Keluarga Rajasa dan Kecelakaan Tol Jagorawi

Bawono Kumoro
Associate Researcher di Indikator Politik Indonesia
Konten dari Pengguna
11 Juli 2022 21:56 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bawono Kumoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
foto: istimewa
zoom-in-whitePerbesar
foto: istimewa
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tahapan pelaksanaan pemilihan umum 2024 telah dimulai. Pada 14 Juni lalu, Komisi Pemilihan Umum melakukan peluncuran pemilu 2024. Peluncuran tersebut menandai pesta demokrasi lima tahunan secara resmi telah dimulai. Selain itu, Komisi Pemilihan Umum juga telah mengeluarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum mengenai tahapan dan jadwal pemilu 2024. Seiring hal itu, saat ini partai-partai politik tengah sibuk melakukan sejumlah persiapan menuju pemilu 2024. Selain mempersiapkan diri untuk menghadapi tahapan verifikasi administrasi dan faktual, partai politik di berbagai daerah juga mulai terlihat aktif melakukan sosialisasi terhadap calon-calon legislatif akan mereka usung di pemilu 2024, tidak terkecuali di kota Bandung.
ADVERTISEMENT
Salah satu kejutan terjadi kota Bandung menjelang pemilu 2024 adalah kemunculan Rasyid Rajasa sebagai ketua DPD Partai Amanat Nasional kota Bandung. Putra bungsu dari mantan ketua umum Partai Amanat Nasional Hatta Rajasa tersebut mengemban amanah tidak mudah untuk mengembalikan kegemilangan masa lalu dari partai berlambang matahari tersebut di kota Bandung. Tolak ukur hal itu tidak saja mengirim calon-calon anggota legislatif dari Partai Amanat Nasional untuk kembali duduk di DPRD kota Bandung, tetapi juga mengirim calon-calon legislatif Partai Amanat Nasional dari daerah pemilihan Jawa Barat I (kota Cimahi, kota Bandung) untuk kembali duduk di kursi legislatif tingkat nasional.
Seiring itu, muncul kembali sorotan sejumlah pihak terhadap rekam jejak Rasyid Rajasa di masa lalu, terutama kecelakaan di tol Jagorawi yang melibatkan Rasyid Rajasa sembilan tahun silam. Demi untuk mencapai tujuan-tujuan politik jangka pendek, tidak ada rasa sungkan untuk mengeksploitasi kembali musibah kecelakaan tidak disengaja itu. Apalagi, kasus tersebut juga telah selesai berkekuatan hukum tetap.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana diketahui, pada 1 Januari 2013 kendaraan mobil BMW X5 dengan nomor polisi B 272 HR dikemudikan Rasyid Rajasa terlibat kecelakaan dengan kendaraan mobil Luxio di tol Jagorawi arah Bogor. Mobil itu menabrak bagian belakang mobil Luxio sehingga pintu terbuka mengakibatkan lima penumpang terlempar keluar dari mobil. Dua orang dari lima orang penumpang di mobil tersebut meninggal dunia.
Saat itu tidak sedikit pihak berprasangka Hatta Rajasa, di mana saat itu menjabat sebagai menteri koordinator bidang perekonomian, akan menggunakan pengaruh dan posisi pejabat publik dimiliki untuk melakukan intervensi terhadap proses penegakan hukum sang anak.
Akan tetapi, hal terjadi justru berkebalikan dari prasangka tersebut. Tanpa menunggu hari berganti, Hatta Rajasa memutuskan untuk mengunjungi keluarga korban untuk meminta maaf atas kecelakaan lalu lintas tersebut. Bahkan, Hatta Rajasa juga mengantarkan secara langsung sang anak kepada pihak kepolisian untuk menjalani proses hukum setelah pulih dari perawatan luka dan trauma pascakecelakaan di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta.
ADVERTISEMENT
Di masa lalu, penetapan seorang anak pejabat atau pejabat sebagai tersangka hampir dipastikan tidak akan pernah terjadi. Mereka seakan mendapatkan keistimewaan tersendiri karena tidak pernah tersentuh hukum. Hal seperti itu tidak berlaku di era demokrasi penuh keterbukaan saat ini.
Keluarga besar Hatta Rajasa pun berbesar hati untuk menerima keputusan pihak pihak penegak hukum yang menetapkan Rasyid Rajasa sebagai tersangka kasus kecelakaan lalu lintas tersebut. Karena terbukti melanggar Pasal 310 Ayat (2) dan Pasal 310 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Proses hukum pun berlanjut di meja hijau. Dalam sidang pembacaan vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, pada Maret 2013, Ketua Majelis Hakim Suharjono mengatakan mengedepankan restorative justice dalam menjatuhkan vonis di kasus tersebut. Restorative justice adalah sebuah perspektif hukum di mana juga ikut memasukkan aspek pertanggungjawaban dari terdakwa kepada korban sebagai bagian dari bahan pertimbangan. Majelis hakim pun kemudian menjatuhkan vonis pidana penjara lima bulan atau denda uang sebesar Rp 12 juta dengan masa percobaan hukuman selama enam bulan terhadap putra bungsu Hatta Rajasa tersebut.
ADVERTISEMENT
Dengan melihat kembali proses penegakan hukum terhadap kasus tersebut, maka tentu bukan sebuah hal terpuji apabila saat ini ada sejumlah pihak mengangkat kembali demi mencapai tujuan politik jangka pendek menjelang pemilihan umum 2024. Apalagi kasus itu telah berkekuatan hukum tetap.