Konten dari Pengguna

Wacana Ganti Wapres: Menguji Etika dan Konstitusi Demokrasi Kita

Basuki Kurniawan
Dosen Hukum Tata Negara UIN KHAS Jember. Aktif menulis opini hukum dan kebijakan publik. Menyelenggarakan bimbingan tugas akhir serta kelas penulisan opini hukum berbasis riset.
11 Mei 2025 13:42 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Basuki Kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mengisi Seminar Akademik (Sumber: Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Mengisi Seminar Akademik (Sumber: Pribadi)
Belakangan ini, muncul wacana kontroversial tentang kemungkinan penggantian Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, meski ia baru saja dilantik bersama Presiden Prabowo Subianto sebagai pasangan terpilih hasil Pemilu 2024. Gagasan tersebut mencuat dari sejumlah tokoh, termasuk kalangan purnawirawan, dan telah memasuki wilayah yang sangat prinsipil dalam hukum tata negara: apakah seorang wakil presiden dapat diganti hanya karena tekanan politik?
ADVERTISEMENT
Mandat Langsung dari Rakyat Tak Bisa Dikesampingkan
Gibran memperoleh legitimasinya melalui pemilihan umum yang sah dan terbuka. Ia kini telah dilantik secara resmi sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia untuk periode 2024–2029. Artinya, posisinya memiliki landasan hukum dan legitimasi konstitusional penuh.
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, tidak dikenal istilah “penggantian wapres karena alasan politis.” Pasal 7A dan 7B UUD 1945 secara eksplisit mengatur bahwa presiden dan wakil presiden hanya dapat diberhentikan melalui mekanisme impeachment, dan itu pun terbatas pada pelanggaran berat seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, atau tindak pidana berat lainnya—bukan karena tekanan politik atau ketidaksukaan elite tertentu.
Negara Hukum Tak Boleh Tunduk pada Kekuasaan Informal
Gagasan penggantian wapres di luar jalur hukum adalah bentuk pengingkaran terhadap prinsip negara hukum. Dalam sistem demokrasi konstitusional, semua kekuasaan dibatasi oleh hukum, bukan oleh tekanan kekuatan nonformal, apalagi kelompok-kelompok tertentu yang merasa lebih berhak mengatur konstelasi kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Jika tekanan politik semacam ini dibiarkan menggoyahkan jabatan yang sah, maka stabilitas sistem presidensial yang telah dibangun pasca-Reformasi akan runtuh. Ini bukan sekadar wacana politik biasa, tetapi preseden buruk yang mengancam prinsip dasar demokrasi: bahwa kekuasaan berasal dari rakyat, bukan dari meja perundingan kekuasaan.
Ancaman Serius terhadap Demokrasi Elektoral
Mengganti hasil pemilu tanpa dasar hukum yang sah sama saja membatalkan prinsip pemilu langsung itu sendiri. Pemilu dalam sistem presidensial bukan sekadar prosedur, tetapi kontrak politik antara rakyat dan pemimpinnya. Jika jabatan hasil pemilu dapat diintervensi dengan mudah, maka demokrasi kehilangan maknanya.
Lebih jauh, hal ini bisa menimbulkan kekhawatiran bahwa siapa pun pemenang pemilu dapat digeser hanya karena tidak disukai oleh kelompok tertentu. Demokrasi tidak runtuh karena kekacauan, tapi karena dikorbankan demi kepentingan kekuasaan sesaat.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Baru Butuh Stabilitas, Bukan Manuver Elitis
Koalisi Prabowo-Gibran memiliki kekuatan politik yang signifikan di parlemen. Tidak ada krisis legitimasi yang bisa dijadikan alasan untuk melakukan manuver politik ekstrem seperti mengganti wapres. Justru, stabilitas politik dan konsolidasi pemerintahan harus menjadi prioritas utama.
Rakyat tidak membutuhkan polemik elite yang menjauh dari substansi. Yang dibutuhkan adalah kerja nyata: menekan inflasi, menciptakan lapangan kerja, memperbaiki sistem pendidikan dan kesehatan, serta memperkuat digitalisasi birokrasi. Isu pergantian wapres bukan hanya tidak produktif, tapi juga kontraproduktif bagi kepercayaan publik.
Demokrasi Butuh Etika, Bukan Sekadar Kekuasaan
Konstitusi bukan hanya tentang legalitas formal, tetapi juga etika dalam menjalankan kekuasaan. Mengusulkan penggantian pejabat konstitusional karena alasan politis menunjukkan deviasi dari prinsip etika demokrasi. Dalam demokrasi yang sehat, suara rakyat harus dihormati sebagai fondasi utama legitimasi kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Jika elite politik abai terhadap prinsip ini, maka demokrasi akan berubah menjadi sekadar ritual lima tahunan tanpa makna substantif. Rakyat memilih, tetapi bukan rakyat yang menentukan.
Penutup
Gibran telah sah menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Upaya delegitimasi atau wacana penggantiannya tanpa dasar hukum hanya akan merusak kepercayaan publik terhadap sistem yang sudah berjalan konstitusional.
Sudah saatnya energi politik elite diarahkan pada kerja nyata, bukan pada agenda kekuasaan yang tidak berdasar. Demokrasi tidak ditentukan oleh siapa yang paling kuat, melainkan oleh siapa yang paling taat pada hukum.