Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ceramah Pendidikan dari Seorang Mendikbud (Dian Didaktika 5 Maret 2017)
7 Maret 2017 7:07 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
Tulisan dari Bayu Priyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Siswa berkarakter baik lebih bagus daripada siswa pintar.
Mendengar ceramah tentang pendidikan di Indonesia dari Mendikbud Prof. Dr. Muhadjir Effendy, M.AP., membuat saya sedikit mulai mengetahui dan memahami begitu rumitnya 'persoalan' pendidikan di Indonesia. Beliu hadir memberikan ceramah pendidikan dan pembekalan bagi para guru dan karyawan di Sekolah Islam Dian Didaktika (KB/TK, SD, SMP, dan SMA) sebagai bagian dari rangkaian perayaan Milad Yayasan Dian Didaktika di kampusnya Cinere Depok.
ADVERTISEMENT
Dalam pemaparannya, dijelaskan bahwa dari awal penunjukkan beliau sudah banyak 'kontroversi' yang muncul. Dari mulai keraguan apakah mampu dirinya mengemban amanah sebagi Mendikbud? Belum kemudian soal pelaksanaan "fullday school" yang dianggap 'membebani' siswa dan guru. Lalu tentang kewajiban guru di sekolah 8 jam, dan yang terbaru soal ijin mengambil pungutan dari orang tua peserta didik.
Bagi yang setengah-setengah mendengar atau membaca hal ini pasti akan banyak muncul pendapat miring. Namun bersyukur kemarin Mendikbud menjelaskan secar gamblang tentang ide-ide yang dilontarkan tersebut.
Jargon pembentukan karakter bangsa sedang gencar-gencarnya digaungkan akhir-akhir ini. Terlebih setelah masalah degradasi moral anak bangsa yang semakin nyata. Pendidikan karakter dianggap sebagai salah satu cara untuk membentuk manusia-manusia Indonesia menjadi lebih baik kedepannya. Namun hal itu akan sulit terwujud jika pendidikan yang didapat oleh anak bangsa hanya sekedarnya saja. 'Masih banyak sekolah di Indonesia mulai dari jam 7.30 pagi dan jam 12 sudah selesai. Belum lagi terpotong pergantian jam antar pelajaran serta waktu istirahat. Lalu waktu belajarnya 'kapan' ?' Ucap Mendikbud pagi itu (Minggu, 5 Maret 2017). Maka konsep fullday school dimunculkan, agar pendidikan yang diharapkan bisa tersampaikan dengan 'baik'.
ADVERTISEMENT
Kita harus buat siswa merasa nyaman di sekolah, sekolah sebagai rumah 'kedua'. Ketika siswa lebih banyak waktu di sekolah, maka aktifitas di luar sekolah atau rumah yang tidak terkontrol akan bisa diminimalisir. Juga setiap guru bisa menyampaikan pengajarannya tanpa terbebani dengan keterbatasan waktu dengan keluasan materi yang sangat banyak.
Hal tersebut pastinya berdampak pada 'tugas' guru. Kewajiban mengejar jam minimal mengajar '24 jam pelajaran' menjadi salah satu penyebab juga sekolah membuat rombongan belajar yang banyak(kelas). Sekolah 2 shift akhirnya menjadi salah satu solusi. Yang terjadi adalah siswa 'dikorbankan'.
Kebijakan menghilangkan kewajiban mengejar 24 jam pelajaran mengajar perminggu dan menggantinya dengan kewajiban guru di sekolah selama 8 jam/hari selama 5 hari perminggu untuk syarat mendapat tunjangan profesi, dianggap sebagai salah satu solusi untuk membentuk karakter siswa yang baik.
ADVERTISEMENT
Ketika siswa sudah "mencintai" sekolahnya maka 'belajar' fullday tidak akan merasa berat bagi siswa. Tapi yang perlu diingat adalah, pembentukan karakter baik yang berbudi pekerti luhur hal yang paling utama harus ditanamkan. Bukan hanya sekedar kepandaian sisi kognitif atau keilmuan saja.
Berbicara masalah pungutan yang diijinkan dilakukan oleh pihak sekolah, Mendikbud menyampaikan bahwa itu bukanlah "pungli". Yang utama adalah dilakukan kesepakatan antara pihak sekolah dan orang tua(komite sekolah). Sehingga dibentuk sinergitas yang baik antara pihak sekokah dengaj para orang tua. Itu jadi pungutan resmi, karena sudah sama-sama disepakati. Hal tersebut perlu dilakukan karena, jika sekolah hanya bersandar dari dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) tidak akan mungkin bisa mencukupi kegiatan sekolah dengan "standar minimal" sekalipun. Belum lagi dana BOS harus terpotong untuk membayar "gaji" para guru dan petugas honorer di sekolah yang jumlahnya masih cukup banyak di setiap sekolah.
ADVERTISEMENT
Dana BOS bagi SD adalah Rp. 800.000/tahun, SMP Rp. 1.000.000/tahun, SMA Rp. 1.400.000/tahun.
Alokasi anggaran APBN memang 20% dari total, atau sekitar 400 triliun lebih. Namun hanya sekitar 9% nya yang dikelola oleh Kemendikbud, sisanya harus diberikan kepada 20 lembaga Kementerian dan lembaga negara lainnya, termasuk daerah. Hal semakin sulit bagi sekolah jika tidak "dibantu" oleh orang tua, karena alokasi APBD dari 34 Provinsi tidak ada yang sampai 20%. Hanya DKI yang berani mengalokasikan sampai 18%.
Hal-hal tersebut yang seringnya tidak tersampaikan dengan baik, sehingga sering muncul tanggapan-tanggapan yang tidak utuh.
Mudah-mudahan pendidikan menjadi lebih baik, dengan pengelolaan yang lebih baik juga.