Bhinneka Tinggal Duka

Bardjan
I make Wandha kneel down on me. Haha. Back off, you mortals!
Konten dari Pengguna
17 April 2017 16:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bardjan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi toleransi beragama (Foto: Istimewa)
Tepat ketika saya menulis ini, terputar kembali memoar masa kecil saat duduk di bangku sekolah dasar kelas 1. Saat itu, saya bersekolah di sekolah negeri yang dipenuhi oleh siswa-siswi beragama Muslim, meskipun sekolah itu tidak menggandeng label Sekolah Islam.
ADVERTISEMENT
Saat itu, kelas berisikan kurang lebih 40 siswa dan mayoritas beragama Islam. Namun, ada satu kawan yang berbeda keyakinan. Sebut saja namanya Fransiska. Fransiska tidak membawa Juz 'Amma ketika guru agama memerintahkan kami untuk membawanya di pelajaran Agama Islam. Ia pun tidak menggunakan jilbab ketika pelajaran berlangsung. Lalu, kala waktu istirahat tiba, saya dan teman-teman menemui fakta bahwa Fransiska berbeda keyakinan dengan kami.
Apa yang terjadi selanjutnya? Teman-teman saya mengejek Fransiska atas agama yang ia anut. Lontaran kontra toleransi seperti, “Ih… Fransiska Kristen, ya?”, “Kamu nyembah-nyembah patung ya!” atau “Fransiska Kristen kan nanti masuk neraka?” dan sebagainya.
Apa yang ada di pikiran teman-teman saya saat itu, yang notabene belum begitu khatam konsep keberagaman maupun toleransi, dengan mudahnya mengejek temannya sendiri? Tahun ajaran baru saja dimulai. Bahkan, ini baru saja jadi tahun pertama mereka menimba ilmu di sekolah dasar.
ADVERTISEMENT
Namun, dari mana sekumpulan statement intoleran tersebut mereka cerna sebelumnya? Ada pihak yang dianggap powerful oleh anak tersebut, yang telah menanamkan kesegragaman bahkan sejak mereka baru saja masuk bangku sekolah dasar, baik dimediasi maupun tidak, yang akhirnya diamini oleh anak-anak tersebut sebagai kebenaran.
Lantas, bagaimana dampak statement intoleran tersebut bagi Fransiska, siswa berumur 6 tahun yang bahkan tidak tahu mengapa agama yang diturunkan dari orang tuanya itu bisa jadi bahan ejekan?
Kami tidak tahu. Kala itu yang kami tahu adalah, orang tua Fransiska buru-buru memindahkan ia ke sekolah lain.
Kini, hampir 20 tahun berlalu, para pengejek Fransiska semakin berkembang biak banyak jumlahnya!
Mereka lebih gila daripada teman-teman semasa sekolah dasar dahulu. Mungkin sebagian dari mereka pernah mencemooh temannya yang berbeda saat masih kecil. Apa gerangan yang salah? Apa wawasan kebhinnekaan tidak terselip di kurikulum sekolah dasar? Mustahil tidak ada. Pendidikan pancasila dan kewarganegaraan selalu jadi pelajaran favorit semasa SD dan dapat nilai bagus, bukan?
ADVERTISEMENT
Soal-soal PPKn berisi seputar moralitas yang dicoba dikonstruksi di kepala anak-anak dan ditanamkan dalam hati nurani sehingga dapat menjadi nilai yang langgeng, bukan hanya oleh tim guru, melainkan oleh agen sosialisasi primer, keluarga. “Mencuri itu dosa”, “Memukul itu tidak baik”, “Ucapkan minta maaf jika bersalah”, “Maafkan temanmu yang bersalah”, atau “Jangan memfitnah dan menyakiti”, dan sebagainya. Simple, namun begitu penting untuk ditabur benihnya sejak dini.
Semua pengejawantahan butir pancasila dituang ke dalam lembar tekstual sebagai bekal pemahaman kebhinekkaan. Bahwa agama yang diakui di indonesia tidak hanya satu, bahwa suku bangsa terdistribusi luas dan beragam dari Sabang sampai Merauke, dan hal-hal lain yang malas saya tulis karena, oh come on, kalian sudah hafal, bukan?
ADVERTISEMENT
Nilai PPKn di rapot bolehlah 90. Namun, pemahaman nilai-nilai Pancasila menguap bersatu jadi kentut ketika beranjak dewasa, saya juga kurang paham. Mungkin karena mereka kini punya mainan baru yang lebih asyik ketimbang mengilhami keberagaman, dan pastinya, lebih bersahabat dengan saku celana.
Namanya, kmodifikasi agama. Atau lebih tepatnya, mereka gadai kebhinekkaan untuk memuaskan libido ketuhanannya. Kemudian, nafsu ketuhanan itu kelak bertemu jua dengan nafsu politik, yang nantinya akan mereka anggap lebih berharga daripada persaudaraan.
Politik ini dikuasai oleh segelintir tangan-tangan haus kekuasaan yang hendak memperbudak mereka dengan janji-janji yang benefisial. Duit, duit, duit. Semuanya diduitin. Dan untuk mendapatkannya ada syarat yang harus mereka lakukan: Jualan agama.
Mereka harus rela agamanya dijadikan bahan komoditas. Mereka harus rela diadu domba dengan mengatasnamakan agama. Mereka harus rela membabi buta hancurkan lawannya tanpa pandang bulu, selama orang itu berbeda keyakinan. Mereka harus rela menjadi tuli jika manusia lain mengingatkan tentang hablum minannas, sehingga mereka tetap kesetanan berdakwah mati-matian membela Tuhannya (jauh di seberang lelangitan, Tuhan itu terkekeh, “Mehehehe, ngapain dah gue lu bela, tong!”).
ADVERTISEMENT
Agama mereka adalah yang paling benar. Meskipun ada agama lain yang diakui bangsa ini, tetap saja agama mereka harus dianggap paling luhur dan mahabenar. Eh, tapi, kan, agama kami juga mengajarkan hal yang benar, kok! Kata si Anu. Si Fulan mana mau paham yang begituan. Yang Fulan tau, agamanya paling benar dan yang lain adalah kafir jahanam munafikun.
Tapi, bukankah kita tinggal di Indonesia yang mengusung kebhinnekaan, Lan? Itu artinya kalian intoleran, dong! Gawat. Fulan-fulan bisa beringas kalau diomongin begitu. Kalau kami intoleran, sudah habis kalian di negeri ini, katanya. Agama boleh lima di Indonesia, tapi yang akan mengantarmu ke Surga, ya, cuma agama kami. Duh, Fulan.. Fulan.
Atas dasar itulah mereka secara tidak sadar (atau mungkin sadar?) menggadaikan kebhinnekaannya dan memamerkan superioritasnya sebagai mayoritas. Negara ini mayoritas agama X, jadi kuasa mereka dengan kalian kalah telak! Lambat laun, sambil ngumpet-ngumpet, mereka lakukan rapat-rapat kecil tentang menggulingkan Pancasila dan menggantinya dengan syariat agama itu tuh.
ADVERTISEMENT
Mereka tidak sadar bahwa syariat agama itu tuh tidak akan laku di Negara Bhinneka. Entah ahistoris atau bebal dari sananya, syariat agama itu tuh sempat ditempatkan di sila pertama, namun dirombak ulang oleh para perumusnya karena, lagi-lagi, Indonesia terdiri dari beragam agama. Banyak pihak yang tidak setuju dengan penyeragaman yang tidak representatif macam begitu. Mengapa? Karena yang berjasa membangun ini bumi dari zaman ke zaman bukan cuma golongan tertentu saja. Hufft! Andai saja mereka benar-benar waras dan meninjau kembali sejarah negeri. Andai saja....
Namun ternyata, penyeragaman telah marak di mana-mana. Yang tidak laku justru adalah kebhinnekaan.
Sehingga mereka bisa menolak pembangunan rumah ibadah dan membombardir perayaan agama yang bertentangan dengan agamanya.
ADVERTISEMENT
Sehingga mereka bisa bebas memfitnah si Anu menistakan agama hingga didemo berjilid-jilid. Semua karena si Anu berbeda keyakinan dengan mereka (Giliran mereka katakan Yesus lahir di bidan mana, mereka jadikan bahan ketawaan!).
Sehingga mereka bisa bebas mengkafir-kafiri orang lain yang tidak sepaham dengan mereka.
Sehingga mereka bisa menelantarkan jenazah orang lain yang tidak sepaham politik dengan mereka.
Sehingga mereka bisa bebas mengusir orang yang hendak beribadah di rumah ibadah mereka meskipun orang itu beragama sama (Sinting, kan? Rumah ibadah agamamu sendiri bisa jadi tempat yang paling tidak aman!).
Sehingga mereka bisa bebas berpropaganda “Ganyang Etnis X!” karena katanya bukan penduduk asli Indonesia.
Tanpa mereka sadari, bahwa orang-orang yang mereka remehkan nyatanya sama-sama lahir dan tumbuh besar di Indonesia. Sama-sama cari makan. Lantas, mengapa kesetanan jika mereka melihat orang lain yang berbeda? Bukankah mereka pun tidak bisa request sebelum dilahirkan ke dunia?
ADVERTISEMENT
Kini saya melihat dengan mata kepala saya sendiri begitu banyak Fransiska-fransiska lain di negeri ini. Fransiska, di mana pun kamu, maafkan saya. Semoga kamu bahagia.
Izinkan saya menutup tulisan ini dengan satu pertanyaan: Bhinneka di mana? Bhinneka tinggal berapa?