Konten dari Pengguna

Kacamata, Jogja, dan Warisan Keluarga

Hadid Husaini
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Respati Yogyakarta
18 Mei 2022 12:26 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hadid Husaini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seperti hari-hari biasanya, Bagas bergegas untuk membuka toko kacamata miliknya. Ia harus sepagi mungkin membuka toko kecilnya agar rezekinya tidak melayang. Rumahnya yang berada di Kricak, Tegalrejo, Yogyakarta membutuhkan waktu sebelas menit untuk sampai tempat ia berjualan di Jalan Colombo yang terkenal tak pernah sepi.
Bagas, ketika sedang melayani pembeli. Foto: Dokumentasi pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Bagas, ketika sedang melayani pembeli. Foto: Dokumentasi pribadi.
Bagas merupakan seorang pemuda asal kota Yogyakarta yang kesehariannya bekerja sebagai penjual kacamata. Selain berjualan kacamata, Bagas merupakan seorang mahasiswa jurusan TI (Teknik Informatika) di Universitas AMIKOM Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Tempatnya berjualan bisa dibilang biasa saja, namun lokasinya yang sangat strategis karena dikepung oleh beberapa universitas terkemuka di Jogja membuat toko kacamatanya banyak dilarisi oleh mahasiswa. Selain itu, letaknya yang berada di samping bangjo (lampu merah) memiliki kans lebih besar untuk dilihat orang.
Suasana sore hari Jalan Colombo, Yogyakarta, di depan toko kacamata Bagas. Foto: dokumentasi pribadi.
Keluarga Bagas memang kental dengan darah pengusaha. Mulai dari nenek, ayah, hingga Bagas sendiri tak pernah sepi dari riuhnya dunia bisnis. Kultur bisnis keluarga besar Bagas diturunkan dari generasi ke generasi.
Dulu, nenek Bagas merupakan pebisnis gudeg yang cukup terkenal di Jogja. Bahkan bisnis gudeg yang sekiranya akan diprospek sebagai bisnis keluarga tersebut sempat memperoleh tempat di hati pelanggan bila harus bersaing dengan gudeg-gudeg lain dengan nama mentereng di Jogja. Namun kenyataannya hal tersebut tidak berjalan sesuai perkiraan. Usaha itu hanya berjalan satu generasi saja.
ADVERTISEMENT
Ayah Bagas yang harusnya mewarisi trah pengusaha gudeg, lebih memilih mencari jalan sendiri. Lagi-lagi mental memang tidak bisa bohong. Ayah Bagas berhasil membangun bisnis kacamata yang bisa dibilang perjalananya cukup stabil hingga sekarang Bagas sebagai generasi yang akan melanjutkan usaha tersebut. Tak ayal, bisnis gudeg pun berhenti dan mulailah usaha keluarga itu beralih menjadi usaha yang lain, yaitu kacamata.
Ayah Bagas sendiri sejak awal juga turut membangun ekosistem bisnis kacamata yang cukup terkenal di wilayah Colombo. Tidak sendiri, banyak sekali pedagang kacamata dalam lingkungan tempat ia berjualan, baik yang memiliki toko ataupun berlapak di sekitar pinggir jalan. Lokasi tempat ia berjualan memang menjadi sumber rezeki bagi banyak orang.
Sejak 2016, ayah Bagas berhenti mengurus bisnis rintisannya yang kemudian diwariskan kepada sang putra, Bagas. Bagas pun yang dari awal sudah mengenal iklim bisnisnya, tak perlu waktu lama untuk beradaptasi dengan bisnis yang ia teruskan dari ayahnya. Dibantu oleh karyawan yang sudah ada, Bagas melanjutkan bisnis tersebut.
ADVERTISEMENT
Bergetir Dahulu
Sebelum ia berada pada posisi sekarang, Bagas sempat menjalani kondisi seperti anak muda pada umumnya yang suka main dan penuh hingar bingar. Pandemi kala itu benar-benar membuka matanya akan kondisi yang dialami banyak orang. Layaknya shock therapy, ia kemudian memutar otak untuk bisa bertahan dalam kondisi sulit tersebut.
Dirinya sempat mendirikan usaha bersama rekan-rekan menongkrongnya. Bersama dengan temannya, ia mendirikan usaha mebel. Dengan modal seadanya, ia menjalankan bisnis tersebut dengan susah payah. Sempat mendapatkan banyak orderan produk, namun bisnis tersebut tak bertahan lama sampai akhirnya berhenti karena keterbatasan alat.
“Kami dulu bikin usaha mebel kayu pakai modal seadanya, tapi nggak lama, hanya berjalan sampai sembilan bulan,” kata Bagas saat ditemui di sebuah kedai kopi di Condongcatur, Sleman, Senin (26/04/2021).
ADVERTISEMENT
Masih dalam situasi pandemi, ia dan rekannya memberanikan diri mendirikan sebuah usaha sampingan berupa penyedia jasa foto untuk acara pernikahan dan desain grafis guna memperoleh penghasilan. Bermodal keahlian multimedia dan animasi yang ia pelajari di bangku kuliah, mereka menjalankan usaha sampingan tersebut dengan penuh semangat.
Membangun Usaha Sendiri
Ia pernah berkompromi dengan sang ayah untuk bisa mandiri dalam membagun usaha. Namun, ayah Bagas menghitung-hitung kepada Bagas akan keputusan tersebut. Ayahnya tahu betul sifat Bagas yang pantang menyerah. Namun, seperti kebanyakan orang tua yang selalu perhatian terhadap anaknya, ayah Bagas selalu mewanti-wanti anaknya tersebut.
“Ketimbang kerja buat orang mbok mending kerjo di tempat sendiri, biar nggak tergantung sama orang lain,” ungkap Bagas yang menyadur ucapan ayahnya.
ADVERTISEMENT
Bisnis yang hanya tinggal melanjutkan tak membuat Bagas menjadi manja dan lebih memilih merintis usaha sendiri. Bagas membuka usaha teh di Tambak Boyo, sebuah embung atau waduk di daerah Condongcatur, Sleman. Setelah beberapa bulan usahanya itu terpaksa ia tutup karena situasi sulit saat pandemi yang semakin menjadi.
Melanjutkan
Terhitung setelah dua tahun pandemi berjalan, dan berkali-kali mencoba untuk membangun usaha sendiri dengan hasil yang tidak sesuai, akhirnya Bagas memutuskan untuk meneruskan usaha yaitu berjualan kacamata milik ayahnya, usaha yang dulu pernah ia pandang sebelah mata karena dianggap kurang keren.
Sebagai seorang anak, membantu orang tua adalah kewajiban yang tidak bisa ia tinggalkan. Menurutnya, usaha keluarga yang ia warisi tersebut bukan hanya sekedar privilege (keistimewaan), atau hanya sekedar menanggung beban nama silsilah dalam sebuah marga seperti layak nya konglomerat.
ADVERTISEMENT
Sebagai anak, Bagas senang bisa menggeluti dan melanjutkan usaha keluarganya. Meskipun begitu, hal tersebut bukan merupakan proses yang instan. Ada proses jatuh bangun yang membentuk mentalnya agar lebih matang dalam menjalankan usaha.
Kacamata tak lagi hanya sekedar alat untuk mencari nafkah, namun sebagai identitas yang melekat dalam dirinya. Tidak ada kata menyesal dengan pekerjaan yang bagi orang terlihat sederhana tersebut atau bahkan niatan untuk berhenti. Justru Bagas memiliki impian untuk mengembangkan usahanya.
“Rencana, sih, ke depan kalo bisa bukak cabang gitu lah mas, paling-paling di Jogja dulu baru di luar kota,” ungkap Bagas.
Berjualan kacamata sendiri harus punya strategi. Ia sadar betul kualitas kacamata yang ia jual memang berbeda jika dibandingkan dengan kacamata yang dijual di optik. Meskipun harga yang miring, namun Bagas mengaku kacamata yang ia jual juga sudah sesuai standar.
ADVERTISEMENT
"Pasarnya, ya, anak sekolah dan mahasiswa yang setiap hari mereka pakai untuk menatap layar, apalagi ini lagi musim pandemi, waktu mereka banyak dihabiskan buat belajar di rumah yang kebanyakan menggunakan gawai dan laptop".
Bagas merasakan sendiri penurunan penjualan saat masih pandemi ini. Target pasar yang diharapkan seakan tak kunjung datang menghampiri. Hal tersebut tentunya beralasan, pandemi yang tak kunjung reda membuat para mahasiswa harus pulang ke daerah masing-masing yang membuat usaha berjualan kacamata menjadi lesu.
"Kadang sehari hanya dapet 100 ribu, kadang juga ga ada sama sekali, kaya gitu udah biasa," tambah Bagas yang menjelaskan kondisi jualanya.
Meskipun begitu ia tidak patah arah dengan kondisi yang ada. Ia sangat optimis usahanya ini akan kembali seperti semula seperti sebelum pandemi melanda.
ADVERTISEMENT
Ditanya soal bisnis kacamata yang ada sekarang, dia menjawab dengan gamblang. “Potensi bisnis kacamata sekarang dilihat dari supply dan demand-nya, kalo di Indonesia sendiri kondisinya ya kurang berimbang, lebih banyak demand-nya ketimbang sipply-nya,”ujarnya.
Bagas mengaku jika kacamata punya prospek cerah di masa mendatang. “Kacamata jaman sekarang bukan lagi hanya sebatas kebutuhan sebagai alat penglihatan semata, tapi sudah jauh berkembang sebagai fashion,” jelas Bagas.
Nyaman di Jogja
Sebagai seorang yang lahir di Jogja, Bagas tidak pernah sekalipun berpikir untuk meninggalkan tanah kelahirannya. Dirinya mengaku sangat merasa berkecukupan bisa hidup dan memiliki identitas sebagai orang Jogja asli.
Tidak seperti kebanyakan orang yang mengeluhkan rendahnya UMR Jogja yang tak sepadan dengan peluh yang dikeluarkan. Ia mengungkapkan bahwa banyak dinamika yang ada di kotanya yang punya banyak cerita. Ia merasa berhutang budi pada kota pendidikan itu.
ADVERTISEMENT
"Jogja buat saya sudah cukup, toh apa-apa juga ada di Jogja," ucap Bagas.
“Di Jogja ini lekat dengan cerita, banyak dinamika yang ada justru membuat saya betah” imbuhnya.
Bagi Bagas, bisnis yang diturunkan kepadanya bukanlah sebuah privilege atau keistimewaan yang jatuh dari langit karena semata-mata warisan. Justru bagi dia hal tersebut menjadi tanggung jawabnya sebagai seorang anak. Ia tak segan akan berbagi pengalaman jika ada teman atau orang yang ingin belajar.