Konten Media Partner

ACT dan Dugaan Penyelewengan Dana, Pengawasan Pemerintah Disebut Sangat Minim

6 Juli 2022 7:52 WIB
ยท
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Foto ilustrasi.
zoom-in-whitePerbesar
Foto ilustrasi.
Dugaan penyelewengan dana masyarakat oleh lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT) memunculkan lagi kebutuhan untuk memperkuat fungsi pengawasan pemerintah terhadap aktivitas lembaga-lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat.
Kelemahan pengawasan pemerintah itu, menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), antara lain, belum ada sanksi yang tegas terhadap lembaga filantropi yang terbukti melakukan penyelewengan.
Sebaliknya, Kementerian Sosial mengeklaim pihaknya dapat mencabut izin lembaga filantropi dan bahkan menindaklanjutinya dengan sanksi pidana jika terbukti melanggar peraturan perundangan.
Asosiasi yang menghimpun lembaga filantropi di Indonesia mengakui belum memiliki dewan kode etik untuk mengawasi tindak-tanduk pengurus lembaga filantropi.
Dugaan penyelewengan dana masyarakat oleh lembaga kemanusiaan ACT yang disinyalir digunakan untuk kepentingan pribadi mencuat ke permukaan, setelah majalah TEMPO mengungkapnya dalam laporan utamanya pekan ini.
Pimpinan lembaga itu juga diduga memanfaatkan donasi itu untuk gaji dan fasilitas pengurus.
Akibatnya, seperti dilaporkan majalah itu, menyebabkan berbagai program bantuan lembaga amal itu mandek. Pimpinan ACT membantah laporan ini.
ACT, yang beroperasi sejak 2005, adalah lembaga pengelola dana sosial dan kebencanaan yang dilaporkan mengelola uang ratusan miliar rupiah.

'Pengawasan sangat minim'

Investigasi majalah TEMPO terhadap dugaan penyelewengan dana masyarakat oleh ACT menimbulkan reaksi luar biasa di masyarakat.
Di media sosial diserukan agar masyarakar memboikot pemberian dana ke ACT dan reaksi cepat dilakukan Kementerian Sosial yang berjanji akan memanggil pimpinan lembaga amal tersebut.
Kalangan politikus di DPR meminta polisi turun tangan untuk menyelidiki kasus ini, sementara PPATK mengaku sejak awal pihaknya juga "menemukan dugaan penyelewengan".
Namun bagi YLKI, terungkapnya dugaan kebocoran dana masyarakat oleh ACT, tidak terlepas dari lemahnya pengawasan pemerintah.
"Pengawasannya sangat minim. Dalam catatan YLKI, Kemensos belum pernah menjatuhkan sanksi terhadap lembaga yang tidak berizin, dan yang berizin tapi menyalahgunakan amanat yang menjadi komitmen awalnya," kata salah-seorang pengurus harian YLKI, Sudaryatmo, Selasa (05/07).
Keberadaan lembaga filantropi di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang.
Sudaryatmo kemudian menyebut masalah pengawasan yang diatur dalam undang-undang itu sebagai secara "infrastruktur hukum dan kelembagaannya sudah ketinggalan".
Dia kemudian menyontohkan, "Kenapa banyak lembaga yang tidak punya izin, tapi melakukan penggalangan dana."
Hal penting lainnya, lanjutnya, UU itu tidak mengatur tentang lembaga rating yang disebutnya dapat mengawasi sepak terjang lembaga amal.
Praktik seperti disebutnya sudah lazim di beberapa negara maju.
"Di Indonesia perlu lembaga yang melakukan rating lembaga filantropi. Itu penting untuk menjadi guideline bagi donatur untuk menyumbang.
Keberadaan lembaga ini disebutnya penting bahwa "lembaga filantropi itu ada yang mengawasi."
Di sinilah, YLKI kemudian menyarankan agar pemerintah dan DPR untuk merevisi undang-undang yang mengatur tentang lembaga filantropi.
Apa tanggapan Kemensos?
Sampai berita ini dituliskan pada Selasa (05/07) malam, BBC News Indonesia telah beberapa kali menghubungi Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial Harry Hikmat, tetapi yang bersangkutan tidak memberikan tanggapan.
Sebelumnya, dalam keterangan tertulis kepada media, Hikmat menyatakan pihaknya akan memanggil pemimpin ACT.
Tujuannya untuk meminta keterangan berkenaan dengan tuduhan penyelewengan dana umat yang dilayangkan kepada organisasi kemanusiaan tersebut.
Menurutnya, sesuai Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengumpulan Uang dan Barang, Kemensos berwenang memeriksa lembaga pelaksana pengumpulan uang dan barang yang diduga melakukan pelanggaran.
Dia berujar, Inspektorat Jenderal Kementerian Sosial punya kewenangan memeriksa dugaan pelanggaran tersebut.
"Serta membekukan sementara izin lembaga yang bersangkutan sampai proses pemeriksaan tuntas," katanya.
Merujuk Pasal 19 huruf b Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2021, Menteri Sosial juga berwenang mencabut dan atau membatalkan izin penyelenggaraan lembaga yang bersangkutan jika penyelenggara terbukti melakukan pelanggaran.
Dikatakannya, mereka juga dapat dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, penangguhan hingga pencabutan izin operasi.
"Serta sanksi pidana jika terbukti melanggar peraturan perundang-undangan," ujarnya.
Mereka juga mengeklaim memiliki wewenang mengawasi semua lembaga filantropi yang terdaftar.

Bagaimana tanggapan Perhimpunan Filantropi Indonesia?

Laporan TEMPO mensinyalir petinggi ACT diduga memanfaatkan dana yang dihimpun dari masyarakat itu untuk kepentingan pribadi.
Pimpinan lembaga itu juga diduga memanfaatkan donasi itu untuk gaji dan fasilitas pengurusnya.
Akibatnya, seperti dilaporkan majalah itu, menyebabkan berbagai program bantuan lembaga amal itu mandek. Pimpinan ACT membantah laporan ini.
Presiden ACT, Ibnu Khajar, dalam jumpa pers, Senin (04/07),menganggap biaya operasional yang dipotong dari donasi itu tidak melanggar apa yang disebutnya sebagai hukum syariah.
Bagaimanapun, Perhimpunan Filantropi Indonesia, yang mewadahi lembaga amal, mengakui, pihaknya belum memiliki dewan kode etik yang dapat "mengontrol" perilaku para pengurusnya.
"Sekarang ini masih dalam proses sosialisasi kode etik. Kita sekarang lebih banyak mengatakan 'hati-hati ada peristiwa begini, tolong perhatikan kode etik' ... jadi itu yang baru bisa dilakukan oleh kita [Perhimpunan Filantropi Indonesia]," kata salah-seorang anggota Badan Pengurus PFI, Hamid Abidin kepada BBC News Indonesia, Selasa (05/07).

'Hak donatur untuk bertanya'

Masalah lain yang mencuat di tengah terungkapnya kasus dugaan penyelewengan dana masyarakat ini, adalah sejauhmana para donatur berhak mengontrol uang sumbangannya.
Hamid Abidin, salah-satu anggota Badan Pengurus Perhimpunan Filantropi (PFI) mengatakan, sudah saatnya mengedukasi para donatur.
"Karena donatur kita, sebagian besar, sifatnya tertutup dan tidak kritis.
"Misalnya, kalau menyumbang lebih suka menyebut 'hambah Allah' dibandingkan menyebutkan identitasnya.
"Kemudian, mereka tidak begitu peduli dengan pertanggungjawaban, dengan laporan. Jarang yang mengecek dan menanyakan.
"Inilah yang juga membuka ruang bagi lembaga-lembaga penggalang sumbangan untuk menyalahgunakannya," papar Hamid kepada BBC News Indonesia, Selasa (05/07).
Salah-seorang pengurus harian YLKI, Sudaryatmo, juga menyoroti soal pentingnya pengawasan dari masyarakat, yaitu terutama dari para donatur.
"Pengawasan dari masyarakat akan efektif, kalau saat yang sama, donatur punya kepedulian terhadap hak-haknya.
"YLKI itu berkali-kali mendorong kepada lembaga filantropi, kalau bikin poster juga diselipkan hak-hak donatur.
"Jangan cuma masyarakat diminta menyumbang, tapi juga mengedukasi sebagai penyumbang, apa hak mereka.
"Salah-satunya kan mendapat laporan dana itu disalurkan sesuai dengan peruntukan awal," papar Sudaryatmo.