you-know-who.
ADVERTISEMENT
Coba sebut sepuluh nama seniman luhur di dunia ini yang pernikahannya mulus-lus-lus dengan satu pasangan sampai ia mokat. Sebutkan! Aku belum pernah dengar. Tolong sebutkan, seraya kurapalkan nama-nama seniman yang hobinya ng3nti4w dengan orang lain di belakang ayang resminya dengan alasan: aku butuh perenungan. Taekkucing.
Kumulai daftar tersebut dari si penggubah The Tempest. Ia berdenyar di kepalaku begitu saja gara-gara tadi malam nonton Lady Bird. Kamu nonton sambil berselimut abu-abu, badanmu masih demam. Lidahmu pahit, dicium berkelit.
Pernikahan adalah maut bagi seniman, kuulangi. Memang tak padan kalau pernyataan itu dikumandangkan lewat mulut seorang Bardjan,
karena satu: ia bukan seniman, dua: ia bukan seniman, tiga: ia pernah dilempar sendal swallow oleh pelatih teaternya karena aktingnya amburadoel kayak bocah SMP baru tumbuh tetek yang sedang demam panggung. "Kamu tuh bisa akting gak sih?" Dan ia urung ngeksis kembali di panggung mana pun. The end.
ADVERTISEMENT
Ah, seniman memang bermulut jahad--dengan huruf 'd', namun lebih mulia dibanding jadi pegawai 9 to 5. ini pendapatku. Jangan marah. Aku juga pegawai. Pegawai bermimpi jadi seniman, tapi mentok-mentok cuma jadi seni-man (baca: senimen, orang yang ahli menghasilkan air seni alias kencing). Ndak lucu ya? Hehe.
Padahal mimpiku mulia: mati sebagai seniman. Kalau tidak, jadi sastrawan juga ndak apa-apa. Aku ingin mati kelaparan di tengah jalan tak berpapan nama, mati berkutang dan bersarung. Sisa hidup kuhabiskan dengan minum Kopi Liong sambil nyesap Cigarillos. Muantap!
Doyannya ngumpul bareng aktivis, membuih dialektika atas bacaan sastra-sastra kuno, atau puisi-puisinya Vallejo
dari pagi sampai malam, sambil sesekali bahas juga film-film indie gitu deh (eh, kalau ini sih anak hipster duaributujuhbelas juga bisa)
ADVERTISEMENT
Lantas apa yang kamu dapat dari tulisan gak jelas setengah puisi setengah prosa ini? Petik dua simpulan: satu, aku bukan sastrawan, apalagi seniman. Dua, pernikahan bukan akhir dari hidupku. Maka dari itu, menikahlah denganku.