Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Ijazah vs Legitimasi Sosial: Siapa Layak Jadi Kepala Desa?
8 Mei 2025 13:38 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Basuki Kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Seleksi calon Kepala Desa berdasarkan tingkat pendidikan menimbulkan pertanyaan serius: apakah ini legal secara hukum dan adil secara demokratis?
ADVERTISEMENT
Berdasarkan Permendagri No. 112 Tahun 2014 Pasal 25 , jika jumlah bakal calon kepala desa melebihi lima orang, maka dilakukan seleksi tambahan. Seleksi tambahan dilakukan dengan menggunakan kriteria seperti pengalaman bekerja di lembaga pemerintahan, tingkat pendidikan, usia, serta persyaratan lain yang ditetapkan oleh Bupati atau Wali Kota. Sayangnya, seleksi tambahan ini bukan melalui pemilihan langsung oleh warga, tetapi melalui proses administratif yang kaku dan minim partisipasi.
Yang menjadi sorotan adalah: kriteria seleksi tambahan di beberapa daerah menjadikan pendidikan formal sebagai dasar utama. Artinya, jika ada lima calon dengan ijazah S1, maka calon lain yang hanya lulusan SMA akan tersisih secara otomatis—tanpa mempertimbangkan integritas, pengalaman, atau dukungan masyarakat. Bahkan dalam beberapa kasus, bakal calon dengan rekam jejak sosial yang kuat pun tetap gugur karena kalah dalam urusan ijazah.
ADVERTISEMENT
Sejumlah Peraturan Bupati maupun Peraturan Daerah menetapkan bahwa seleksi tambahan calon kepala desa dilakukan berdasarkan urutan jenjang pendidikan formal. Mekanisme ini memang sah secara prosedural, tetapi bermasalah secara substantif karena tidak menjamin keadilan demokratis di tingkat desa. Hal ini juga berisiko membentuk kepemimpinan desa yang elitis dan menjauh dari realitas sosial masyarakat pedesaan.
Calon dari kalangan kurang mampu yang tidak memiliki akses ke pendidikan tinggi cenderung tersingkir secara sistemik, meskipun mereka memiliki legitimasi sosial yang kuat. Beberapa bakal calon Kepala Desa yang populer, memiliki rekam jejak yang bagus serta dipercaya oleh warga, harus gugur hanya karena tidak memiliki ijazah S1 atau S2. Ketika kelayakan kepemimpinan ditentukan oleh dokumen, bukan rekam jejak sosial, demokrasi desa kehilangan maknanya.
ADVERTISEMENT
Praktik ini tidak hanya menyisakan ketidakpuasan, tetapi juga telah memicu ketegangan sosial di sejumlah daerah. Beberapa pemilihan kepala desa diwarnai dengan gugatan hukum, kericuhan di TPS, hingga protes terbuka terhadap panitia pemilihan. Mekanisme seleksi yang tidak adil dapat memperbesar ketegangan horizontal serta menciptakan ketidakpercayaan terhadap institusi pemilihan di tingkat lokal.
Padahal, Kepala Desa merupakan aktor sentral dalam pembangunan di tingkat desa, pengelolaan anggaran, hingga penegakan peraturan desa. Oleh karena itu, yang dibutuhkan adalah sosok pemimpin yang dipercaya, bukan semata-mata terpilih melalui seleksi administratif. Sayangnya, model seleksi saat ini cenderung menafikan legitimasi sosial dan terlalu menekankan pada legalitas administratif yang belum tentu mencerminkan kapasitas kepemimpinan.
Peraturan Menteri Dalam Negeri memang memberikan ruang bagi seleksi tambahan bagi bakal calon kepala desa secara administratif. Ketentuan ini tertuang dalam Permendagri Nomor 112 Tahun 2014, khususnya Pasal 25. Namun, implementasi teknis seleksi tersebut diserahkan kepada pemerintah daerah, baik melalui peraturan bupati, peraturan wali kota, atau peraturan daerah. Ruang kebijakan yang terlalu terbuka ini justru memunculkan ketimpangan antar wilayah.
ADVERTISEMENT
Setiap daerah memiliki parameter seleksi yang berbeda-beda: ada yang mengutamakan usia, ada yang mempertimbangkan pengalaman kerja di pemerintahan, dan banyak yang secara dominan mengutamakan tingkat pendidikan atau ijazah formal. Akibatnya, terjadi ketidakseragaman kebijakan antar wilayah dalam seleksi bakal calon kepala desa. Hal ini berisiko menciptakan diskriminasi struktural dan ketidakadilan prosedural terhadap warga desa yang sebenarnya berkompeten untuk memimpin.
Permasalahan ini mencerminkan bagaimana regulasi administratif yang tidak disertai keterlibatan masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 25 Permendagri No. 112 Tahun 2014 dapat menggerus nilai-nilai demokrasi substantif. Jika seleksi tambahan dilakukan secara tertutup, tanpa transparansi dan partisipasi warga desa, maka proses pemilihan bakal calon kepala desa hanya menjadi ritual formal belaka—tanpa keadilan, legitimasi sosial, dan makna demokratis yang sejati.
ADVERTISEMENT
Solusinya, seleksi tambahan sebaiknya dilakukan melalui sistem penilaian gabungan yang mempertimbangkan berbagai aspek: pendidikan, pengalaman sosial, keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan, integritas personal, dan partisipasi masyarakat dalam proses penyaringan. Alternatif lain adalah membiarkan seluruh calon yang memenuhi syarat administratif untuk maju ke tahap pemilihan langsung, dan menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada rakyat desa.
Kepala desa bukan sekadar jabatan struktural, tetapi pemimpin lokal yang mengemban legitimasi sosial dan kepercayaan kolektif. Demokrasi desa tidak boleh direduksi menjadi sekadar seleksi administratif di atas meja. Jika kita ingin membangun demokrasi yang sehat sejak dari akar, maka sistem pilkades harus menjunjung tinggi prinsip partisipatif, kesetaraan hak warga, dan keadilan sosial.
Saatnya kita bertanya ulang: apakah demokrasi desa benar-benar milik rakyat, atau hanya milik segelintir pemilik ijazah? Pertanyaan ini bukan hanya soal hukum, tetapi tentang masa depan keadilan sosial di desa-desa Indonesia.
ADVERTISEMENT