Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Tradisi Coret-Coret Seragam: Merayakan Kelulusan atau Merusak Makna Pendidikan?
7 Mei 2025 13:47 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari bayu amien pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Setiap akhir tahun ajaran, kita kerap menyaksikan pemandangan yang hampir menjadi rutinitas: siswa-siswi berseragam sekolah dengan baju penuh dengan coretan cat semprot, sepidol dan tanda tangan teman – teman. Mereka berkonvoi dijalan, berteriak senang, menggeber sepeda dan mengepreesikan kebebasan setelah dinyatakan lulus. Di balik euforia itu, banyak muncul pertanyaan yang patut kita direnungkan bersama: apakah tradisi coret-coret seragam ini benar-benar bentuk perayaan kelulusan, atau justru mencederai makna dari pendidikan itu sendiri?
ADVERTISEMENT
Namun di sisi lain, coret-coret seragam dianggap sebagai simbol kebebasan dan bentuk luapan rasa bahagia setelah melewati proses belajar yang panjang dan melelahkan. Ini menjadi ‘ritual perpisahan’ yang dirayakan oleh generasi demi generasi. Banyak siswa yang merasa ini adalah momen tak terlupakan dalam hidup mereka, sebuah transisi dari masa sekolah ke dunia yang lebih luas.
Namun di sisi lain, tradisi ini kerap melenceng dari nilai-nilai pendidikan. Seragam sekolah adalah simbol kedisiplinan, tanggung jawab, dan penghormatan terhadap ilmu. Ketika seragam dicoret, dilempar, atau bahkan dibakar, ada makna simbolis yang secara tidak langsung menunjukkan bahwa apa yang dipakai untuk menuntut ilmu selama bertahun-tahun, kini dianggap sudah tidak berharga lagi.
Lebih dari itu, euforia coret-coret seringkali disertai dengan aksi konvoi liar, kebut-kebutan di jalan, hingga perundungan kepada teman yang tidak lulus. Bahkan tak jarang, perayaan kelulusan menjadi ajang pamer kebebasan yang berujung pada pelanggaran hukum dan etika. Alih-alih menandai kedewasaan, tradisi ini justru menunjukkan bahwa sebagian lulusan belum siap secara moral dan sosial untuk menghadapi fase kehidupan berikutnya.
ADVERTISEMENT
Kita perlu mulai mengedukasi bahwa merayakan kelulusan tidak harus dengan cara destruktif atau simbolik yang kosong. Banyak alternatif yang lebih bermakna bisa dilakukan, seperti berbagi seragam kepada adik kelas yang membutuhkan, membuat acara perpisahan yang reflektif, atau bahkan kegiatan sosial sebagai bentuk syukur dan kontribusi.
Pendidikan seharusnya tidak hanya mencetak siswa yang lulus secara akademik, tetapi juga membentuk karakter dan cara berpikir. Bila kelulusan dirayakan dengan tindakan yang justru bertentangan dengan nilai-nilai tersebut, maka kita perlu bertanya Kembali: apa sebenarnya yang sedang kita rayakan?
Tradisi bisa diwariskan, tetapi bukan berarti tidak bisa ditinjau ulang. Sudah saatnya kita sebagai masyarakat, guru, orang tua, dan siswa sendiri, mengevaluasi tradisi ini dan mengarahkannya menjadi sesuatu yang lebih bermakna. Karena sejatinya, pendidikan bukan hanya soal lulus tetapi soal menjadi pribadi yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
penulis : Bayu Amien Pratama