Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Virus Corona dan Gas Rumah Kaca, Suatu Hipotesis dari Skala Waktu Geologi
I am a young student intending to enrich my knowledge in geology specifically in petroleum geochemistry and I am also passionate to share my knowledge. My interest lies in geological engineering especially in the research and development of geochemistry exploration. When dealing with tasks, my mindset is always geared towards results and its objectives, but I still value the processes to achieve it. I am an enthusiastic person who holds high ideals and always ready to adapt. I always keep in mind to maintain a good attitude and clearly love to work together with other companions in order to achieve more.
19 Maret 2020 0:22 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Barry Majeed Hartono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Virus Corona atau yang biasa disebut dari COVID-19 (Coronavirus disease 2019) merupakan suatu ancaman yang tak terlihat yang sudah menginfeksi 137 negara.
ADVERTISEMENT
Virus yang diduga berasal dari Hewan Trenggiling ini setidaknya sudah menginfeksi 205.470 orang dengan total kematian 8.248 orang dan 82.091 orang yang berhasil disembuhkan (Per 18 Maret 2020; Sumber: https://www.gisaid.org/epiflu-applications/global-cases-covid-19 /). Walaupun demikian, virus ini nampaknya menurunkan kadar gas rumah kaca seperti nitrogen dioksida (NO2) dan karbon dioksida (CO2) di atmosfer.
Seperti yang dapat dilihat, tampak langit diatas kota Wuhan, Tiongkok dipenuhi oleh gas NO2 pada awal tahun 2020, sebelum wabah Corona. Berbeda dengan bulan berikutnya, kadar NO2 justru berkurang akibat adanya wabah ini. Penurunan gas NO2 di atmosfer juga diikuti dengan polutan-polutan udara lainnya. Hal ini disebabkan penurunan penggunaan batubara ketika wabah tersebut. Pabrik-pabrik di Tiongkok juga banyak yang tidak berproduksi sehingga emisi gas rumah kaca berkurang. Wabah ini juga membuat masyarakat tidak keluar rumah sehingga kendaraan berbahan bakar fosil berkurang intensitasnya di jalan-raya. Tentunya, berkurangnya gas rumah kaca ini sangat baik untuk Bumi terutama untuk mencegah global warming di mana kadar CO2 dan gas lainnya cukup tinggi di udara.
ADVERTISEMENT
Jika kita melihat skala waktu geologi, kejadian perubahan kadar O2 dan CO2 sudah berlangsung sejak ratusan juta tahun lalu. Perubahan ini terjadi secara alami dan kontinu. Intinya, Bumi selalu dalam kondisi setimbang (kadar CO2 dan O2 setimbang) dan jika salah satunya berat, maka akan terjadi proses alami yang akan membuat keadaan menjadi setimbang kembali. Perubahan iklim akibat adanya CO2 dan O2 tercermin pada fluktuasi kandungan isotop O18 (Veizer dkk., 2000) dan isotop C13 (Wagner dkk., 2018). Keberadaan CO2 membuat Bumi semakin panas karena panas dari matahari dipantulkan kembali ke Bumi dan terperangkap di permukaan (greenhouse effect). Keberadaan O2 membuat Bumi menjadi dingin (icehouse effect).
Studi Kasus: Carboniferous Rainforest Collapse
Carboniferous Rainforest Collapse (CRC) merupakan suatu peristiwa kepunahan yang melibatkan kematian banyak tumbuhan pada Zaman Karbon yaitu sekitar 303 sampai 307 juta tahun yang lalu (Dunne dkk., 2018). Tumbuhan darat ini mati secara tiba-tiba akibat iklim yang menjadi kering. Sebelumnya, tumbuhan ini sangat melimpah dengan kondisi iklim yang hangat dan lembab. Namun, secara tiba-tiba tumbuhan ini mulai berkurang secara drastis. Tumbuhan ini mati secara tiba-tiba kemungkinan akibat adanya glasiasi dan penurunan muka air laut. Kemungkinan ini bisa disebabkan oleh tumbuhan yang terlalu banyak sehingga O2 yang dihasilkan semakin besar. Oksigen yang banyak di atmosfer menyebabkan Bumi semakin dingin memicu adanya glasiasi yang berujung pada turunnya muka air laut.
ADVERTISEMENT
Penutup
Kasus diatas merupakan salah satu contoh dari ketidakseimbangan kadar O2 di atmosfer. Ketika oksigen ini semakin banyak, Bumi dengan sistem alaminya akan menyeimbangkan O2 tersebut dengan mengurangi populasi tumbuhan tersebut. Hal ini akan menyebabkan CO2 akan bertambah untuk menyeimbangkan kadar CO2 di atmosfer. Dalam Kala Antroposen (zaman kehidupan manusia modern), produksi CO2 secara masif dihasilkan dari emisi pabrik, pembakaran batubara, dan kendaraan berbahan bakar fosil. Virus Corona kemudian hadir menyebabkan CO2 ini berkurang di atmosfer. Secara tidak langsung, Bumi sedang menyeimbangkan kembali melalui kehadiran virus ini. Tulisan ini pun merupakan hipotesis dari penulis.
Kehadiran virus ini belum bisa disebut sebagai kepunahan massal karena definisi dari kepunahan massal adalah hilangnya atau punahnya suatu biodiversitas secara masif dan cepat. Kata "biodiversitas" dimaknai bahwa populasi dari spesies lain juga harus berkurang sedangkan virus ini hanya mengafeksi manusia. Walaupun begitu, virus ini harus tetap dilawan oleh manusia. Manusia harus tetap hidup bersih dan sehat agar terhindar dari virus ini. Cuci tangan dengan rutin dan hindari menyentuh mata, hidung, dan mulut. Jaga jarak dengan orang setidaknya 1 m. Tetaplah di rumah, kecuali ada hal yang sangat penting. Dengan tetap di rumah, infeksi dari wabah ini bisa dikurangi.
ADVERTISEMENT
Referensi
Veizer, J., Godderis, Y. dan François, L., 2000. Evidence for decoupling of atmospheric CO2 and global climate during the Phanerozoic eon. Nature (408), hal.698–701.
Wagner T., Magill C.R., Herrle J.O., 2018. Carbon Isotopes. Dalam: White W.M. (eds) Encyclopedia of Geochemistry. Encyclopedia of Earth Sciences Series. Springer, Cham.
Dunne E.M., Close R.A., Button D.J., Brocklehurst N., Cashmore D.D., Lloyd G.T., Butler R.J., 2018. Diversity change during the rise of tetrapods and the impact of the ‘Carboniferous rainforest collapse’. Proceeding of Royal Society B (285): 20172730.
https://www.gisaid.org/epiflu-applications/global-cases-covid-19/ (diakses tanggal 18 Maret 2020, pukul 22.00 WIB)