Konten Media Partner

15 Orang Meninggal akibat Banjir Sulsel, Pemerintah Tak Sentuh Mitigasi Risiko

4 Mei 2024 16:25 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sedikitnya 15 orang meninggal dunia dan ribuan lainnya diungsikan akibat banjir dan longsor yang melanda sejumlah kabupaten di Sulawesi Selatan, pada Jumat (03/05). Pakar kebencanaan menilai pemerintah daerah dan pusat belum menyentuh mitigasi risiko sehingga jatuhnya korban akibat bencana alam bisa dihindari.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan sebanyak 14 orang meninggal dunia di Kabupaten Luwu akibat tertimbun longsor dan terseret banjir. Adapun satu orang lainnya meninggal dunia di Kabupaten Sidenreng Rappang atau lazim disebut Sidrap.
Selain Kabupaten Luwu dan Sidrap, bencana banjir telah melanda Kabupaten Wajo, Sinjai, Enrekang, Pinrang, dan Soppeng.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sulsel melaporkan bahwa Luwu adalah kabupaten yang paling parah terpapar banjir. Terdapat 13 kecamatan di kabupaten itu yang terendam banjir.
Hingga Sabtu (4/5) pukul 09.00 WIB, sebanyak 2.052 kepala keluarga terdampak dan 115 jiwa di Kabupaten Luwu mengungsi di beberapa masjid dan rumah kerabat.
“Kerugian materil terdata kaji cepat antara lain sebanyak 1.943 unit rumah terdampak, 109 unit rumah rusak berat, 42 unit rumah hanyut, empat titik ruas jalan terdampak, satu unit jembatan terdampak, 14 unit kendaraan roda dua dan empat terdampak, serta lahan persawahan dan perkebunan warga terdampak,” sebut keterangan BNPB dan BPBD Sulsel.
Basarnas Sulsel mengatakan telah mengerahkan puluhan personel dari Kota Makassar dan daerah lain ke sejumlah lokasi bencana.

Warga ‘takut’ bencana susulan

Takdir (38) warga di Desa Kasibiang, Kecamatan Suli, Kabupaten Luwu, mengaku "ketakutan" ancaman banjir susulan.
Menurut Takdir, warga di desanya mulai waspada karena ada titik longsor di pegunungan dekat desa.
"Kita tetap waspada karena di wilayah pegunungan ada beberapa titik longsor. Jangan sampai tiba-tiba datang air bah," paparnya kepada wartawan Darul Amri yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Takdir menyebut sanak saudaranya yang tinggal di Desa Malela Suli sudah mengungsi sejak siang hingga malam. Ada yang ke rumah keluarga terdekat atau masjid terdekat.
"Sudah banyak yang dievakuasi. Kendaraan tidak bisa masuk, biar motor trail susah tembus karena jalan itu lumpur sampai di atas lutut," kata Takdir.

BMKG keluarkan tanda siaga bencana selama tiga hari di Sulsel

Kekhawatiran Takdir cukup beralasan mengingat Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Wil. IV Makassar telah mengeluarkan tanda siaga selama tiga hari ke depan untuk wilayah bencana.
Prakirawan BMKG IV Makassar, Amhar Ulfiana, menyebutkan potensi bencana hidrometeorologi seperti banjir bandang dan tanah longsor di sejumlah daerah.
"Untuk hari ini kami masih berikan peringatan siaga, di atas waspada. Ada tiga tingkatan: waspada, siaga, kemudian awas," jelasnya.
Peringatan siaga diberikan karena intensitas hujan diperkirakan masih lebat hingga sangat lebat.
"Seperti banjir dan tanah longsor kami tetap kasih siaga untuk besok dan lusa," tambah Amhar.

Pemprov Sulsel dikritik tidak menyentuh mitigasi risiko

Ketua Research Institute of Disaster Engineering Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin (Unhas), Dr. Ardy Arsyad, menilai Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan masih berfokus pada sektor hilir, yaitu evakuasi.
"Nanti terjadi longsor baru turun ramai-ramai bikin gawat darurat, emergency, evakuasi, rehabilitasi. Tapi ada yang kurang, menurut saya, mitigasi risiko (atau) manajemen resiko. Itu tidak tersentuh dari semua pihak," ungkap Ardy Arsyad.
Menurut Ardy, seharusnya pemerintah melakukan pencegahan, salah satunya pendataan daerah-daerah yang rawan bencana.
"Masalahnya sekarang ada daerah yang rawan longsor tapi terlalu regional, tidak detail. Misalnya dikatakan Toraja Utara itu rawan longsor, tapi masyarakat itu mau tahu di mana saja daerah rawan, kalau bisa tingkat RT dan RW," tegasnya.
Selain harus mempunyai data, Pemprov Sulses perlu membuat peta risiko, kata Ardy. Apalagi, tambahnya, rata-rata daerah yang risiko bencananya cukup tinggi memiliki kontur tanah yang labil, ditambah adanya pembukaan lahan dan perubahan iklim.
"Jadi usulan saya pemerintah ini harus membuat buku manual atau buku saku bagi masyarakat yang hidup di daerah lereng, dan itu disosialisasikan. Bukunya seputar bagaimana mengolah lahan di daerah lereng-lereng. Kan tidak mungkin disuruh mereka pindah padahal mereka sudah memiliki lahan itu," jelas Ardy.
Berdasarkan data BPBD Sulsel, terdapat 43 orang meninggal dunia akibat bencana alam sepanjang 2024 di Sulawesi Selatan.
Selain akibat banjir di Luwu dan Sidrap pada April 2024, puluhan orang tewas akibat tanah longsor di Tana Toraja pada pertengahan April lalu.

‘Kalau bicara mitigasi, semua unsur ikut terlibat’

Kepala BPBD Sulsel, Amson Padolo, mengatakan mitigasi risiko seharusnya tidak hanya ditujukan ke BPBD tapi juga ke berbagai instansi seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta pihak Balai Sungai.
"Itu kan kerusakan lingkungan bukan di [ranah] BPBD tetapi ada di kementerian terkait, seperti di lingkungan hidup kehutanan. Kalau banjir itu kaitannya dengan balai sungai. Jadi kalau bicara mitigasi semua unsur ikut terlibat," ujar Amson Padolo.
Kata Amson, pihaknya sudah menyampaikan soal persoalan mitigasi bencana ini ke Menteri Koordinator PMK agar semua instansi terkait digerakkan.
"Hampir beberapa provinsi juga seperti begini, jadi kita berharap ada kesatuan yang dikoordinir oleh bapak menko agar melibatkan semua unit-unit dalam hal penanganan mitigasi," sambung Amson.
Sebelumnya, setelah bencana tanah longsor terjadi di Tana Toraja, pertengahan April lalu, Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, mengatakan bahwa semua peralatan untuk deteksi dini bencana tanah longsor - mulai dari indikasi kawasan rawan hingga peringatan cuaca - sudah difasilitasi bagi pemerintah daerah. Sehingga, seharusnya bencana yang menelan jiwa bisa dihindari.
“Jadi penanggulangan bencana ini, ujung tombaknya pemerintah daerah. Sekarang informasi apa lagi yang diperlukan? Peta daerah sudah ada, peta risikonya sudah ada. Terus sekarang, prakiraan cuaca BMKG alatnya sudah ada di situ.
“Teknologi praktisnya untuk melihat gejala alam sudah kami ajarkan. Proses belajar ini juga harus kita dorong ke pemerintah daerah,” tegas Abdul.
Reportase oleh wartawan di Sulawesi Selatan, Darul Amri.