Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Abu Vulkanik dari Gunung yang Erupsi: Seberapa Berbahaya terhadap Penerbangan dan Apakah Bisa Menyebabkan Insiden Fatal?
14 November 2024 20:00 WIB
Abu Vulkanik dari Gunung yang Erupsi: Seberapa Berbahaya terhadap Penerbangan dan Apakah Bisa Menyebabkan Insiden Fatal?
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) melaporkan debu vulkanik akibat erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang sempat mengganggu aktivitas penerbangan, sudah tidak terdeteksi lagi di langit Lombok pada Kamis (14/11).
Sejumlah penerbangan yang sempat tertunda akibat gangguan abu vulkanik pun kini sudah berjalan normal.
Kendati demikian, PT Angkasa Pura Indonesia tetap menyarankan para calon penumpang pesawat dari dan ke Bali, Lombok, dan Kupang, untuk memperhatikan status penerbangan.
Ini karena masih ada maskapai yang melakukan penundaan penerbangan (delay) dan pembatalan penerbangan (cancel flight).
Seberapa berbahaya sebetulnya debu vulkanik terhadap penerbangan dan apakah bisa menyebabkan insiden fatal?
Letusan gunung berapi yang memuntahkan material abu atau debu vulkanik menjadi "masalah terbesar" bagi pesawat terbang, baik untuk pesawat kecil maupun pesawat berbadan besar, kata Marsma TNI (Purn) Agung Sasongkojati.
Sebab partikel abu vulkanik mengandung material silika yang berbentuk seperti pasir atau kuarsa.
Jika partikel itu masuk ke turbin mesin pesawat yang di dalamnya terdapat bilah-bilah berbentuk sirip, maka bisa menyebabkan keausan atau erosi.
Dan yang tak kalah mengerikan, kata dia, kalau abu vulkanik tersebut menempel pada mesin, dapat menyumbat saluran udara pada turbin yang pada akhirnya mesin akan kehilangan tenaga atau mati.
"Sehingga fungsi dari turbin mesin pesawat untuk mengisap dan menyemburkan udara, jadi terganggu, akibatnya daya dorong berkurang," ujar mantan instruktur penerbang F-16 tersebut kepada BBC News Indonesia, Kamis (14/11).
Di samping mengganggu mesin, debu vulkanik yang menyelimuti sayap pesawat juga membuat kemampuan aerodinamis sayap pesawat terbang dalam menjaga keseimbangan jadi berkurang.
Kondisi lain yang juga disebutnya tak kalah membahayakan adalah ketika abu vulkanik itu menutupi kaca kokpit pesawat.
Dalam situasi seperti itu, pilot yang pandangannya terbatas tak akan bisa melihat apapun.
"Susah bagi pilot karena dia enggak bisa melihat keluar, tidak kelihatan apa-apa," imbuhnya.
"Apalagi kalau debu vulkanik ini memasuki sensor-sensor pesawat seperti pilot tube yang fungsinya merekam kecepatan pesawat di udara. Bila tersumbat, pesawat tidak mendapatkan data yang akurat," sambungnya.
Ketua Umum Ikatan Pilot Indonesia, Capt Rama Noya, mengatakan kalau pesawat mengalami kerusakan di instrumen-instrumen itu, maka yang terjadi pesawat terjun bebas.
Pesawat kemudian akan melayang-layang di udara untuk beberapa saat.
Di kondisi begitu, kata dia, pilot mau tak mau harus segera mendarat. Bagaimana pun, keselamatan pesawat, kru, dan penumpang menjadi prioritas.
"Kalau dia [pilot] bisa mencapai airport terdekat sih tidak masalah, kalau jauh bagaimana? Apalagi pesawat sudah tidak punya daya dorong," ungkapnya.
"Jadi pesawat harus mendarat di mana pun, makanya abu vulkanik sangat berbahaya dan harus dihindari."
Capt Rama Noya mengaku pernah mengalami situasi menegangkan itu ketika terbang menuju Ternate, Maluku Utara, pada 2018.
Waktu itu, kata dia, Gunung Gamalama meletus dan sebaran abunya sampai menutupi landasan pacu di dalam bandar udara Sultan Babullah.
Sesuai prosedur, dia harus mengalihkan pesawat untuk mendarat di bandara lain yang terdekat.
"Atau kejadiannya ketika Gunung Merapi meletus, kami juga terpaksa harus ganti rute, menghindari debu, meskipun akan menambah bahan bakar dan waktu penerbangan," jelasnya.
Yang pasti, ujar Capt Rama, setiap pilot sudah dibekali pengetahuan bagaimana menghadapi kondisi adanya abu vulkanik yang berasal dari letusan gunung berapi.
Satu hal paling penting yang diajarkan adalah "menghindar".
"Pesawat itu terbang dalam kondisi 100% aman, kalau ada 1% faktor yang membuat penerbangan tidak aman, ya tidak akan terbang."
Insiden fatal pesawat terbang akibat abu vulkanik
Sejarah mencatat insiden fatal yang diakibatkan oleh semburan abu vulkanik Gunung Galunggung di Jawa Barat pernah menimpa maskapai British Airways pada tahun 1982 .
Tiga dari empat mesin pesawat Boeing 747 yang diterbangkan oleh Capt Eric Moody itu mati di ketinggian 37.000 kaki karena terkena debu vulkanik.
Kala itu, sang kapten mengaku tidak tahu apa yang terjadi pada mesin turbinnya.
Baru kemudian, dia, krunya, dan 247 penumpang di dalam pesawat yang mendarat dalam keadaan selamat mengetahui penyebabnya: abu vulkanik.
Mulanya, tidak ada tanda-tanda masalah ketika penerbangan BA 009 lepas pandas pada malam hari dari Kuala Lumpur, Malaysia, di tanggal 24 Juni 1982.
Ramalan cuaca dalam penerbangan lima jam menuju Perth, Australia, menunjukkan baik-baik saja.
Tanda pertama adanya masalah muncul ketika pesawat, yang telah mencapai ketinggian jelajah, terbang melewati Pulau Jawa di atas Samudra Hindia sebelah tenggara.
Capt Moody, yang sedang meninggalkan kokpit untuk berjalan-jalan, dipanggil kembali. Saat menaiki tangga, ia melihat kepulan seperti "asap" membumbung dari jendela dan mencium bau menyengat.
Ketika ia membuka pintu kokpit, terlihat kaca depan terbakar oleh sesuatu yang mirip api dengan listrik statis.
Namun, kondisi itu belum membuatnya khawatir.
"Itu bukan hal yang aneh ketika berada di awan tebal yang tinggi. Tapi situasinya berkembang jadi sesuatu yang belum pernah kami lihat sebelumnya."
Ia lantas menengok ke luar jendela di samping kokpit, kru melihat bagian depan mesin bersinar seolah-olah menyala dari dalam.
Teknisi pesawat Capt Moody lalu menjelaskan kalau itu adalah akibat dari debu vulkanik.
"Terjadi kegagalan mesin pesawat di nomor empat... lantas kegagalan lagi di mesin nomor dua," ungkapnya.
"Tiga [mesin] sudah hilang... semuanya mati."
Dalam hitungan detik, pesawat itu melayang.
Karena butuh waktu untuk memutuskan dengan tenang, Capt Moody menggunakan autopilot untuk mendaratkan pesawat dengan lembut dan memerintahkan krunya melakukan panggilan darurat "mayday".
Sementara kru lainnya mencoba mencari penyebab kegagalan "aneh" ini, para penumpang masih tak menyadari bahwa ada yang salah.
Pada akhirnya saat masker oksigen penumpang turun dan pesawat meluncur dengan curam, kabar bahaya itu diumumkan.
"Selamat malam, hadirin sekalian. Ini kapten Anda yang berbicara. Kami punya masalah kecil. Keempat mesin mati. Kami semua berusaha sekuat tenaga untuk menghidupkannya kembali. Saya memastikan, Anda tidak dalam kesulitan yang berarti."
Setelah seperempat jam tanpa daya, mesin berhasil dihidupkan kembali.
Abu vulkanik yang menyumbat mesin, berfungsi lagi setelah debu yang mengeras pecah.
"Kami meluncur dari ketinggian 37.000 kaki ke 12.000 kaki sebelum kami berhasil menghidupkan [mesin] lagi," kenang Capt Moody.
Pesawat itu terpaksa mendarat di Jakarta dengan selamat, meskipun salah satu mesinnya rusak.
Dua hari kemudian, para penyelidik memastikan bahwa abu vulkanik menjadi penyebab insiden tersebut.
Pesawat terbang disebut menerabas awan debu yang dimuntahkan oleh letusan Gunung Galunggung, 110 mil sebelah tenggara Jakarta.
Mengenang peristiwa mengerikan itu 28 tahun kemudian, Capt Moody, yang menetap di Camberley, Surrey, seperti menunjukkan semacam pernyataan meremehkan yang menjadi ciri khas orang-orang dari profesinya.
"Yah, insiden itu sedikit menakutkan saya."