Pungutan Liar (tidak) sama dengan Korupsi

Basuki Kurniawan
Dosen UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember
Konten dari Pengguna
13 Juni 2018 21:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Basuki Kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemahaman mengenai pungutan liar memang masih belum banyak dipahami oleh sebagian masyarakat mengenai apa sebenarnya pengertian dari pungutan liar itu sendiri. Pungutan liar dipahami sebagai permintaan sebagian uang dari pejabat birokrasi di luar panjar biaya perkara yang pembayarannya di luar dari panjar biaya yang harus dibayar. Sedangkan bilamana pungutan liar itu tidak dibayar maka akan dikhawatirkan adanya kesulitan dalam penyelesaian administrasi yang sedang di laksanakan.
ADVERTISEMENT
Pungutan liar ini sudah menjadi rahasia umum yang menjadi praktik lama di lingkungan birokrasi di Indonesia. Tak ayal proses penyelesaian yang biasanya dalam satu hari selesai dapat menjadi berhari-hari penyelesaiannya disebabakan tidak membayar uang tambahan atau pungli twesebut. Penegakan hukum terhadap kasus penyalahgunaan wewenang seperti pungutan liar (pungli) masih lemah. Meskipun masuk dalam kategori pelanggaran, namun praktik pungli marak terjadi pada fasilitas pelayanan publik. Hal ini ditegaskan oleh anggota Ombusman Republik Indonesia (ORI), Alamsyah Saragih, bahwa beberapa instansi pelayanan publik seperti pengurusan STNK di Sistem Administrasi Satu Atap (SAMSAT), kantor Imigrasi, kantor Kependudukan dan Catatan Sipil (DUKCAPIL), Badan Layanan Perizinan Terpadu (BLPT), dan berbagai instansi pelayanan publik lainnya dinilai rawan dengan praktik pungli. Bahkan jumlah mal administrasi dengan imbalan (pungli) menurut ORI mencapai 51% dari seluruh laporan terkait praktik pungli pada tahun 2016.
ADVERTISEMENT
Pembentukan Satgas Saber Pungli sebagai langkah tegas dan nyata dari Presiden Joko Widodo dianggap sebagai gagasan yang bagus, namun menurut pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, pembentukan Satgas Saber Pungli belum tentu akan mendapatkan kepercayaan publik. Hal ini karena kepolisian masih menjadi komponen pelaksana dari tim tersebut, sedangkan kepolisian juga merupakan salah satu lembaga yang rawan pungli dalam pelayanan publik. Berdasarkan hal tersebut, maka artikel ini akan mengkaji tentang upaya pemerintah melakukan pemberantasan pungli melalui pembentukan Satgas Saber Pungli
Penegakan hukum terhadap praktik pungli pada dasarnya telah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, misalnya KUHP. Apabila aksi pungli dilakukan dengan cara kekerasan secara paksa (premanisme) maka pelaku dapat dijerat dengan Pasal 368 KUHP, yang mengancam pelaku dengan pidana pemerasan dan dapat dipidana paling lama 9 (sembilan) tahun. Sementara apabila aksi pungli dilakukan oleh pegawai negeri maka dapat ditindak sesuai dengan ketentuan Pasal 423 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun. Penindakan bagi pegawai negeri yang terbukti melakukan pungli, selain diatur dalam Pasal 423 KUHP, juga dapat ditindak dengan Pasal 12 huruf e UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman hukuman penjara minimal 4 (empat) tahun dan maksimal 20 (dua puluh) tahun.
ADVERTISEMENT
Penindakan praktik pungli sebenarnya telah dilakukan pada tahun 1977 melalui Intruksi Presiden No. 9 Tahun 1977 tentang Operasi Tertib dengan tugas membersihkan pungutan liar, penertiban uang siluman, penertiban aparat pemerintah daerah dan departemen. Untuk memperlancar dan mengefektifkan pelaksanaan penertiban ini maka ditugaskan Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara untuk mengoordinir pelaksanaannya dan Kepala Staf Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kaskopkamtib) untuk membantu departemen lembaga pelaksanaannya secara operasional apabila diperlukan. Operasi tertib ini dilakukan untuk menghilangkan praktik-praktik pungutan yang dilakukan oleh oknum aparatur pemerintah yang tidak berdasarkan peraturan seperti pungli dalam berbagai bentuknya, serta meningkatkan daya dan hasil guna aparatur pemerintah.
ADVERTISEMENT
Seiring waktu, pada tahun 2004 Pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Terdapat 12 instruksi kepada para pemimpin birokrasi, di antaranya adalah instruksi untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, baik dalam bentuk jasa maupun perizinan melalui transparansi dan standarisasi pelayanan yang meliputi persyaratan, target waktu penyelesaian, dan tarif biaya yang harus dibayar masyarakat untuk mendapatkan pelayanan tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan menghapuskan pungli. Tahun 2011, Presiden kembali mengeluarkan Instruksi Presiden No. 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi pada tahun 2012. Beberapa hal mulai diterapkan untuk mendukung kebijakan tersebut, seperti diterapkannya sistem transparan di lembaga kepolisian dan kejaksaan serta sistem whistle blower and justice collaborator.
ADVERTISEMENT
Konsep pungli ini sebenarnya berbeda dengan konsep tentang tindak pidana korupsi karena pemaknaan mengenai pungli dan tipikor itu juga berbeda. Tindak pidana korupsi itu terjadi bilamana adanya kerugian negara akibat traksaski yang dilakanakan pejabat administrasi. Sedangkan pungli tidak ada kerugian negara yang didapatkan dari adanya rtransaksi tersebut. Maka memang konsep penindakan bagi pelaku korupsi dan pungli juga berbedea secara praktiknya. Menjadi rancu bilamana penindakan kasus pungli ini harus diselesaikan melalui jalur pengadilan tipikor. Karena Undang-undang yang dikenakan baga pelaku tipikor dan juga pungli itu berbeda. Yang mana hal tersebut dapat menjadi vage norm dalam penegakan hukum bagi kasus pungli dan tipikor di Pengadilan Tipikor Surabaya.
Efektifitas dari persidangan yang dilaksanakan oleh pengadilan kepada pelaku pungli dan tipikor juga perlu menjadi pertimbnagan. Pelaku tipikor di daerah yang terciduk melaksanakan tindak pidana korupsi maka persidangan nya dilaksanakan di Pengadilan Tindak Pidanan Korupsi di Ibukota Provinsi, seperti halnya korupsi yang terjadi di Lumajang, maka pelaksanaan persidanganan bagi pelaku korupsi itu berada di Pengadilan Tindak Pidanan Korupsi Surabaya. Mengapa tidak dilakansakan di Pengadilan Negeri di Lumajang, karena memang Pengadilan Tindak Pidana Koruspi belum dibentuk di daerah-daerah keseluruhan, masih terbentuk di Ibukota Provinsi. Menjadi pertanyan kemudian bilmana persidangan pungli yang hampir disamakan dengan tipikor, kemudian persidangan kasus pungli itu di laksanakan di Pengadilan Tipikor Surabaya tentu hal ini juga tidak efektif. Malahan hal ini akan memberatkan keuangan negara tentunya. Pelaku pungli yang tercekal oleh Saber Pungli ini disamakan dengan pelaku tipikor, yang terlebih pelaku pungli secara ekonomi tidak merugikan keuangan Negara. Maka menjadi tidak efektif bilamana pelaku pungli ini akan dilaksanakan persidangannya di PN Surabaya.
ADVERTISEMENT
Uang yang ditransaksikan dalam pungutan liar ini merupakan bukan kerugian negara. Pemaknaan dari kerugian negara sendiri bilamana apabila ada uang yang dimiliki oleh Negara itu kemudian disalahkagunakan untuk kepentingan pribadi, golongan dan keluarga, sedangan uang yang disetorkan (diberikan) untuk mempermudah proses administrasi itu bukan merupakan kerugian Negara. Pemahaman ini merupakan konsekuensi logis tentu tidak bisa disamakan dengan tindak pidana korupsi dan lebih cenderung pada delik umum. Karena memang tidak ada kerugian negara dalam transaksi pungli tadi. Namun memnag kebijakan dari Presiden Joko Widodo untuk memberanatas Pungutan Liar memang harus didukung untuk meningktan pelayan publik yang bebas adaanya unsur kepentingan. Semoga penegakan hukum bagi pelaku pungli di semua instansi Pemerintah baik pusat dan daerah.
ADVERTISEMENT