Konten dari Pengguna

Ganti Presiden Ganti Kebijakan? GBHN Bisa Jadi Solusi Pembangunan Berkelanjutan

Basuki Kurniawan
Dosen Hukum Tata Negara UIN KHAS Jember. Aktif menulis opini hukum dan kebijakan publik. Menyelenggarakan bimbingan tugas akhir serta kelas penulisan opini hukum berbasis riset.
11 Mei 2025 15:28 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Basuki Kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kegiatan Menulis Opini di Kumparan (Sumber: Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Kegiatan Menulis Opini di Kumparan (Sumber: Pribadi)
ADVERTISEMENT
Presiden kelima Republik Indonesia, Ibu Megawati Soekarnoputri, yang juga merupakan Presiden perempuan pertama di Indonesia serta Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dalam berbagai kesempatan mengungkapkan kegelisahannya atas inkonsistensi arah kebijakan nasional. Menurutnya, terdapat kecenderungan yang mengkhawatirkan dalam sistem pemerintahan kita: setiap kali terjadi pergantian presiden, maka akan disertai pula dengan pergantian kebijakan yang signifikan. Bahkan di tingkat lokal, perubahan kepemimpinan bupati, wali kota, dan gubernur sering kali membawa serta pembatalan atau pengabaian atas program-program yang telah dirancang atau dijalankan pemimpin sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Ungkapan Ibu Megawati seperti “seperti menari poco-poco” menggambarkan situasi inkonsistensi kebijakan yang membuat pembangunan nasional seolah tidak memiliki arah tetap. Setiap lima tahun, arah kebijakan bisa berubah total, meski program sebelumnya telah menunjukkan dampak positif bagi masyarakat. Fenomena ini menjadi problematik, terutama karena tidak hanya menciptakan ketidakpastian, tetapi juga pemborosan sumber daya dan hilangnya keberlanjutan program. Dalam jangka panjang, rakyat menjadi pihak yang paling dirugikan.
Salah satu titik kritis dari permasalahan ini adalah ketiadaan sistem perencanaan pembangunan nasional yang mengikat lintas periode pemerintahan. Pada masa Orde Baru, Indonesia memiliki Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). GBHN berfungsi sebagai panduan utama pembangunan nasional dan mengikat Presiden dalam menyusun kebijakan. Sistem ini menghasilkan sejumlah capaian besar seperti swasembada pangan, pembangunan infrastruktur dasar, serta stabilitas ekonomi relatif dalam jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Namun, pasca-Reformasi, GBHN dihapuskan sebagai bagian dari upaya memperkuat sistem presidensial dan menghapus warisan otoritarianisme. Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR, dan kebijakan pembangunan menjadi sepenuhnya prerogatif eksekutif melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang disusun berdasarkan visi-misi presiden terpilih. Akibatnya, arah pembangunan menjadi sangat tergantung pada preferensi politik jangka pendek yang tidak selalu selaras dengan kepentingan jangka panjang nasional.
Di tengah perkembangan global, terutama posisi Indonesia sebagai anggota G20—kelompok negara dengan ekonomi terbesar di dunia—kebutuhan akan arah pembangunan yang stabil, terukur, dan konsisten menjadi semakin penting. Negara-negara seperti Korea Selatan, Tiongkok, Malaysia, dan Jerman, menerapkan rencana pembangunan jangka panjang yang berkesinambungan dari satu pemerintahan ke pemerintahan lainnya. Dengan demikian, pencapaian pembangunan mereka tidak terganggu oleh pergantian pemimpin politik.
ADVERTISEMENT
Indonesia sebenarnya memiliki Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), tetapi dalam praktiknya RPJPN tidak memiliki kekuatan mengikat yang kuat terhadap seluruh pelaku pembangunan, terutama terhadap Presiden dan bagi Kepala Daerah baru. RPJPN sering kali hanya menjadi dokumen administratif tanpa pengaruh substansial dalam menjaga kesinambungan program. Di sinilah pentingnya mempertimbangkan kembali konsep GBHN atau membentuk instrumen baru yang memiliki fungsi serupa, namun tetap sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan sistem presidensiil yang kita anut saat ini.
Program-program strategis seperti pembangunan infrastruktur jalan tol, pemindahan Ibu Kota Negara (IKN), penguatan ketahanan pangan, dan program kesejahteraan sosial yang telah dilaksanakan dalam pemerintahan sebelumnya seharusnya tidak dihentikan hanya karena adanya pergantian kepemimpinan. Jika pembangunan yang sudah berjalan dihentikan begitu saja, maka bangsa ini akan terus terjebak dalam pola maju mundur—"maju dua langkah, mundur lima langkah"—yang akan membuat kita sulit mencapai tujuan besar menjadi negara maju dan berdaya saing global.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, perlu ada mekanisme kelembagaan yang menjamin kesinambungan kebijakan pembangunan. Salah satu opsi adalah merumuskan kembali GBHN dalam bentuk yang relevan dengan zaman, atau memperkuat peran RPJPN dengan membuatnya lebih mengikat terhadap seluruh jenjang pemerintahan. Hal ini dapat dilakukan melalui perubahan peraturan perundang-undangan yang mengatur tata kelola pembangunan nasional, dengan tetap menjaga prinsip demokrasi, desentralisasi, dan akuntabilitas publik.
Kesinambungan pembangunan bukan hanya masalah teknokratis, tetapi menyangkut masa depan bangsa. Tanpa arah pembangunan jangka panjang yang stabil, Indonesia akan selalu terjebak dalam agenda politik elektoral yang sempit. Sementara itu, rakyat akan terus menjadi korban dari kebijakan yang silih berganti, tidak selesai, atau bahkan dibatalkan tanpa evaluasi yang rasional.
Menghidupkan kembali semangat GBHN bukan berarti kembali ke sentralisme ala Orde Baru, melainkan memetik nilai-nilai strategis dari warisan masa lalu yang relevan dan bermanfaat untuk masa depan. Dengan desain kelembagaan yang demokratis dan transparan, GBHN atau instrumen serupa dapat menjadi landasan kuat untuk menjaga arah pembangunan bangsa. Hanya dengan fondasi yang kokoh inilah Indonesia mampu menavigasi kompleksitas tantangan global dan mewujudkan cita-cita keadilan sosial dan kemakmuran bersama.
ADVERTISEMENT