Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
24 Anak Meninggal, Hanya Satu yang Selamat: ‘Dia sama Sekali Tidak Mengerti’
9 Oktober 2022 13:00 WIB
·
waktu baca 3 menitLaura Bicker and Suchada Phoisaat
BBC News, Nong Bua Lamphu, Thailand
Emmy, yang berusia tiga tahun, sedang tidur siang di sebelah teman baiknya di pusat pendidikan anak usia dini (PAUD) di Thailand utara ketika penyerang itu masuk, bersenjatakan pistol dan pisau.
Sebelum waktu tidur siang tiba, kelas yang terdiri dari 11 anak yang semua berusia sekitar tiga tahun itu sibuk menggambar dan menulis.
Sekitar pukul 10.00 waktu setempat, para guru mengirimkan foto-foto kepada orang tua anak-anak - semuanya tersenyum dan tampak bersenang-senang.
Dua jam kemudian, di waktu tidur siang, mantan polisi Panya Kamrab melenggang masuk ke gedung sekolah.
Sejumlah saksi mata berkata ia pertama-tama menembak para staf, termasuk seorang guru yang tengah hamil delapan bulan, sebelum memaksa masuk ke tiga ruang kelas.
Dia membunuh semua teman Emmy saat mereka tertidur.
Baca juga:
Tidak jelas bagaimana Emmy bisa selamat. Saat ditemukan, dia terjaga, tubuhnya melingkar di antara jasad teman-temannya.
“Dia sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi saat bangun,” kata kakeknya, Somsak Srithong yang berusia 59 tahun, kepada BBC saat ditemui di kediamannya.
“Dia mengira teman-temannya masih tidur. Seorang petugas polisi menutup wajahnya dengan kain dan menggendongnya keluar dari ruangan penuh darah.”
Petugas penyelamat itu membawa Emmy ke lantai dua untuk melindunginya dari pemandangan mengerikan itu. Mereka kemudian menyisir dua ruang kelas lainnya, berharap menemukan penyintas lagi.
Namun Emmy adalah satu-satunya anak yang bertahan hidup dalam pembunuhan massal di Nong Bua Lamphu pada Kamis lalu.
Total sebanyak 37 orang tewas - termasuk istri dan anak tiri penyerang - sebanyak 24 di antaranya adalah anak-anak.
“Saya bersyukur dia selamat. Saya peluk dia erat-erat saat pertama melihat dia,” ujar Somsak.
Ibu Emmy, Panompai Srithong yang berusia 35 tahun, bekerja di Bangkok pekan itu. Sebelumnya dia mendapat informasi bahwa semua anak di sekolah itu meninggal dunia, dan harus diyakinkan bahwa putrinya lolos dari maut.
“Saya akhirnya bisa video call dengan Emmy dan rasa syukur dan lega membanjiri saya,” katanya.
Kota kecil itu dipenuhi dengan keluarga-keluarga yang berduka, dan untuk beberapa hari pertama, kakek-nenek Emmy tidak tahu apa yang harus dikatakan pada cucu mereka.
“Kami memberitahu dia pelan-pelan saat dia bermain dengan boots Hello Kitty kesukaannya di taman.”
Dia terus menanyakan sahabatnya, Pattarawut yang berusia tiga tahun, yang biasa dipanggil Taching.
Mereka selalu tidur siang bersebelahan sampai kaki mereka bersentuhan. Emmy juga sangat senang bersekolah dan ingin menjadi seperti guru-gurunya.
“Neneknya akhirnya bilang kalau semua teman sekolahnya telah meninggal dunia, juga guru-gurunya, dan sekolahan tutup,” kata sang ibu.
“Setiap hari, dia bilang ingin pergi ke sekolah. Kami harus memberi tahu dia kalau sekolahnya tutup, setiap hari. Dia terlalu kecil untuk memahami konsep tentang kematian.”
Ritual pemakaman dan doa-doa secara Buddha dilakukan di sejumlah kuil di kota itu, menandai tragedi tiga hari lampau.
Motif penyerangan itu masih belum diketahui, namun polisi berkata Kamrab dipecat dari pekerjaannya pada Juni karena penggunaan obat-obatan terlarang.
Kota kecil di sebelah timur laut Thailand ini sekarang berupaya untuk memberi dukungan kepada keluarga korban. Namun banyak yang kemudian menanyakan soal mudahnya senjata mematikan didapatkan dan masalah narkoba di negara tersebut.
“Para orang tua bertanya, ‘Di mana tempat yang aman untuk anak-anak mereka?’ Saya sangat sedih dan saya memohon pada aparat untuk menjaga keamanan kami,” kata paman Emmy, Veerachai Srithong.