Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
12 Langkah yang Harus Dilakukan Prabowo agar Swasembada Pangan Tercapai - 'Food Estate Tidak Berhasil'
11 Oktober 2024 13:15 WIB
12 Langkah yang Harus Dilakukan Prabowo agar Swasembada Pangan Tercapai - 'Food Estate Tidak Berhasil'
Presiden terpilih Prabowo Subianto bertekad mewujudkan swasembada pangan di Indonesia dalam empat tahun mendatang. Ada setidaknya 12 langkah yang disarankan sebuah LSM dan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia agar target itu tercapai. Salah satu sarannya Prabowo diminta tidak mengulangi langkah pemerintahan Joko Widodo.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih, mencatat cara-cara Presiden Jokowi yang disebut gagal, antara lain, konversi tanah-tanah subur pertanian menjadi non-pangan.
Lainnya, menurut Henry, adanya penguasaan besar korporasi terhadap lahan pertanian.
”Sepanjang Jokowi berkuasa 10 tahun, hampir 1,4 juta hektare tanah terkonversi dari lahan ataupun sawah ke non-sawah… Kalau Prabowo mengulang apa yang dikerjakan oleh pemerintahan Jokowi maka akan gagal,” kata Henry kepada BBC News Indonesia, Kamis (10/10).
Berikut 11 langkah agar swasembada pangan bisa terwujud, sebagaimana dipaparkan Serikat Petani Indonesia dan Himpunan Kerukunan Petani Indonesia.
Apa saja yang harus dilakukan Prabowo?
Menurut Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih, ada enam cara kunci yang harus dilakukan dan tidak dilakukan oleh Prabowo demi memenuhi tekadnya.
Henry menggarisbawahi pentingnya model pertanian kerakyatan yang fokus pada para petani.
Pertanian kerakyatan, menurut Henry, menjadi pilar penting dalam mencapai swasembada pangan hingga ketahanan pangan lantaran nasib petani berada dalam jerat kemiskinan.
Henry berkata tekad Prabowo untuk swasembada pangan dalam empat tahun disebut akan gagal jika dia tetap mengulang cara-cara sama, seperti yang dilakukan oleh pemerintahan Joko Widodo.
Menurutnya, pada masa pemerintahan Jokowi, terjadi konversi secara besar tanah-tanah pertanian yang subur ke sektor non-pangan. Dia mencontohkan pembangunan bandara di Majalengka, Yogyakarta hingga pemukiman di Tangerang telah menggerus lahan penghasil pangan dalam jumlah yang besar.
“Sepanjang Jokowi berkuasa selama 10 tahun itu hampir 1,5 juta hektare tanah terkonversi dari lahan pertanian ataupun sawah ke non-sawah. Pemerintahan Prabowo harus mencegah konversi lahan pertanian.” katanya.
”Karena salah satu kesulitan petani produksi sekarang adalah harga sewa tanah yang mahal dan lahan yang semakin menyempit,” ujarnya.
Hal itu katanya nampak dari semakin bertambahnya petani ’guram’, yang kini berjumlah mencapai 16 juta orang.
Hal selanjutnya yang perlu dilakukan Prabowo adalah melaksanakan sistem pertanian agroekologis. Salah satunya adalah dengan mengembangkan pupuk organik dibanding kimia yang harganya semakin mahal.
”Harus perbanyak peternakan-peternakan rakyat, baik kambing, sapi, dan lainnya yang menopang pertanian. Ternak kambing itu bagus dari pupuk, daging hingga susunya. Itu yang harus dikembangkan,“ katanya.
Upaya penting lain yang harus dilakukan Prabowo adalah menyetop impor pangan yang besar-besaran dari luar negeri dan mengembangkan koperasi-koperasi petani di tingkat bawah. Kedua hal ini ujarnya dapat meningkatkan harga jual pangan para petani lokal.
Terakhir, Henry menyebut Prabowo harus mencegah korporasi besar menguasai lahan hingga rantai pasok produk pertanian. Penguasaan lahan secara besar, ujarnya, tercermin dari program food estate yang menguntungkan korporasi dibandingkan petani rakyat.
“Modelnya bukan food estate karena sama saja dengan plantation estate yang sudah ada sejak zaman kolonial. Jadi modelnya lebih ke memaksimalkan pertanian rakyat dan koperasi-koperasi petani yang dikembangkan, bukan malah korporasi besar,” katanya.
Dihubungi secara terpisah, anggota Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Sadar Subagyo mengatakan, masalah pangan dan pertanian di Indonesia “harus diselesaikan secara holistik”.
Untuk itulah, Sadar Subagyo mendorong pemerintahan Prabowo untuk:
Apa yang dijanjikan Prabowo Subianto tentang swasembada pangan?
Sebelumnya, Prabowo berjanji akan membawa Indonesia mencapai swasembada pangan.
"Saudara-saudara, tidak ada pilihan. Kita harus swasembada pangan dan saya yakin dan percaya kita akan swasembada pangan paling lambat empat tahun setelah saya menerima mandat 20 Oktober," kata Prabowo, Rabu (09/10),
Prabowo menyebut swasembada pangan sebagai upaya untuk melepas Indonesia dari ketergantungan impor pangan.
Salah satu upaya yang digencarkan Prabowo adalah lewat program andalannya, yaitu food estate.
Cerita para petani: 'Gagal panen, terlilit utang, hingga produksi yang semakin menurun’
Husen Indara telah menjadi petani padi selama 20 tahun di Kota Gorontalo.
Pria berusia 58 tahun ini mengatakan sistem pertanian saat ini tidak dapat membuat petani seperti dirinya sejahtera.
Husen bercerita dia memiliki sawah seluas satu hektare.
Untuk menanam padi, katanya, diperlukan modal sekitar Rp6 juta, dari pembibitan, penanaman, hingga pemeliharaan.
Jika panen yang berlangsung sekitar empat bulan tiba, hasil yang didapat bisa mencapai dua ton beras, dengan harga jual sekitar Rp24 juta.
Artinya, pendapatan Husen bisa empat kali lipat dari modal yang dikeluarkan. Tetapi hitungan itu hanya di atas kertas
Kenyatannya, kata Husen, bulan lalu sebagian padinya gagal panen. Dia pun hanya dapat hasil sebanyak satu ton dengan harga jual Rp12 juta.
Separuh dari hasilnya digunakan untuk modal penanam selanjutnya.
Sisanya, kata Husen, sebesar Rp6 juta atau Rp1,5 juta per bulan digunakan untuk kebutuhan hari-hari menunggu musim panen selanjutnya.
“Enam juta rupiah untuk empat bulan itu sangat tidak cukup. Kadang saya harus beralih profesi menjadi tukang bangunan untuk menambah biaya hidup hari-hari sambil menunggu waktu panen tiba,” kata Husen Indara, kepada Sarjan Lahay, wartawan di Gorontalo yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Kamis (10/10).
Kesulitan itu, katanya, akan semakin parah jika harga beras turun.
Ia bilang, nasib petani kini hanya tergantung dengan “keberuntungan” saja.
“Sekarang, kita tidak bisa prediksi padi kita bisa bagus atau tidak. Pada periode musim hujan, tiba-tiba terjadi kekeringan. Ketika periode musim kemarau, tiba hujan bahkan bisa alami banjir. Ini yang kita alami saat ini,” ujarnya.
Hal serupa juga dialami oleh Idris Buhu, 58 tahun, petani jagung di Kecamatan Pulubala, Kabupaten Gorontalo.
Lebih dari separuh hidupnya bertumpu dari hasil menanam jagung.
Saat ini jagung telah menjadi salah satu komoditas unggulan yang sangat penting dalam subsektor tanaman pangan di Provinsi Gorontalo.
Salah satu olahan tradisional yang menggunakan jagung adalah binte biluhuta, yang juga dikenal dengan sebutan milu siram, hidangan khas Gorontalo.
Penganan ini terbuat dari jagung yang direbus lalu disiram dengan kuah santan gurih yang dicampur dengan bumbu-bumbu khas daerah.
Menurut data BPS 2024, Gorontalo memang menempati posisi kedelapan sebagai penghasil jagung terbesar di Indonesia, dengan produksi mencapai 527.923 ton pada 2023.
Produksi ini ditopang oleh luas panen sebesar 114.356 hektare.
Namun, kata Idris Buhu, petani jagung masih dilingkupi oleh jerat kemiskinan.
Ia bilang, dalam luasan satu hektar lahan jagung, modal yang harus dikeluarkan sebesar Rp10 juta.
Modal yang besar ini katanya membuat petani kerap terperangkap dengan skema pinjaman tengkulak.
Para tengkulak disebutnya memotong 30% dari hasil penjualan jagung dan itu pun belum termasuk pembayar utang.
“Misalnya, harga jagung saat ini sebesar Rp3.500 per kilogram. Ketika kita meminjam uang kepada tengkulak, jagung hanya dibayar sebesar Rp3.000 saja. Rp500 sisanya dihitung sebagai bunga dari utang, tidak termasuk potongan untuk membayar utang,” keluh Idris.
Idris bercerita, keluarganya pernah terpaksa makan satu kali dalam sehari demi menghemat kebutuhan dan mampu membayar utangnya.
Selain itu, total produksi jagung Idris pun terus mengalami penurunan, yang salah satunya akibat kondisi cuaca yang tidak menentu.
“Jagung memerlukan pasokan air yang cukup selama masa pertumbuhannya. Tetapi, cuaca sudah tidak bisa diprediksi. Ketika kita melakukan penanam, kerap terjadi kemarau,” ungkap Idris Buhu.
Koordinator peneliti di Institute for Human and Ecological Studies (Inhides) Tarmizi Abbas atau yang biasa disapa Arief mengatakan, apa yang dialami petani di Gorontalo saat ini merupakan bentuk dari kurangnya intervensi pemerintah.
Dalam 10 tahun terakhir, ujarnya pendapatan riil petani di Gorontalo juga tercatat belum menunjukkan perubahan yang berarti.
Hal itu sejalan dengan data BPS yang menyebut, Nilai Tukar Petani (NTP) mengalami fluktuasi selama tahun 2013 hingga 2023 dengan rata-rata sebesar 103,12.
Artinya, meskipun pendapatan yang diterima petani dari sektor pertanian sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan pengeluarannya, keuntungan yang diperoleh masih sangat kecil.
“Ini mengindikasikan bahwa kesejahteraan petani masih berada dalam batas yang rentan dan terus berada di bawa garis kemiskinan,” kata Arief.
Potret itu, kata Arief, disebabkan oleh kepemilikan lahan petani yang timpang.
Menurutnya, tidak semua petani di Gorontalo memiliki lahan tersedia untuk mereka tanami karena pola penguasaan tanah di wilayah pedesaan sudah dikuasai oleh pemodal hingga korporasi besar.
Terlebih lagi, katanya, korporasi ekstraktif sudah ‘membajak’ sistem pasar pertanian dan pangan, baik soal pupuk, ataupun bibit itu sendiri.
Dengan begitu, katanya, tak jarang petani terjerat dengan utang.
“Dengan melihat pola ruang yang ada, petani dan pertanian di Gorontalo ini sebenarnya sudah berada di ambang kehancuran, dan pemerintah juga seperti mendukung dengan lewat revisi RTRW,” jelasnya.
Ia tak sepakat dengan program food estate yang justru menghilangkan tugas dan fungsi petani yang menjadi produsen pangan.
Menurutnya, food estate akan mempengaruhi politik pangan Indonesia yang sumbernya dari petani beralih ke korporasi.
“Food estate ini sudah berkali-kali gagal dan merusak lingkungan. Harusnya kegagalan itu harus jadi pelajaran untuk pemerintah, apalagi food estate ini juga menjadi ancaman serius bagi keberadaan petani,” tegasnya.
‘Lebih dari 23 tahun jadi petani, renovasi atap bocor saja tak mampu'
Sri Winarsih atau yang disapa Wiwin, sudah 23 tahun bekerja sebagai petani. Setamat SMA pada 2001, warga Dusun Barat, Pamekasan, Jawa Timur ini langsung membantu orang tuanya bekerja di sawah.
Namun, selama lebih dari dua dekade mengelola lahan yang diwariskan orang tuanya, perempuan berusia 41 tahun ini mengaku perekonomian keluarganya sangat sulit.
"Saya jadi petani lebih dari 23 tahun, buat renovasi rumah, atap bocor saja tak mampu. [Hasil panen] tergantung tanamannya, tahun ini cuma dapat satu juta," kata Wiwin menceritakan hasil panen tembakau miliknya kepada wartawan Mustopa El Abdy yang melaporkan kepada BBC News Indonesia dari Madura.
Wiwin bercerita dinding rumahnya kini telah retak, atapnya bocor dan rusak dimakan usia.
Sementara itu, hasil panen setiap musimnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Selain tembakau, Wiwin juga menanam padi dan jagung. Namun, hasil panen disimpan untuk dikonsumsi sendiri bersama keluarganya. Biasanya dia mendapat 15 karung gabah setiap musim panen.
Wiwin sebenarnya memiliki beberapa lahan untuk digarap, namun karena keterbatasan modal, ia terpaksa meminta orang lain untuk mengolahnya. Hasilnya pun dibagi dua.
Kondisi yang sama juga dirasakan Samukti, 45 tahun. Petani di Desa Jalmak, Madura, ini menyebut hasil bertani tidak mampu mengubah kehidupannya, dan hanya cukup untuk makan sehari-hari.
Terlebih, dalam beberapa tahun terakhir, ia kesulitan untuk mendapatkan pupuk bersubsidi. Sehingga hasil panen menjadi kurang maksimal.
"Pupuk harus lancar, karena kadang ketika petani membutuhkan tidak ada," ungkap Samukti terkait harapannya kepada pemerintah.
Modal juga menjadi kendala tersendiri bagi Samukti. Sebab, ia juga harus membayar buruh cangkul ketika hendak menggarap lahan pada awal musim tanam. Ia bahkan terpaksa harus meminjam uang kepada tetangganya.
Sri Winarsih dan Samukti juga mengeluhkan minimnya ketersediaan air dalam mengairi sawah atau menyiram tanamannya. Keduanya mengandalkan air dari sungai di sekitar lahan milik mereka.
Pengamat pertanian dari Univesitas Trunojoyo Madura, M. Fuad F. Mu'tamar mengatakan bahwa pertanian di Madura sebenarnya kurang menjanjikan.
Menurutnya, ada banyak masalah yang dihadapi petani di "Pulau Garam" ini, mulai dari fenomena iklim, harga produk pertanian, sarana produksi hingga nilai tukar petani (NTP).
NTP adalah perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani, dalam menentukan tingkat kesejahteraan petani.
"Kondisi petani di Madura memang tidak cukup menjanjikan untuk perekonomian keluarga karena memang tidak terlalu bagus juga, karena NTP-nya rendah," kata Fuad.
Permasalahan lain yang kerap dihadapi petani di Madura, katanya, adalah minimnya ketersediaan air bersih dan pupuk yang berpengaruh terhadap produktivitas hasil pertanian.
Selain itu, ketersediaan sumber daya manusia atau SDM juga menjadi problem lainnya. Fuad mengatakan, kini banyak generasi muda yang memilih merantau karena dianggap lebih menjanjikan.
Untuk itu dia melihat pemerintah seharusnya berupaya untuk menyelesaikan permasalahan itu demi mencapai ketahanan pangan, alih-alih mengencarkan program food estate.
‘Food estate tidak menjamin pangan sehat’
Laporan ini merujuk pada proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektare yang pernah dilakukan pada 1996 di Kalimantan dan proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) pada 2010 di Papua.
“Sejarah kedua proyek itu telah memberikan kita pelajaran yaitu lingkungan yang telah rusak parah dan pelanggaran HAM. PLG dan MIFEE tidak memberikan hasil yang telah dijanjikan… Keduanya sedikit sekali berkaitan dengan pemenuhan pangan di Indonesia namun semuanya berperan untuk memperkaya segelintir orang yang korup,” tulis laporan itu.
Pada 2020 lalu, pemerintah mengumumkan beberapa rencana program food estate. Setidaknya terdapat tiga lokasi proyek ini, yaitu di Kalimantan Tengah seluas 770.000 hektare, di Papua yang mencapai dua juta hektare dan di Sumatra Utara sebesar 32.000 hektare.
Hal yang sama juga terjadi pada proyek food estate di Sumatra Utara, yang dapat Anda baca dalam laporan BBC News Indonesia.
Tekad Prabowo ‘swasembada pangan dalam empat tahun’
Di acara Investor Daily Summit 2024, JCC Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (09/10), Prabowo Subianto berjanji akan membawa Indonesia mencapai swasembada pangan.
"Saudara-saudara, tidak ada pilihan. Kita harus swasembada pangan dan saya yakin dan percaya kita akan swasembada pangan paling lambat empat tahun setelah saya menerima mandat 20 Oktober," kata Prabowo.
Prabowo memandang, swasembada pangan sebagai upaya agar Indonesia tidak tergantung oleh impor. Dan pangan menjadi salah satu prioritas utamanya saat menjabat presiden.
"Saya dari dulu bertekad ada beberapa hal fundamental, survival, kita suatu bangsa tergantung beberapa hal yang sangat mendasar. Pertama adalah swasembada pangan.
"Suatu bangsa harus bisa produksi dan memberikan ke rakyatnya. Bangsa merdeka tidak boleh tergantung dengan impor pangan. Saya bertekad untuk swasembada pangan," tegas Prabowo.
Tekad Prabowo itu juga telah ditunjukkan dalam catatan visi-misinya saat mencalonkan diri sebagai presiden 2024-2029.
Salah satu misi Prabowo yang dirangkum dalam Asta Cita adalah “memantapkan sistem pertahanan keamanan negara dan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, air, ekonomi kreatif, ekonomi hijau, dan ekonomi biru.”
Demi mencapai swasembada pangan, salah satu program andalan Prabowo adalah dengan pengembangan program food estate, terutama untuk padi, jagung, singkong, dan kedelai, dan tebu.
“Ditargetkan minimal empat juta hektare tambahan luas panen tanaman pangan tercapai pada tahun 2029,” salah satu pernyataan dalam buku visi-visi Prabowo.
Selain lahan pertanian, pemerintah berkewajiban untuk menjamin ketersediaan termasuk akses langsung pupuk, benih, dan pestisida kepada petani.
Berikut beberapa gambaran peta jalan swasembada pangan Prabowo: