Konten dari Pengguna

Deepfake dan Ancaman Tindak Pidana

Bayu Susena
Saya bekerja sebagai legal drafting di Universitas Aisyiyah Yogyakarta. Memiliki latar belakang pendidikan di bidang hukum dan saat ini aktif mengembangkan kemampuan menulis di berbagai media.
30 September 2025 14:30 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Deepfake dan Ancaman Tindak Pidana
Deepfake ancam privasi dan hukum di Indonesia. Contoh kasus Jokowi, Baim Wong, Raffi Ahmad, serta aturan UU ITE dan KUHP yang bisa menjerat pelaku.
Bayu Susena
Tulisan dari Bayu Susena tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Foto : https://www.pexels.com/id-id/foto/tipografi-vintage-teknologi-maket-18548430/
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto : https://www.pexels.com/id-id/foto/tipografi-vintage-teknologi-maket-18548430/
ADVERTISEMENT
Beberapa tahun terakhir, dunia digital semakin diwarnai oleh istilah baru yang membuat banyak orang resah. Deepfake merupakan teknologi yang mampu memanipulasi wajah, suara, bahkan gerak tubuh seseorang sehingga tampak nyata meski sebenarnya palsu. Video seorang tokoh publik bisa diedit sedemikian rupa hingga seolah-olah ia mengucapkan kata-kata yang tak pernah keluar dari mulutnya. Suara seorang artis bisa direkayasa untuk menipu penggemarnya agar mengirimkan uang dalam sebuah giveaway palsu. Foto seseorang pun dapat diubah sehingga tampak berada dalam situasi yang memalukan atau bahkan menjurus ke pornografi.
ADVERTISEMENT
Deepfake adalah hasil dari kemajuan Artificial Intelligence (AI) yang luar biasa. Teknologi ini awalnya dikembangkan untuk kepentingan positif seperti industri film, hiburan, edukasi, bahkan riset medis. Penyalahgunaan deepfake menjelma menjadi ancaman baru dalam dunia kejahatan siber. Masalahnya, regulasi hukum di Indonesia belum secara spesifik mengatur soal deepfake. Celah inilah yang sering dimanfaatkan oleh pelaku untuk melakukan tindak pidana.
Beberapa bentuk populer dari deepfake antara lain:
ADVERTISEMENT
Selain itu, teknologi deepfake juga berkembang menjadi bentuk yang lebih kompleks seperti sinkronisasi bibir (lip-sync), transfer gerakan tubuh, bahkan pembuatan teks palsu mirip dengan gaya seseorang. Hasilnya, masyarakat semakin sulit membedakan mana konten asli dan mana yang palsu.
Di dunia hiburan, deepfake punya manfaat besar. Industri film dapat menghidupkan kembali aktor yang sudah wafat atau membuat efek visual tanpa biaya besar. Dunia pendidikan bisa memanfaatkan deepfake untuk simulasi interaktif. Namun, begitu teknologi ini jatuh ke tangan orang yang berniat jahat, maka masalah besar pun muncul.
Beberapa dampak negatif deepfake antara lain:
ADVERTISEMENT
Contoh Kasus Deepfake di Indonesia. Untuk memahami betapa seriusnya ancaman deepfake, ini beberapa kasus yang sudah pernah menghebohkan publik Indonesia.
Video Hoaks Presiden Jokowi Berpidato dalam Bahasa Mandarin
Menjelang Pemilu 2024, beredar sebuah video yang menampilkan Presiden Joko Widodo seolah-olah sedang berpidato menggunakan bahasa Mandarin. Video ini cepat viral, menimbulkan berbagai spekulasi, bahkan menimbulkan kecurigaan bahwa Presiden berpihak pada negara tertentu. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menegaskan bahwa video tersebut hoaks hasil manipulasi deepfake. Tujuannya jelas: menggiring opini publik dan merusak kepercayaan masyarakat.
Dari sisi hukum, video ini bisa dikategorikan sebagai tindak pidana:
ADVERTISEMENT
Artinya, meski tidak ada pasal khusus tentang deepfake, hukum positif Indonesia tetap bisa menjerat pelaku melalui pasal-pasal terkait pencemaran nama baik dan penyebaran berita bohong.
Penipuan Giveaway Mengatasnamakan Baim Wong
Kasus lain menimpa aktor Baim Wong. Wajah dan suaranya dipalsukan oleh pelaku yang membuat akun palsu, lalu mengumumkan “giveaway” berhadiah uang tunai. Korban yang percaya akhirnya mentransfer sejumlah uang atau memberikan data pribadi mereka. Baim Wong sendiri sudah beberapa kali mengklarifikasi, namun tetap saja banyak korban tertipu.
Dari sisi hukum:
ADVERTISEMENT
Kasus ini menunjukkan bahwa deepfake tidak hanya soal pencemaran nama baik, tapi juga bisa merugikan masyarakat secara materiil.
Video Deepfake Raffi Ahmad dan Najwa Shihab Promosi Judi Online
Publik dihebohkan dengan beredarnya video yang menampilkan Raffi Ahmad dan Najwa Shihab seolah-olah sedang mempromosikan situs judi online. Padahal keduanya tidak pernah terlibat dalam hal tersebut. Setelah diperiksa dengan AI detector, terungkap bahwa video tersebut mengalami penyuntingan digital hingga tingkat keaslian palsunya mencapai 86%.
Dalam kasus ini, pelaku bisa dijerat dengan:
ADVERTISEMENT
Kasus ini sangat berbahaya karena bukan hanya merugikan reputasi artis, tetapi juga bisa menjerumuskan masyarakat ke dalam praktik judi online.
Dari tiga kasus di atas, tampak jelas bahwa deepfake dapat masuk ke berbagai kategori tindak pidana:
ADVERTISEMENT
Walaupun belum ada aturan khusus tentang deepfake, aparat penegak hukum masih bisa menggunakan UU ITE dan KUHP sebagai payung hukum. Namun kelemahannya:
Kemajuan teknologi memang tidak bisa dihentikan, termasuk deepfake. Yang bisa dilakukan adalah meminimalisasi dampak negatifnya melalui langkah-langkah pencegahan.
ADVERTISEMENT
Saat seseorang menjadi korban deepfake, kerugian yang dialami bisa non-materiil (nama baik rusak, trauma psikologis) maupun materiil (kerugian uang akibat penipuan). Yang bisa dilakukan korban menurut hukum Indonesia yaoitu
ADVERTISEMENT
Korban tidak perlu merasa tak berdaya. Hukum Indonesia sebenarnya sudah memberi ruang untuk memperjuangkan keadilan. Meski pasal-pasal UU ITE dan KUHP bisa digunakan, regulasi khusus tentang deepfake tetap mendesak untuk dibuat. Ada beberapa alasan:
ADVERTISEMENT
Deepfake adalah pedang bermata dua. Ia bisa menjadi alat inovasi di dunia hiburan dan pendidikan, tapi juga bisa berubah menjadi senjata kejahatan siber yang berbahaya. Kasus video Presiden Jokowi, penipuan giveaway Baim Wong, serta video palsu Raffi Ahmad dan Najwa Shihab hanyalah sebagian contoh dari ancaman nyata deepfake di Indonesia.
Selama regulasi khusus belum ada, aparat penegak hukum memang masih bisa menggunakan UU ITE dan KUHP. Namun, ini bukan solusi jangka panjang. Indonesia perlu segera menyusun aturan spesifik tentang deepfake, sekaligus memperkuat literasi digital dan perlindungan korban.
Bagi masyarakat, langkah terbaik adalah waspada, kritis, dan berhati-hati. Jangan mudah percaya pada konten digital, apalagi yang menimbulkan sensasi. Selalu cek sumber, gunakan akal sehat, dan laporkan jika menemukan tanda-tanda deepfake.
ADVERTISEMENT
Dengan kerja sama pemerintah, aparat hukum, platform digital dan masyarakat, ancaman deepfake bisa ditekan. Teknologi memang tidak bisa dihentikan, tetapi kejahatannya bisa kita lawan bersama.