Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
26 Ramadhan 1446 HRabu, 26 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
"Belajar" dari Koperasi Unit Desa
24 Maret 2025 11:14 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Bastyo Arsa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Membaca konsepsi yang dibikin pemerintah beserta pemberitaan di media, Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) bisa ditafsirkan arahnya bakal menyasar ranah komoditas tani/nelayan. Program tersebut antara lain melalui langkah; mendirikan koperasi baru tiap desa, menyelaraskan koperasi desa yang sudah ada, dan tampaknya akan lebih dominan akan mentransformasikan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) yang sudah berdiri di desa-desa ke dalam koperasi.
ADVERTISEMENT
Yang jadi tanda tanya kemudian apa bedanya KDMP dengan Koperasi Unit Desa (KUD) zaman orde baru yang bergerak di bidang produksi pangan dan distribusi dari perdesaan? Ini belum berbicara perihal potensi gesekan horizontal dengan BUMDes, BUMDes Bersama, juga Badan Usaha Milik Petani (BUMP) yang sudah ada, dan posisi desa sebagai bagian dari struktur pemerintah.
Sependek pengetahuan saya, koperasi didirikan atas inisiatif anggota, modal awal dari anggota, kuasa juga dari anggota, AD/ART-pun yang bentuk anggota, bukan modal suntikan dari luar, bukan terbentuk atas perintah suprastruktur atau kuasa eksternal. Bukan seperti logika CV (Commanditaire Vennotschaap) atau PT (Perseroan Terbatas) yang semua ditentukan pemilik modal yang segelintir orang itu. Atau mensubordinasikan dan mencabangkan posisi Koperasi di bawah BUMDes, hierarkhis tertinggi koperasi ya Rapat Anggota Koperasi, tidak ada suprastruktur di atasnya. Baik itu di Undang-Undang 25/1992 tentang Perkoperasian yang berlaku di Indonesia, maupun di Aliansi Koperasi Internasional (International Cooperative Alliance/ICA) pakem fondasi koperasi memang seperti itu.
Sejarah Kelam KUD
ADVERTISEMENT
Sejarah mencatat KUD bagus untuk kontrol stabilitas harga tingkat petani/produsen komoditas, harga bagus dan stabil bagi petani, namun tidak bagus bagi tengkulak dalam ekosistem rantai pasar bebas tentunya seperti kondisi saat ini. Tapi bisa menjadi pisau bermata dua juga KUD itu menjelang redupnya dahulu; yang diuntungkan hanya elite KUD, lalu tidak ada atmosfir demokrasi dalam tata koperasinya, anggota koperasi cenderung cuma formalitas bukan fondasi utama pilar koperasi.
Contoh KUD bermata pisau dua ini riil terjadi di sentra cengkeh di kawasan perdesaan Gumelar, Lumbir, Pekuncen, Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas Jawa Tengah juga perdesaan di Kabupaten Trenggalek Jawa Timur 4 dekade lalu. KUD memang menstabilkan harga cengkeh yang membuat petaninya makmur merata, tidak ada tengkulak swasta yang berani mempermainkan petani cengkeh. Namun ketika hadir Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) besutan Tommy Suharto awal 1990 lalu, lewat KUD pula-lah Tommy memonopoli harga cengkeh, sehingga anjlok di tingkat tani karena harga dipaksa jual rendah, dan oleh Tommy dijual mahal ke pabrik rokok. Bayangkan harga 1 kg cengkeh dipaksa jual Rp 45.000 di bawah harga normal Rp 200.000/kg (setara nilai inflasi sekarang) sebelum ada BPPC. Nah Tommy dengan liciknya beli dari petani Rp 45 ribu/kg, tapi jual ke pabrik rokok Rp 200 ribu/kg. Jahat kan?
ADVERTISEMENT
Hancurnya harga komoditas tani di perdesaan itu efeknya luar biasa, terutama keluarga tani, terlebih mata pencaharian warga perdesaan itu jelas mayoritas pertanian dan peternakan. Sandang, pangan, papan, pendidikan keluarga tani bisa ikutan hancur. Akhirnya pada migrasi, cari kerja ke kota, cari kerja dengan menjadi TKI/PMI non-skilled/sektor informal, label basis desa sebagai lumbung pangan mulai tergerus hilang, yang tersisa generasi tua saja yang paham tentang pertanian dan peternakan, generasi tuanya trauma, yang muda ikutan takut dan tidak tertarik lagi kerja di sektor ini. Generasi dan regenerasi tani perlahan bakal habis. Pada akhirnya ya berbondong-bondong bekerja bergantung upah, jadi pegawai, jadi priyayi, kerja buruh pabrik, bukan sektor-sektor yang mengolah uang dan aset laiknya petani.
ADVERTISEMENT
Sumitro Djojohadikusumo ayahnya Prabowo Subianto, punya peran sentris sebagai arsitek ekonomi Suharto, dan ada sedikit pemikiran beliau tentang koperasi. Dulu masa-masa KUD dijalankan awal orde baru 1970-an, tipikal koperasinya agak mirip Zen-Noh Jepang, karena basisnya sama-sama perdesaan dan pertanian.
Koperasi Zen-Noh konsepsinya pelibatan partisipasi anggota yang petani semua, sampai dengan konsumen. 1 man 1 vote & 1 voice; 1 orang anggota = 1 pemegang saham koperasi, berlaku untuk keseluruhan sistem kepemilikan, hingga sekarang luar biasa agregat kelembagaan, prospektif dan laju bisnisnya.
Akan tetapi jika dibanding KUD sejarahnya dibangun dengan konsep hierarkhis dari atas dan interventif, petani dan masyarakat desanya pasif, manut apa perintah pemerintah. KUD hanya diberi akses modal, gedung, dan pengurus serta manajemennya dikendalikan oleh pemerintah. Bung Hatta sejak awal berdirinya KUD, seperti yang ditulis Prof. Mubyarto (2003), mengkritik pedas koperasi-koperasi Indonesia yang lebih nampak berkembang sebagai koperasi pengurus, bukan koperasi anggota.
ADVERTISEMENT
Lintasan sejarah KUD ini rontok satu-persatu meninggalkan plang nama karena tidak lagi difasilitasi hingga kehilangan kepercayaan masyarakat di masa-masa Suharto berakhir kuasanya.
Artinya masyarakat desa punya catatan ingatan sejarah panjang.
Melihat koperasi besar seperti model Fonterra di New Zealand, menariknya sejarah mereka penggabungan dan peleburan perusahaan negara dengan 2 koperasi peternak besar yang sudah berdiri sebelumnya. Anggota semuanya peternak sapi perah (dairy), namun demikian sistemnya itu tetap sesuai prinsip koperasi 1 orang 1 saham 1 suara. Tidak mencampurkan porsi saham 1 investor bisa beli 2 orang atau lebih posisi anggota koperasi, seperti yang dilogikakan dan diinginkan penyusun UU 17/2012 –nan merevisi UU 25/1992–, yang menthal dan gagal berlaku karena digugat oleh para pegiat koperasi ke Mahkamah Konstitusi tahun 2012.
ADVERTISEMENT
Jadi sebelum melangkah lebih jauh mendirikan 70.000 Kopdes Merah Putih di seluruh Indonesia, sebaiknya pemerintah memperkuat BUMDes dan BUMDes Bersama yang sudah ada, karena koperasi sejatinya lahir dan tumbuh atas inisiatif anggota, bertujuan untuk kemandirian & kemakmuran anggota koperasi itu sendiri. Tapi jikalau ngebetpun pemerintah dirikan/merevitalisasi koperasi di tiap desa, lebih baik terpisah dari struktur desa maupun BUMDes. [ ]