Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Indonesia Bukanlah Sri Lanka
24 Juli 2022 14:47 WIB
Tulisan dari Bawono Kumoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa bulan terakhir dunia dikejutkan dengan krisis ekonomi di Sri Lanka. Pemerintah Sri Lanka mengumumkan gagal untuk membayar utang senilai USD 51 miliar berasal dari pinjaman luar negeri. Selain itu, pemerintah Sri Lanka juga menumumkan bangkrut karena kas negara untuk membeli bahan bakar, listrik, dan juga bahan pangan tidak lagi tersedia.
ADVERTISEMENT
Bahkan, pemerintah Sri Lanka meminta warga di luar negeri untuk mengirimkan uang demi membantu warga di dalam negeri untuk membeli kebutuhan pokok dan bahan bakar. Krisis hebat ini membuat Presiden Sri Lanka Rajapaksa pergi meninggalkan negara tersebut untuk melakukan pelarian ke luar negeri. Kondisi ini menjadi situasi terburuk dialami Sri Lanka sejak kemerdekaan mereka pada 1948 silam.
Selain nilai utang luar negeri tinggi, hal lain juga berkontribusi terhadap kebangkrutan Sri Lanka, antara lain karena kehilangan pendapatan dari sektor pariwisata akibat pandemi selama hampir tiga tahun dan juga peningkatan harga komonitas sebagai dampak perang Rusia dan Ukraina.
Krisis hebat dialami Sri Lanka tersebut memunculkan analisa dari sejumlah pihak dengan mengatakan kondisi perekonomian Indonesia saat ini dimana juga memiliki jumlah utang luar negeri tinggi akan membuat negara ini juga akan mengalami krisis seperti terjadi di Sri Lanka.
ADVERTISEMENT
Merujuk data Kementerian Keuangan Republik Indonesia hingga 31 Mei 2022 posisi utang mencapai Rp7.002,24 triliun, dengan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto sebesar 38,88 persen. Realisasi utang itu naik 9,1 persen dibandingkan realisasi posisi utang utang pada Mei 2021 sebesar Rp6.418,5 triliun. Inilah pangkal kemunculan dari analisa perbandingan kondisi Indonesia saat ini dengan krisis tengah dialami oleh Sri Lanka.
Sebagai sebuah analisa tentu saja itu sah untuk dilontarkan oleh siapa pun. Namun, apakah krisis sri Lanka akan juga dialami oleh Indonesia karena semata-mata didasarkan pada kondisi nilai utang luar negeri Indonesia saat ini? Untuk itu perlu dilakukan telaah lebih jauh agar analisa semacam itu dapat disikapi secara proporsional.
Pertama, harus dilihat bagaimana kondisi pertumbuhan ekonomi sebuah negara untuk menilai apakah negera tersebut akan gagal dalam hutang luar negeri atau tidak. Selama negara tersebut masih memiliki pertumbuhan ekonomi positif dan utang luar negeri terus diusahakan turun, maka besar kemungkinan negara tersebut akan mampu bertahan lolos dari jeratan utang dan ketidakpastian ekonomi di masa depan.
ADVERTISEMENT
Bagaimana kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini? Apabila merujuk data terbaru Badan Pusat Statistik pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal pertama tahun 2022 sebesar 5,1 persen. Pertumbuhan tersebut menegaskan tren pertumbuhan di atas lima persen selama tiga kuartal beruntun. Itu berarti pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah kembali pada jalur semula seperti saat sebelum dihantam pandemi COVID-19.
Kedua, bagaimana dengan kondisi utang Indonesia? Merujuk data Kementerian Keuangan Republik Indonesia hingga 31 Mei 2022 posisi utang mencapai Rp7.002,24 triliun, dengan rasio utang terhadap produk domestik bruto sebesar 38,88 persen. Realisasi utang itu naik 9,1 persen dibandingkan realisasi posisi utang pada Mei 2021 sebesar Rp6.418,5 triliun. Adapun bila dibandingkan dengan posisi utang pada April 2022 turun 0,54 persen dimana saat itu mencapai Rp7.040,32 triliun.
ADVERTISEMENT
Posisi rasio utang terhadap produk domestik bruto sebesar 38,88 persen merupakan angka cukup aman. Rasio utang terhadap produk domestik bruto di bawah 60 persen merupakan ambang batas aman utang sebuah negara. Kondisi tersebut juga jauh apabila dibandingkan dengan Sri Lanka dimana rasio utang terhadap produk domestik bruto mencapai lebh dari 100 persen.
Selain itu, harus dipahami juga sebagian besar utang Indonesia berupa surat berharga negara berdenominasi rupiah. Merujuk data Kementerian Keuangan Republik Indonesia, komposisi utang hingga 31 Mei 2022 berasal dari penarikan Surat Berharga Negara sebesar Rp6.175,83 triliun atau mencapai 88,20 persen.
Dalam bentuk rupiah domestik sebesar Rp4.934,56 triliun dimana berasal dari penerbitan Surat Utang Negara sebesar Rp4.055,03 triliun dan Surat Berharga Syariah Negara Rp879,53 triliun. Hal ini sangat berbeda dengan Sri Lanka terlilit utang valuta asing dalam jumlah besar dengan sebagian besar adalah utang luar negeri.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, komposisi utang Indonesia berasal dari pinjaman senilai Rp826,41 triliun atau mencapai 11,8 persen. Ini terdiri dari pinjaman dalam negeri sebesar Rp14,74 triliun dan utang berasal pinjaman luar negeri sebesar Rp811,67 triliun. Adapun utang luar negeri terdiri dari pinjaman bilateral Rp280,32 triliun, pinjaman multilateral Rp488,62 triliun, commercial banks Rp42,72 triliun. Jadi, komposisi pinjaman luar negeri didominasi oleh pinjaman multilateral. Kondisi ini jauh berbeda dengan Sri Lanka dimana hampir semua utang negara tersebut berasa dalam skema bilateral.
Memang persoalan utang sangat seksi untuk dijadikan isu komoditas politik. Hal itu lantaran sebagai besar dari kita sekadar peduli pada besar jumlah utang, tidak hingga meneliti lebih jauh komposisi utang tersebut terdiri dari apa saja, untuk apa utang itu, dan apakah aman atau tidak secara rasio terhadap produk domestik bruto.
ADVERTISEMENT
Singkat kata, data pertumbuhan ekomoni dan utang Indonesia memperlihatkan Indonesia tengah berada dalam kondisi jauh dari jurang resesi ekonomi. Dengan melihat data-data realitas kondisi perekonomian Indonesi tersebut, tidak berlebihan apabila Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan memberikan label sakit jiwa kepada pihak-pihak mengatakan krisis tengah terjadi di Sri Lanka dapat terjadi di Indonesia.