Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Pj Kepala Desa: Solusi Administratif atau Penundaan Demokrasi?
11 Mei 2025 15:29 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Basuki Kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Fenomena penunjukan Penjabat (Pj) Kepala Desa kini mencuat di Kabupaten Lumajang dan patut menjadi perhatian publik. Dalam beberapa bulan terakhir, tercatat 11 desa di wilayah tersebut dipimpin oleh Pj Kades,yang mana bukan hasil pemilihan langsung oleh masyarakat. Pengangkatan ini memang memiliki dasar hukum, yakni Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa serta Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014. Namun, tren ini menyisakan persoalan substantif: apakah kebijakan tersebut murni sebagai solusi administratif, atau justru mengindikasikan adanya penundaan demokrasi di tingkat lokal?
ADVERTISEMENT
Secara normatif, Pj Kades memang diperlukan saat terjadi kekosongan jabatan. Namun dalam praktik, penunjukan yang berlangsung terlalu lama, tanpa adanya kepastian jadwal Pilkades, berisiko mengabaikan prinsip partisipasi dan akuntabilitas publik. Demokrasi desa yang seharusnya menjamin kedaulatan warga melalui pemilihan langsung, bisa tergantikan oleh pola administratif yang tertutup dan elitis.
Pj Kades umumnya berasal dari ASN aktif. Meskipun sah secara hukum, posisi ini sering kali tidak memiliki legitimasi sosial di mata masyarakat. Tanpa keterlibatan warga dalam proses pemilihan, Pj rentan menjadi perpanjangan tangan elit birokrasi, bukan representasi kehendak rakyat desa. Risiko politisasi jabatan pun semakin besar, terlebih jika tidak ada batas waktu yang jelas atau mekanisme evaluasi yang transparan.
Yang juga mengkhawatirkan adalah minimnya informasi publik tentang alasan penundaan Pilkades di desa-desa tersebut. Apakah karena keterbatasan anggaran? Apakah ada konflik lokal? Atau justru ada alasan teknis lain yang tidak dijelaskan kepada masyarakat? Tanpa transparansi, kebijakan ini rawan disalahpahami sebagai bagian dari kalkulasi politik.
ADVERTISEMENT
Dampaknya bukan hanya pada legitimasi sosial, tetapi juga pada keabsahan keputusan strategis. Pj Kades tetap berwenang menandatangani dokumen penting, mengelola dana desa, bahkan mengambil keputusan strategis seperti pembebasan lahan dan lain lain. Namun, apakah semua itu memiliki kekuatan legitimasi jika dijalankan oleh pejabat yang tidak dipilih langsung oleh rakyat?
Untuk itu, regulasi teknis yang lebih tegas perlu segera dibuat. Setidaknya ada tiga hal yang mendesak:Pertama, batas waktu maksimal masa jabatan Pj, misalnya 6 bulan hingga 1 tahun.Kedua, kewajiban laporan kinerja Pj Kepala Desa kepada publik sebagai bentuk pertanggungjawaban.Ketiga, mekanisme percepatan Pilkades di desa yang terjadi kekosongan jabatan definitifnya.
Tanpa batasan dan kontrol tersebut, Pj bisa menjadi pejabat “sementara abadi”, yang bertentangan dengan prinsip good governance dan nilai-nilai demokrasi lokal yang diamanatkan konstitusi. Keadaan ini bukan hanya memperpanjang status quo kekuasaan birokratis, tetapi juga memutuskan hubungan sosial-politik antara pemerintah desa dan masyarakatnya.
ADVERTISEMENT
Pemerintah daerah Kabupaten Lumajang perlu segera menyusun jadwal Pilkades serentak bagi desa-desa yang masih dijabat Pj. Kades. DPRD juga harus menjalankan fungsi pengawasan terhadap jumlah, durasi, dan evaluasi kinerja Pj. Pengawasan legislatif menjadi penting agar eksekutif tidak menjadikan kekosongan jabatan sebagai ruang untuk mengisi jabatan dengan orang-orang dekat secara politik atau struktural.
Sementara itu, Kementerian Dalam Negeri perlu mengeluarkan regulasi teknis nasional yang membatasi dan mengatur jabatan Pj Kades agar tidak multitafsir dan bebas dari praktik penyalahgunaan kekuasaan. Penegasan ini penting untuk memastikan setiap pejabat desa memiliki legitimasi hukum, sosial, dan moral.
Kondisi ini menjadi refleksi bahwa demokrasi tidak cukup dijaga hanya melalui pelaksanaan Pilkades secara periodik. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, masa jabatan Kepala Desa kini resmi diperpanjang dari enam tahun menjadi delapan tahun. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 39 ayat (1) dan (2), yang menyebutkan bahwa kepala desa menjabat selama delapan tahun sejak pelantikan dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Perpanjangan masa jabatan ini tentu memberi ruang yang lebih luas bagi kepala desa dalam menjalankan program pembangunan. Namun demikian, demokrasi tetap harus dijaga dalam proses pengisian jabatan kepala desa secara transparan dan akuntabel, mengingat posisi kepala desa memiliki peran strategis dalam pelayanan publik, pengelolaan anggaran, serta arah pembangunan desa secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
Jika negara ingin membangun tata kelola pemerintahan desa yang kuat dan akuntabel, maka penunjukan Pj Kepala Desa harus benar-benar bersifat sementara, terbatas, dan terukur. Tanpa itu, risiko demokrasi prosedural tanpa substansi akan semakin nyata, dan yang dirugikan adalah rakyat desa sendiri.
Demokrasi desa adalah fondasi demokrasi nasional. Ia harus dijaga bukan hanya lewat prosedur, tetapi juga lewat keadilan, partisipasi, dan kepastian hukum. Jika dibiarkan, praktik penunjukan Pj tanpa batas bisa menjadi preseden yang melemahkan demokrasi dari akar rumput.