3 Tantangan dalam Menerapkan Stoikisme

Batoulizzakia
Mahasiswi tingkat akhir jurusan Akidah dan Filsafat Islam di STAI Sadra sekaligus Content Writer di Kandara Publishing
Konten dari Pengguna
14 November 2022 17:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Batoulizzakia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tantangan dalam menerapkan Stoikisme, foto non-copyright diambil dari pixabay.com.
zoom-in-whitePerbesar
Tantangan dalam menerapkan Stoikisme, foto non-copyright diambil dari pixabay.com.
ADVERTISEMENT
Saat pandemi COVID-19 datang dan membuat panik seluruh dunia, metode untuk bisa menenangkan pikiran dari teror virus berbahaya menjadi sangat dibutuhkan banyak orang. Pandemi mendeskripsikan ketakutan manusia terhadap virus, kebutuhan untuk bertahan hidup, serta bayang-bayang resesi ekonomi. Hal ini menjadikan pikiran penuh akan kekhawatiran, stres, bahkan bisa depresi. Stoikisme, filsafat asal Yunani kuna yang tidak hanya mempromosikan soal bagaimana bisa tetap tenang di tengah situasi sulit, tetapi juga memberi cara bagaimana kita bisa menghadapi masa itu. Namun, apakah mudah menerapkan Stoikisme? Berikut merupakan tantangan-tantangan yang mungkin Anda hadapi dalam menerapkan Stoikisme.
ADVERTISEMENT

1. Sulit dalam mengendalikan pikiran

Sebagaimana prinsipnya, Stoikisme berfokus tentang pengendalian pikiran; bagaimana kita bisa mengendalikan pikiran kita untuk mengatur respon kita terhadap aspek-aspek eksternal yang tak dapat kita kontrol. Namun, permasalahannya justru di sini. Bagaimana mengendalikan pikiran itu? Beberapa peristiwa yang mengguncang jiwa justru menyerang langsung ke dalam emosi, dan bereaksi atas tragedi yang menimpa kita merupakan hal yang wajar sebagai makhluk yang memiliki emosi.
Stoikisme mengajarkan kita bagaimana caranya hidup dengan terus-menerus sadar atau mindful terhadap pikiran dan opini kita atas sesuatu. Selain mengedepankan rasio agar tetap tenang dan tidak mudah terpengaruh secara emosional terhadap tragedi eskternal, Stoikisme juga mengajarkan bagaimana emosi yang berlebihan bisa berakibat buruk.
Namun, bukan berarti Stoikisme mengajarkan untuk memendam dan membendung emosi, apalagi hingga menyangkal emosi sama sekali. Sebagai manusia, memiliki emosi adalah wajar dan natural. Stoikisme mencoba mengingatkan bahwa emosi merupakan salah satu aspek dalam diri yang tidak bisa kita kontrol.
ADVERTISEMENT
Lalu, kita bisa apa?
Salah satu tujuan dalam mempraktikkan Stoikisme adalah bagaimana emosi yang kita rasakan tidak mengaburkan pikiran kita dalam mengambil keputusan.
Emosi, utamanya emosi negatif tidak bisa kita pendam. Namun ternyata, beberapa emosi negatif itu muncul karena kita menerjemahkan suatu peristiwa sebagai sesuatu yang negatif. Dalam psikologi modern, hal ini bisa disebut sebagai the framing effect.
Dalam buku The Psychology of Judgement and Decision Making yang ditulis oleh Scott Plous, profesor psikologi di Wesleyan University, Framing Effect atau efek pembingkaian merupakan salah satu bias kognisi, yaitu saat otak kita membuat keputusan terhadap suatu informasi, berdasarkan bagaimana informasi itu disajikan. Jadi, penilaian kita terhadap suatu peristiwa merupakan konstruksi otak kita sendiri.
ADVERTISEMENT
Misalnya saat pandemi. Rasa takut, cemas dan panik merupakan reaksi yang bisa timbul. Namun, beberapa orang melihat pandemi sebagai suatu tantangan menarik. Dengan melihatnya sebagai tantangan yang harus dihadapi, mereka membuat perencanaan, langkah antisipasi dan mitigasi bila tertular COVID-19, hingga bagaimana bertahan hidup menghadapi pandemi.
Buat skor terhadap pencapain dari tantangan yang berhasil kamu hadapi, serta evaluasi kegagalan yang kamu alami. Dengan begitu, otak kita terus berada dalam pikiran yang konstruktif.
2. Sulit untuk Ikhlas
Dalam menghadapi kegagalan yang tak dapat diperbaiki, sulit rasanya untuk ikhlas dan tidak terus-terusan menyalahkan diri sendiri terhadap kegagalan yang kita alami.
"Mengapa saya dulu tidak melakukan ini? Mengapa dulu saya tidak menolak tawaran itu?" atau, "saya sudah berusaha semaksimal mungkin, sampai lelah jiwa dan raga, mengapa hasilnya tidak memuaskan?" dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Berada di tengah masalah karena keputusan ceroboh kita di masa lalu memang sangat tidak enak. Apalagi bila permasalahan itu, kita tak menemukan jalan keluarnya.
Stoikisme menjelaskan tentang bagimana kita berlatih untuk ikhlas mengenai peristiwa yang menimpa kita. Istilah yang digunakan Stoik disebut The Art of Acquiescence (seni penerimaan) atau, meminjam istilah dari bahasa Latin, disebut Amor Fati.
Amor Fati, bila diterjemahkan secara harfiah bermakna "cinta terhadap takdir". Dalam ajaran Stoikisme, mencintai takdir merupakan sikap seseorang yang melihat segala sesuatu yang terjadi di dalam hidupnya, termasuk penderitaan, adalah sesuatu yang niscaya dan tak dapat dihindari.
Namun sebenarnya, bagaimana cara melatih keihklasan itu?
Salah satu latihan yang esensial dalam Stoikisme adalah melatih persepsi.
ADVERTISEMENT
Menurut Stoikisme, dalam setiap musibah, kita perlu untuk mencari pembelajaran apa yang bisa kita ambil dari musibah tersebut. Misalnya, saat kita terlilit hutang, kita mungkin akan menyesali keputusan ceroboh kita di masa lalu sampai bisa terlilit hutang, namun daripada terus-menerus menyesal, kita harus bisa berkepala dingin dan memikirkan jalan keluar serta melakukan langkah-langkah yang terencana agar terlepas dari hutang itu. Atau, bila kehilangan seseorang, adalah saat kita bisa melatih ketabahan.
Dalam menghadapi rasa sakit atas musibah yang menimpa kita, Seneca pernah menulis:
Menurut Seneca, rasa sakit akan terasa lebih ringan bila kita tidak menambahkan opini apapun tentang rasa sakit itu. Maksudnya, apabila kita menganggap rasa sakit itu ringan, maka rasa sakit itu akan ringan.
ADVERTISEMENT

3. Jadi terlihat bodo amat dalam segala hal yang berkaitan dengan kondisi eksternal

Banyak yang beranggapan bahwa menjadi Stoik berarti tidak peduli terhadap kondisi eksternal dari dirinya seperti harta, pekerjaan, kondisi sosio-politik, bahkan keluarga atau teman.
Ya, sebagian mungkin benar. Seneca sendiri, salah satu pendiri aliran Stoikisme berpendapat bahwa aspek utama dalam menjalani kehidupan adalah hidup dengan nilai-nilai luhur dan tidak mengejar kenikmatan duniawi. Tidak hanya sampai situ, Seneca juga berpendapat bahwa kemiskinan bisa menjadi hal yang baik.
Seneca berpandangan bahwa kemiskinan merupakan latihan yang bagus untuk kedisiplinan dan kesabaran. Kemiskinan juga merupakan kesempatan untuk membuktikan bahwa kita tidak akan hancur hanya karena takdir menjadi orang miskin.
Menjadi orang miskin, justru menjadikan kita disiplin terhadap uang yang kita punya dan tidak menghabiskannya untuk kemewahan yang tidak bermanfaat. Dengan menjadi miskin pula, seseorang akan lebih fokus dan tidak mudah tergoda dengan distraksi kemewahan.
ADVERTISEMENT
Dilihat dari pernyataannya, Seneca justru mendorong kita untuk disiplin terhadap harta kita, dan menaruh peduli terhadap cara kita menghabiskan uang. Yang Stoikisme maksud adalah bahwa kita perlu untuk “tidak terpengaruh” dengan kondisi eksternal. Tidak terpengaruh bukan berarti tidak peduli. Alih-alih kita menjadi strespandemi dan memikirkan harta yang tidak kita punya, justru kita harus memikirkan bagaimana cara mengatur harta yang kita punya.
Namun, apakah menjadi Stoik berarti kita harus menjadi miskin?
Bagi Stoikisme, harta sebenarnya tidaklah baik maupun buruk. Sehingga, untuk mempraktikkan Stoikisme, bukan berarti kita harus jadi miskin. Namun, bagaimana kita bisa tetap menenangkan pikiran kita meski tidak memiliki harta, dan mendisiplinkan uang yang kita punya.
Stoikisme adalah tentang pengendalian pikiran, emosi serta aksi terhadap peristiwa dalam kehidupan yang menimpa kita, baik atau buruk. Serta, bagaimana kita bisa menjalani hidup dengan mempraktikkan nilai-nilai luhur serta memutuskan dan memecahkan masalah secara rasional.
ADVERTISEMENT