Konten dari Pengguna

Sisi lain Sejarah Depok (3)

Bayu Priyanto
cari tahu sebelum beritahu
18 Januari 2017 14:50 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bayu Priyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Cornelis Chastelein adalah mantan pejabat VOC yang lebih memilih berhenti dari pekerjaannya sebagai kepala gudang besar kantor pusat VOC di Batavia. Hal ini dilakukan karena ia merasa tidak sejalan dengan pola kepemimpinan Gubernur Jenderal William Van Outhoorn.
ADVERTISEMENT
Chastelein lalu lebih memilih menjadi seorang petani. Mulanya dia membeli lahan di luar Batavia, yaitu daerah Sawah Besar (weltevreden) hingga Jatinegara (mesteer chornelis). Lahan yang cukup luas itu ternyata masih belum cukup memuaskan hasrat Chornelis Chastelein. Dia bermimpi untuk membentuk suatu wilayah yang "komplit dan sempurna" sebagai daerah perkebunan, pertanian, dan komunitas keagamaan yang taat.
Akhirnya pada tahun 1696 Chastelein membeli sebidang tanah di Depok dari seorang pejabat VOC, yaitu Lucas Van den Meir.
Di Depok ini Chornelis Chastelein membangun cita-citanya. Dia mulai membeli budak-budak di pasar budak yang ada di Nusantara. Ada yang dari Bali, Makasar, Maluku, bahkan luar Nusantara (India, Srilanka, Coromandel). Di Depok Chastelein mengajarkan para budaknya bagaimana membangun sebuah wilayah yang baik.
ADVERTISEMENT
Depok dibangun dengan mengedepankan keteraturan dan keserasian dengan alam. Terdapat wilayah pertanian, perkebunan, komplek tempat tinggal dan sekolah, saluran irigasi bahkan daerah resapan air/hutan lindung (sekarang Cagar Alam Pitara).
Para budak yang berjumlah sekitar 150an orang dikelompokkan berdasar asal daerah dan keluarga. Mereka kemudian diberi nama panggilan sesuai daerah asalnya untuk memudahkan pengenalan. Seperti Jarong Van Bali dan Daniel Van Makasar. Mereka selain diajarkan bagaimana mengolah lahan pertanian dan perkebunan yang baik, juga diberi pendidikan setara orang-orang Belanda pada masa itu. Pakaian layaknya orang Belanda, bahkan bahasa sehari-hari juga menggunakan bahasa Belanda. Seluruh kebudayaan asal para budak dilebur menjadi satu, dengan menyisakan kebudayaan Bali yang masih terlihat menonjol. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan peninggalan dua set gamelan Bali yang masih tersisa hingga tahun 1945.
ADVERTISEMENT
Chastelein menganggap para budak sebagai bagian dari keluarganya, bahkan dia merencanakan untuk menyerahkan lahannya yang di Depok untuk mereka. Dengan catatan para budak mau menjadi seorang "kristen/protestan". Sejak tahun 1696 Chastelein sudah mulai mengkonsep surat wasiat berkaitan dengan pemberian lahan untuk para budaknya. Hingga akhirnya pada tahun 1714 Chastelein wafat, dan tertulis dalam surat wasiatnya bahwa tanah 'Depok' diberikan bagi 12 keluarga budak yang bekerja untuknya itu. Karena 12 keluarga tersebut mau menjadi 'protestan/kristen'. Ada juga yang tidak mau meninggalkan agama lamanya, namun itu tidak menjadi permasalahan. Karena Chastelein tidak memaksakan hal itu. Sejak awal Chastelein membangun Depok sebagai sebuah wilayah dan "Komunitas", didasari atas penolakannya terhadap sistem perbudakan, dan ketidakadilan dalam bingkai penjajahan.
ADVERTISEMENT
12 keluarga tersebut hingga masa kini dikenal sebagai masyarakat "Depok Lama" dengan 12 marga yang disandangnya.