Konten dari Pengguna

Ketika Gerakan Indonesia Bersih Gagal Menyentuh Akar Sampah

Basuki Kurniawan
Dosen Hukum Tata Negara UIN KHAS Jember. Aktif menulis opini hukum dan kebijakan publik. Menyelenggarakan bimbingan tugas akhir serta kelas penulisan opini hukum berbasis riset.
13 Mei 2025 15:24 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Basuki Kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sosialiasai Pengelolaan Sampah bersama Masyarakat di Senduro, Lumajang (Sumber: Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Sosialiasai Pengelolaan Sampah bersama Masyarakat di Senduro, Lumajang (Sumber: Pribadi)
ADVERTISEMENT
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah secara tegas mengatur pembagian tanggung jawab antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Namun, kenyataannya implementasi kebijakan ini di lapangan masih jauh dari optimal. Banyak daerah belum memiliki peraturan daerah (Perda) yang teknis dan operasional sebagai turunan dari kebijakan nasional tentang Pengelolaan Sampah tersebut. Akibatnya, pengelolaan sampah di tingkat lokal kerap berjalan tanpa arah yang jelas dan tidak menyatu dalam kerangka pembangunan daerah.
ADVERTISEMENT
Permasalahan semakin rumit ketika perda yang ada tidak sinkron dengan dokumen perencanaan, khususnya Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Ketidakharmonisan ini menyebabkan program pengelolaan sampah terpinggirkan dari prioritas pembangunan. Banyak pemerintah daerah bahkan tidak mengalokasikan anggaran khusus untuk pengelolaan sampah, padahal kebutuhan akan sarana, prasarana, dan sumber daya manusia dalam bidang ini sangat besar.
Struktur organisasi Dinas Lingkungan Hidup di daerah pun seringkali tidak ditunjang dengan tenaga ahli dan teknologi yang memadai. Akibatnya, lembaga ini hanya menjalankan fungsi administratif, tanpa kapasitas pelaksanaan yang kuat. Belum lagi soal integrasi lintas sektor yang lemah—tata ruang, sistem transportasi sampah, hingga penempatan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sering tidak terkoordinasi. Padahal, pengelolaan sampah semestinya menjadi bagian dari penguatan otonomi daerah yang berbasis pada kemampuan fiskal dan kelembagaan.
ADVERTISEMENT
Penegakan hukum atas pelanggaran pengelolaan sampah juga masih lemah. Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah memberikan dasar hukum bagi pemerintah untuk menerapkan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melanggar ketentuan dalam pengelolaan sampah. Sanksi administratif ini mencakup tiga bentuk, yaitu paksaan pemerintahan, uang paksa, dan/atau pencabutan izin. Paksaan pemerintahan merupakan tindakan langsung oleh Pemerintah untuk memaksa pelaku menaati kewajiban hukum, misalnya dengan penghentian kegiatan atau penutupan sementara fasilitas. Uang paksa dikenakan sebagai denda yang bersifat akumulatif selama pelanggaran belum dihentikan, bertujuan mendorong kepatuhan secara finansial. Sementara itu, pencabutan izin merupakan bentuk sanksi paling tegas terhadap pelaku usaha atau individu yang melakukan pelanggaran serius atau berulang. Ketiga bentuk sanksi ini mencerminkan pendekatan penegakan hukum secara administratif yang bersifat cepat, efektif, dan korektif, serta menunjukkan komitmen negara dalam memastikan pengelolaan sampah yang bertanggung jawab, tertib, dan berkelanjutan. Sanksi administratif terhadap pelaku—baik industri maupun rumah tangga—tidak cukup memberikan efek jera. Situasi ini menunjukkan perlunya penguatan regulasi dari pusat, misalnya melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup yang mengatur tata kelola pengelolaan sampah secara spesifik, termasuk pembagian antara sampah domestik dan industri.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, Indonesia pernah tercatat sebagai penyumbang sampah plastik ke laut terbesar kedua di dunia, menurut studi Jambeck et al. dalam jurnal Science (2015) dan laporan Ocean Conservancy. Studi tersebut menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan kontribusi signifikan terhadap polusi laut akibat sampah plastik dari daratan. Meskipun berbagai kebijakan nasional telah diluncurkan sejak saat itu, dampak lingkungan dari pengelolaan sampah yang belum optimal masih menjadi tantangan serius.Masalah ini bukan hanya mencemari ekosistem, tetapi juga berkontribusi terhadap banjir, pencemaran sungai, dan degradasi tanah, terutama di kota-kota padat penduduk.
Pemerintah sebenarnya telah meluncurkan berbagai program, seperti Gerakan Indonesia Bersih, Jakstranas (Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah), serta target pengurangan sampah 30% pada tahun 2025. Namun, realisasinya di lapangan masih minim. Salah satu penyebab utamanya adalah kurangnya pemanfaatan Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) sebagai alat bantu perencanaan dan evaluasi di tingkat daerah. Padahal, sistem ini dirancang untuk membangun kebijakan berbasis data.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini menuntut koreksi bersama. Kebijakan nasional tidak akan efektif tanpa penguatan pelaksanaan di daerah. Gerakan Indonesia Bersih, misalnya, seharusnya tidak berhenti di level kampanye, melainkan diterjemahkan ke dalam produk hukum daerah yang operasional. Di sinilah pentingnya peran pemerintah daerah dalam menyusun Perda dan Peraturan Kepala Daerah yang mengatur partisipasi masyarakat, insentif ekonomi, sanksi hukum, dan tata kelola kelembagaan untuk mengatasi sampah.
Sampah sejatinya bukan semata urusan teknis kebersihan, melainkan menyentuh aspek sosial, ekologis, bahkan hak asasi manusia. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Artinya, tanggung jawab atas sampah adalah bagian dari kewajiban konstitusional Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, pengelolaan sampah juga memiliki nilai ekonomi yang besar. Sampah organik dapat diolah menjadi biogas, kompos, dan energi alternatif. Sampah anorganik menjadi bahan baku industri daur ulang. Sayangnya, kebijakan fiskal untuk mendorong pemanfaatan ini masih lemah. Program seperti bank sampah sering tidak terhubung dengan pasar industri dan hanya bersifat simbolik.
Lebih buruk lagi, kolaborasi multipihak juga belum terbentuk secara kuat. Peran masyarakat sipil, komunitas lingkungan, dan sektor swasta belum terintegrasi dalam tata kelola sampah. Dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan pun belum diarahkan secara sistematis untuk mendukung sistem pengelolaan sampah di daerah yang berkelanjutan.
Ketimpangan juga tampak nyata antara daerah metropolitan dan wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Kawasan Indonesia Timur dan perdesaan minim investasi persampahan. Padahal, justru wilayah-wilayah ini seharusnya menjadi laboratorium kebijakan yang progresif dalam pengelolaan lingkungan. Namun pendekatan pembangunan yang masih berorientasi kota membuat jurang ketimpangan semakin dalam.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks sampah laut, tumpang tindih kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah juga menjadi masalah. Pengelolaan sampah laut yang bersifat lintas wilayah membutuhkan kejelasan hukum, serta koordinasi antara KLHK, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan pemerintah daerah pesisir.
Solusi ke depan harus berbasis ekonomi sirkular, dengan memperkuat regulasi daur ulang, memberikan insentif fiskal, dan meningkatkan kapasitas daerah. Gerakan Indonesia Bersih harus dilengkapi dengan instrumen hukum dan anggaran yang konkret. Tanpa itu, semua slogan hanya akan berhenti di atas kertas.
Sampah bukan sekadar limbah, melainkan refleksi dari kualitas tata kelola kita. Maka, pengelolaannya adalah cermin kesadaran kolektif dan komitmen terhadap masa depan lingkungan. Gerakan Indonesia bersih tidak cukup hanya menjadi visi; ia harus diwujudkan melalui regulasi yang kuat, sistem yang kolaboratif, dan tindakan nyata di semua level pemerintahan baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
ADVERTISEMENT