Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Potret Perbatasan: Garuda di Dadaku, Malaysia di Perutku
12 November 2018 20:57 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
Tulisan dari Baskoro Ajie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Foto: Pengiriman Barang di Sebatik (Dok. Pribadi/Istimewa)
Luasnya wilayah Indonesia dan pola pembangunan yang kurang merata menyebabkan ketersediaan infrastruktur di sejumlah wilayah Indonesia, khususnya di daerah perbatasan tertinggal cukup jauh jika dibandingkan dengan ibukota provinsi, bahkan dengan daerah perbatasan negara tetangga.
Foto: Produk Malaysia pada salah satu toko di Tarakan (Dok. Instagram/abumaliq0317)
ADVERTISEMENT
Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara contohnya, adalah wilayah yang memiliki perbatasan dengan Sabah, Malaysia yang sebagian garis batasnya masih dalam proses perundingan bilateral. Nunukan memiliki sejumlah desa perbatasan yang sangat familiar dengan barang-barang produksi Malaysia karena jaraknya lebih dekat dengan pusat bisnis negara tetangga kita itu.
Foto: Pedagang di pelabuhan Tawau (Dok. Pribadi/Istimewa)
Keterbatasan infrastruktur menyebabkan sulitnya konektifitas antar wilayah dan menjadi penghambat pembangunan utilitas wilayah pedesaaan serta mengurangi daya saing produk lokal. Hingga saat ini, produk-produk Malaysia masih mendominasi perputaran ekonomi Nunukan.
Besarnya biaya yang diperlukan untuk pembangunan infrastruktur ditambah lagi dengan sejumlah persoalan khas perbatasan seperti: penyelundupan narkotika; pencurian ikan; perdagangan manusia; dan tenaga kerja illegal, membuat pemerintah harus berusaha ekstra keras untuk mengatasi persoalan ini.
Foto: Tugu Perbatasan Garuda Perkasa Sebatik (Dok. Pribadi/Istimewa)
ADVERTISEMENT
Pemerintah daerah setempat memiliki tugas yang tidak ringan, utamanya untuk menjaga citra dan harga diri bangsa dihadapan negara tetangga serta terus menggelorakan nasionalisme warga di tapal batas. Untuk yang terakhir ini, pemerintah daerah dapat dikatakan cukup berhasil. Walaupun masyarakat setempat banyak yang lancar berbahasa melayu Malaysia, dan terbiasa mengkonsumsi produk negeri jiran karena tingginya interaksi sosial dan bisnis dengan warga tetangga, mereka tetap cinta Indonesia. Masyarakat setempat sudah terbiasa dengan istilah ‘Garuda di Dadaku, Malaysia di Perutku’, suatu istilah yang perlu menjadi perhatian bersama.