Konten dari Pengguna

Salah Jalan Politik Luar Negeri Bebas - Aktif Pemerintahan Prabowo

Bayu Nugroho
Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Negeri Semarang yang memiliki ketertarikan isu politik, hukum, hubungan internasional dan kebijakan publik
12 Desember 2024 17:49 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bayu Nugroho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Freepik
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu terbit salah satu artikel dari The Economist berjudul, “Indonesia’s Prabowo is desperate to impress Trump and Xi”. Dalam artikel tersebut dibahas terkait standing position politik luar negeri Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Prabowo. Mulai dari janji kampanye yang akan lebih keras terhadap kepentingan negara luar, penunjukan Menteri Luar Negeri yang bukan berasal dari diplomat karir yang berakibat pada kegagapan memahami kondisi geo-politik global hingga Trump yang terlihat cuek saat Prabowo mengajak bertemu serta respon ucapan selamat atas kemenangan Trump yang dilontarkan Prabowo yang hanya dibalas, “your english is good, sir”. Ungkapan satire atau ejekan yang biasa digunakan kaum kulit putih terhadap ras lain khususnya bagi non-english speaker.
ADVERTISEMENT
Beberapa pekan pasca dilantik, kunjungan kenegaraan pertama Presiden Prabowo adalah China. Salah satu negara adidaya baru yang sempat menjadi tumpuan Presiden Jokowi dalam pendanaan berbagai proyek strategis, contohnya Kereta Cepat Jakarta — Bandung. Dalam pertemuan tersebut, Prabowo bertemu dengan Presiden Xi Jinping. Poin pertemuan pentingnya adalah terkait realisasi investasi China ke Indonesia utamanya terkait dengan program makan bergizi gratis dan juga program hilirisasi tambang khususnya nikel dan batu bara.
Sumber : Freepik
Selain itu, lawatan luar negeri pertama Menteri Luar Negeri RI, Sugiono adalah menghadiri undangan KTT BRICS di Russia tepatnya di kota Kazan. Adapun BRICS sendiri merupakan perkumpulan ekonomi negara berkembang yang diinisiasi oleh Brasil, Russia, India, China dan Afrika Selatan dengan tujuan untuk memperkuat ekonomi para anggotanya dan juga mengurangi ketergantungan terhadap negara barat. Di dalam pertemuan tersebut, Pemerintahan Prabowo berencana mengajukan diri menjadi anggota penuh BRICS. Sugiono dalam konferensi tersebut menyampaikan, “Indonesia akan menyuarakan pesan penting perdamaian serta menyerukan pentingnya negara-negara berkembang dan negara-negara Selatan (Global South) untuk bersatu, meningkatkan solidaritas, serta memainkan peran pentingnya dalam menciptakan tatanan dunia yang lebih inklusif, adil, dan setara”. Merujuk pada keterangan Kementerian Luar Negeri, tujuan Sugiono dalam pertemuan KTT BRICS di Russia adalah terkait dengan keterlibatan Indonesia dalam pengaktualisasian politik bebas aktif. Dimana Indonesia aktif dalam semua forum internasional.
ADVERTISEMENT
Selain itu, disela KTT APEC yang bertempat di Peru, Prabowo melakukan lawatan ke Amerika Serikat untuk melakukan pertemuan dengan Presiden Biden yang akan segera lengser pada bulan Januari 2025. Padahal tujuan utamanya adalah untuk menaikan bargaining Indonesia terhadap Presiden AS terpilih yaitu Donald Trump yang tidak mendapatkan respon dari tim transisi Trump. Selain itu, politik luar negeri Trump yang cenderung menjaga jarak dengan China disinyalir menjadi salah satu faktor urung bertemunya Prabowo dengan Trump setelah beberapa waktu sebelumnya Prabowo kedapatan berkunjung ke China dan bertemu Presiden Xi Jinping.
Berbagai realisasi hasil pertemuan dengan Beijing yang banyak menguntungkan China terkait konflik Laut China Selatan dan pengakuan one China policy yang mengakui Republik Rakyat China sebagai satu-satunya Pemerintahan yang sah untuk memerintah seluruh daratan China jelas bertentangan dengan sikap politik luar negeri AS yang pro terhadap independensi negara Hongkong dan Taiwan dengan menjaga semangat demokrasi dan bebas intervensi dari China.
ADVERTISEMENT
Beberapa keputusan politik luar negeri yang bermasalah tersebut ditengarai akibat gagalnya pembacaan kondisi geo-politik global yang dilakukan oleh Prabowo dan juga Menteri Luar Negeri, Sugiona yang memang tidak memiliki latar belakang diplomat karir. Lebih lanjut, pengaktualisasian politik luar negeri bebas — aktif juga disalah — kaprahi oleh Pemerintah yang berarti bahwa Indonesia wajib mengikuti seluruh blok yang ada. Sedangkan, bermain dua kaki dalam percaturan politik global sangat riskan, pasalnya akan menyangkut terkait keberpihakan dan respon atas berbagai konflik luar negeri.
Oleh sebab itu, Pemerintahan Prabowo harus segera menentukan standing position yang jelas, terutama terkait dengan hubungan politik antara Beijing dan Washington. Sebab, negara dunia ketiga seperti Indonesia akan sangat bergantung terhadap hubungan dengan negara super — power seperti China dan AS. Selain itu, penting bagi Indonesia untuk menjaga kepentingan politik nasional jangan sampai tergadai oleh kepentingan negara lain yang justru berakibat buruk bagi Indonesia.
ADVERTISEMENT
Terakhir, perlu adanya batasan jarak kepentingan negara diatas kepentingan bangsa lain agar Indonesia tidak menjadi bangsa pelayan dan juga penurut kepentingan luar negeri dengan semboyan “yes, sir!”. Serta membangun aliansi kuat dengan negara lain untuk bisa menaikan daya tawar politik internasional dalam keterlibatan berbagai isu global.