Konten dari Pengguna

Kasus Mario: Wahai Orang Tua, Mari Bersama Hentikan Mencetak Mario-Mario Lainnya

Hasrini Sari
Staf Pengajar di Institut Teknologi Bandung
7 Maret 2023 12:20 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hasrini Sari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi remaja rebel. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi remaja rebel. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Hebohnya kasus penganiayaan yang dilakukan oleh putra pejabat negara menimbulkan pertanyaan, bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana bisa dua orang pelaku lainnya tidak melakukan apa-apa terhadap tindakan brutal dari pelaku?
ADVERTISEMENT
Bagaimana hal tersebut dapat terjadi? Apa yang dapat kita lakukan agar di kemudian hari tidak ada Mario-Mario lainnya?
Bukankah manusia semua berawal dari kondisi yang sama, yaitu bayi yang belum tahu apa-apa? Bagaimana kemudian seseorang dapat tumbuh menjadi manusia yang arogan, pamer kemewahan. Sementara ada individu lain yang tumbuh menjadi manusia yang rendah hati dan welas asih?
Ini terjadi salah satunya karena proses belajar, yaitu suatu proses yang menghasilkan perubahan perilaku pada individu, bersifat relatif permanen, dan dibentuk dari pengalaman. Proses belajar terjadi di sepanjang hidup manusia, baik disengaja maupun tidak disengaja. Belajar sendiri adalah salah satu fitrah manusia.

Bagaimana proses ini berlangsung?

Ada beberapa cara, salah satunya adalah proses belajar melalui pengamatan terhadap tindakan orang lain yang menjadi model. Dan, konsekuensi yang diperoleh model dari tindakan tersebut.
ADVERTISEMENT
Ada empat syarat agar proses belajar observasional ini terjadi, yaitu individu memperhatikan perilaku model, individu mengingat perilaku tersebut, individu punya kemampuan untuk meniru, dan punya dorongan/motivasi untuk mencontohnya.
Sebagai ilustrasi, katakanlah Rio, memperhatikan perilaku ibunya yang sering menampilkan foto-foto diri menggunakan barang-barang bermerek di media sosial. Ternyata foto-foto tersebut mendatangkan pujian dan banyak teman bagi ibunya.
Itu tertanam di dalam ingatan Rio. Dan, ketika ia punya kesempatan untuk memiliki barang mewah, ditambah lagi dorongan untuk eksis di media sosial, maka Rio akan menampilkan perilaku yang sama.
Proses belajar observasional ini yang terjadi ketika anak-anak mencontoh perilaku orang tua, kakak, atau orang lain yang lebih dewasa. Proses belajar mencontoh atau meneladani, adalah proses belajar yang efektif, dan sesuai dengan sifat alamiah manusia yang cenderung meniru perilaku orang lain.
ADVERTISEMENT
Satu studi menunjukkan bahwa kelompok anak yang melihat orang dewasa menyiksa, menginjak-injak, dan meninju sebuah boneka balon yang besar akan cenderung meniru perilaku tersebut ketika ditinggalkan sendirian bersama boneka tersebut. Sementara kelompok anak yang tidak menyaksikan perilaku tersebut, tidak melakukannya.
Untuk konteks perilaku mengkonsumsi, proses belajar dimulai sejak usia nol tahun. Jadi ketika orang tua membawa anaknya yang berusia satu bulan ke sebuah pusat perbelanjaan, proses belajar sudah terjadi. Semakin bertambah usia, proses belajar mengkonsumsi terus terjadi dengan bantuan orang di sekelilingnya, hingga mulai di usia sekitar 8 tahun anak mampu mengambil keputusan belanja sendiri.

Bagaimana dengan proses belajar dari media tontonan?

Pengaruh dari televisi, komputer, dan telepon genggam menjadi penting bagi anak-anak ketika para orang tua menjadikan media ini sebagai “pengasuh anak”. Terlebih anak pada umumnya sulit membedakan antara realitas dan penggambaran fiktif yang ditampilkan pada tontonan.
ADVERTISEMENT
Iklan misalnya, proses belajar terjadi dalam diri anak ketika menonton iklan tersebut dan menyebabkan munculnya perilaku bahkan kebiasaan yang ditampilkan sepanjang hidupnya. Suatu proyek kesehatan untuk anak memprediksi bahwa larangan terhadap iklan makanan cepat saji pada anak akan dapat menurunkan laju obesitas sebesar 18 persen.
Studi lain dilakukan untuk mengetahui dampak iklan yang ditampilkan di sela-sela film kartun untuk anak-anak usia 5 sampai 11 tahun, terhadap pola makan. Satu kelompok dipaparkan sepuluh iklan mainan, dilanjutkan dengan film kartun.
Sementara kelompok lainnya ditampilkan sepuluh iklan makanan, baru kemudian diputarkan film kartun yang sama. Setelah menonton film, kedua kelompok anak dipersilakan untuk memilih beragam makanan ringan yang disajikan di meja.
ADVERTISEMENT
Hasilnya menunjukkan bahwa kelompok anak usia 5-7 tahun yang dipaparkan iklan makanan, memilih untuk mengkonsumsi makanan ringan dengan kandungan kalori 14-17 persen lebih tinggi daripada kelompok lainnya.
Hasil yang lebih dramatis terjadi pada kelompok anak yang lebih besar. Pada kelompok usia 9-11 tahun, perbedaan kandungan kalori antara anak-anak yang menonton iklan makanan dan iklan mainan adalah sebesar 84-134 persen.
Miris memang, apalagi jika melihat tontonan dan gim anak-anak saat ini yang disusupi dengan berbagai pesan amoral. Masih ingat larangan terhadap film animasi Lightyear untuk diputar di beberapa negara termasuk Indonesia?
Meskipun film seperti ini dilarang, tapi film-film yang disusupi dengan pesan sejenis dapat diakses dengan mudah oleh anak-anak di televisi melalui saluran dengan siaran berbayar, atau melalui media sosial. Atau para artis yang notabene memiliki banyak pengikut yang menjadikannya sebagai teladan, kemudian mengkampanyekan perilaku yang bertentangan dengan fitrah makhluk hidup.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, para orang tua, peran besar ada di tangan Anda. Pemberian teladan berupa perilaku yang baik, tontonan yang baik, akan menjadi bahan bagi proses belajar anak. Mari bersama kita hentikan proses mencetak Mario-Mario berikutnya.