Konten Media Partner

Advokat LBH Yogyakarta yang Tangani Kasus Dugaan Kekerasan Seksual di UII Ditetapkan sebagai Tersangka 'Pencemaran Nama Baik'

26 Juli 2024 8:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Advokat LBH Yogyakarta yang Tangani Kasus Dugaan Kekerasan Seksual di UII Ditetapkan sebagai Tersangka 'Pencemaran Nama Baik'

Sejumlah kelompok perempuan menggelar aksi protes melawan kekerasan seksual di Jakarta.
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah kelompok perempuan menggelar aksi protes melawan kekerasan seksual di Jakarta.
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) didesak menghentikan perkara yang menetapkan advokat kasus dugaan kekerasan seksual di Universitas Islam Indonesia, Meila Nurul Fajriah, sebagai tersangka pencemaran nama baik.
Sebab menurut sejumlah aktivis HAM, Pasal 29 UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menyatakan pendamping korban kekerasan seksual yang terdiri dari psikolog, pekerja sosial, advokat, atau paralegal yang sedang melakukan penanganan tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas pendampingannya.
Menanggapi desakan itu, Dirreskrimsus Polda DIY, Idham Mahdi, mengatakan kasus tersebut sedang dalam tahap penyidikan dan sejauh ini perbuatan Meila dianggap telah memenuhi unsur Pasal 17 ayat 3 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Idham juga membantah tudingan adanya kriminalisasi terhadap Meila.
Sementara itu IM, pelapor Meila sekaligus orang yang dituduh melakukan dugaan pelecehan seksual, menyebut apa yang disampaikan Meila dalam konferensi pers tahun 2020 silam merupakan fitnah.
Atas dasar itulah IM mengatakan ingin menyelesaikan masalah ini serta memulihkan nama baiknya.

Bagaimana pelaporan pencemaran nama baik ini bermula?

Meila Nurul Fajriah merupakan advokat atau pengabdi bantuan hukum di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta yang fokus menangani isu-isu perlindungan hak-hak perempuan.
Pada tahun 2020 Meila menjadi salah satu pendamping hukum terhadap beberapa korban dugaan kekerasan seksual di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Dalam proses pendampingan itu, LBH Yogyakarta melalui aplikasi Zoom yang diunggah di kanal YouTube-nya lantas menggelar konferensi pers pada 4 Mei 2020 berjudul 'Update Penanganan Kasus Kekerasan Seksual yang dilakukan oleh IM'.
Selain Meila, ada dua rekan lain dari LBH Yogyakarta pada acara itu.
Aktivis perempuan berkumpul untuk mengecam aksi 14 pemuda di Bengkulu yang memperkosa seorang perempuan muda dan membunuhnya pada tahun 2016.
Meila kemudian memaparkan kronologi bagaimana awal mula lembaganya menerima aduan dari seorang yang mengeklaim sebagai penyintas pelecehan seksual.
Menurut Meila, dari yang tadinya satu orang saja mengadukan kasus tersebut, muncul seorang lainnya yang juga mengeklaim sebagai penyintas dan dia menyebutkan dengan jelas nama terduga pelaku.
"Di awal kami menerima pengaduan ini pada 17 April 2020, adalah penyintas pertama yang mengadukan kepada kami. Pengaduan ini secara resmi dilakukan kepada LBH Yogyakarta lewat prosedur yang selama ini kami lakukan, yakni mengisi formulir pengaduan dan memberikan identitas," ujar Meila dalam konferensi pers online.
"Pascapengaduan kami terus melakukan komunikasi yang mengetahui ternyata penyintas sudah mendapatkan dampingan dari psikolog UII. Dari penyintas pertama dia bercerita kepada temannya bahwa dirinya menjadi korban pelecehan seksual oleh IM dan telah melaporkan kasusnya ke LBH Yogyakarta," sambungnya.
Sampai pada 4 Mei 2020, klaim Meila, jumlah pengaduan yang diterima LBH Yogyakarta dari seorang pendamping dan gerakan UII Bergerak mencapai "30 pengadu dari 30 orang".
Dan semua data aduan itu disebutnya sudah dengan persetujuan penyintas.
Direktur LBH Yogyakarta, Julian Dwi Prasetya, mengatakan apa yang disampaikan Meila termasuk menyebut nama lengkap terduga bukanlah tindakan pribadi, tapi merupakan keputusan lembaga dan keinginan para penyintas.
"Tuntutan korban pada waktu itu [agar terduga] tidak diberikan ruang, sebab korbannya banyak," ujar Julian dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (25/07).
Namun pada Oktober 2020, IM melaporkan Meila dan LBH Yogyakarta ke kepolisian dengan Pasal 27 ayat 3 UU ITE atau sangkaan pencemaran nama baik.
Kuasa hukum IM, Abdul Hamid, bilang alasan Meila dilaporkan karena Meila menyebut nama kliennya secara berkali-kali sebagai predator seksual dan pelaku kekerasan seksual tanpa ada klarifikasi terlebih dahulu atau dasar hukum yang jelas.
"Tidak pernah ada satu pun pihak [LBH Yogyakarta] yang minta klarifikasi atau keterangan atas tuduhan itu. Sampai detik ini Meila secara sepihak memfitnah saya," ucap IM kepada BBC News Indonesia, Kamis (25/07).
Selama hampir empat tahun setelah laporan itu dibuat, Meila akhirnya ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda DIY pada 24 Juni 2024.

'Kriminalisasi terhadap pekerja bantuan hukum'

Sejumlah aktivis hak asasi manusia dan pegiat hukum menilai apa yang dialami Meila adalah bentuk kriminalisasi terhadap para pekerja bantuan hukum atau HAM.
Pasalnya, menurut Koordinator Kontas, Dimas Bagus Arya, advokat memiliki hak imunitas yang melekat pada profesi mereka ketika menjalani tugasnya.
Sejumlah aktivis perempuan mengutuk tindakan pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan dan meminta negara melindungi perempuan dari kekerasan.
Selain itu, merujuk pada Pasal 29 UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) disebutkan bahwa pendamping hukum korban kekerasan seksual yang meliputi petugas LPSK; petugas UPTD PPA; tenaga kesehatan; psikolog; pekerja sosial; tenaga kesejahteraan sosial; psikiater; pendamping hukum meliputi advokat dan paralegal; petugas lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat; dan pendamping lain yang sedang melakukan penanganan terhadap korban tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdaya atas pendampingan atau pelayanannya, kecuali jika pendamping atau pelayanannya diberikan tidak dengan itikad baik.
"Jadi ini menunjukkan polisi tidak berpihak pada korban dalam kasus ini, dan polisi telah melecehkan profesi advokat karena tidak melindungi hak imunitas yang melekat pada advokat dalam menjalani tugasnya," ujar Dimas.
Dimas kemudian menjelaskan dalam beberapa kasus pelecehan atau kekerasan seksual, fenomena seperti ini kerap terjadi. Menurutnya, pelaku melakukan pola yang disebutnya "kill the messenger" atau menyerang pihak yang menyampaikan kebenaran.
Cara yang paling umum dilakukan di Indonesia, sambungnya, dengan melaporkan sangkaan pencemaran nama baik.
Padahal semestinya dalam kasus tersebut, menurut dia, polisi harus fokus pada kasus utama yang ditangani oleh pendamping hukum - bukan justru mengintimidasi pendamping korban atau penyintas.
Prosedur itu, klaimnya, telah tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pedoman UU ITE yang ditandatangani Menkoinfo, Jaksa Agung, dan Kapolri.
Dimas bilang Pasal 27 ayat 3 "bukan delik pidana jika konten berupa penghinaan yang kategorinya cacian, ejekan, dan/atau kata-kata tidak pantas, juga jika kontennya berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan".
Sehingga dengan begitu, kata Dimas, polisi sudah bisa menghentikan proses pelaporan IM terhadap Meila karena dianggap tidak memenuhi unsur pencemaran nama baik.
"Karena apa yang disampaikan oleh Meila itu merupakan tindakan yang berdasarkan hasil penilaian dan kenyataan," ujar Dimas.
"Siaran pers LBH Yogyakarta waktu itu merupakan hasil aduan dan hasil verifikasi yang sudah dilakukan dari kawan-kawan LBH Yogyakarta, sehingga polisi tidak bisa menerima laporan ini," tambahnya.
"Maka dari itu polisi harusnya bisa menghentikan proses penyidikan dan membatalkan status tersangka Meila karena bertabrakan dengan norma lain di UU TPKS," katanya.

Apa dampak pelaporan ini terhadap penanganan kasus dugaan kekerasan seksual?

Aktivis Jaringan Perempuan Yogyakarta (YPJ), Ika Ayu, mengatakan pelaporan terhadap advokat atau pendamping hukum kasus kekerasan seksual sudah beberapa kali terjadi.
Tapi terlepas dari itu, dia menilai tindakan yang disebutnya sebagai kriminalisasi terhadap Meila menjadi preseden buruk bagi upaya penghapusan kekerasan seksual.
Sebab polisi sebagai aparat penegak hukum tidak berpihak pada korban, katanya.
"Bagaimana Meila sebagai pendamping hukum dikriminalisasi dan ditetapkan sebagai tersangka sebetulnya menunjukkan bahwa apa yang selama ini dianggap sebagai kekerasan seksual malah jadi ditiadakan pengalamannya [korban]," jelas Ika Ayu.
Polisi, sambungnya, harus memahami bahwa tidak semua korban dugaan pelecehan atau kekerasan seksual bersedia kasusnya dibawa ke ranah pidana.
Sebab, menurutnya, ada di antara mereka merasa belum siap secara mental akibat trauma yang dialami. Selain juga ada kekhawatiran setelah melapor ke polisi, tidak ada jaminan kasusnya akan dituntaskan, kata Ika Ayu.
Namun bukan berarti tidak dilaporkannya kasus dugaan kekerasan seksual ke kepolisian, peristiwa tersebut dianggap tidak ada, menurut Ika Ayu.
"Jadi ini secara tidak langsung bentuk intimidasi terhadap korban. Kalau kasus Meila dilanjutkan dan tidak dihentikan, maka ancaman berikutnya pendamping lain yang berbasis masyarakat bisa dikriminalisasi," paparnya.

Apa tanggapan polisi dan IM?

Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda DIY, Komisaris Besar Idham Mahdi, membenarkan penetapan tersangka terhadap advokat LBH Yogyakarta, Meila Nurul Fajriah, pada 24 Juni 2024.
Meila diduga mencermarkan nama baik seorang alumnus Universitas Islam Indonesia (UII) berinisial IM saat menggelar konferensi pers tahun 2020 silam.
Kelompok perempuan mendesak disahkannya RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Idham menyebut salah satu bukti yang dibawa IM adalah konten dari sebuah kanal YouTube LBH Yogyakarta.
"Ya tentunya yang di kanal YouTube itu. Itu masih bisa diakses sampai sekarang. Ya link YouTube itu, sampai sekarang masih bisa akses orang banyak," tuturnya seperti dilansir Kompas.com.
Idham kemudian menjelaskan, sampai saat ini pihaknya belum mendapatkan data-data terkait korban pelecehan yang diduga dilakukan IM.
Pihak Meila maupun LBH Yogyakarya pun, sebutnya, tidak melaporkan kasus tersebut ke kepolisian. Padahal Polda, klaimnya telah beberapa kali mengirim surat untuk meminta data terkait dengan para korban.
"Kami juga sedang menunggu sebenarnya ada enggak sih korban-korban kekerasan seksual itu? Sampai saat ini kami belum dapat data, saya sudah mintakan juga dari pihak LBH ada enggak korban-korbannya, pihak LBH juga belum memberikan kepada kami kalau memang ada korban kekerasan seksual itu," ucapnya.
Terkait tudingan adanya kriminalisasi terhadap Meila, dia membantahnya. "Tidak ada [kriminalisasi]. Itu berdasarkan laporan kok. Ada laporannya," sambungnya seperti dikutip dari Kompas.id.
Sementara itu kepada BBC News Indonesia, IM mengaku bakal memperjuangkan laporannya di Polda DIY sampai tuntas.
Pasalnya ketika LBH Yogyakarta menggelar konferensi pers secara online pada 4 Mei 2020 dan menyebut secara jelas namanya sebagai pelaku pelecehan seksual, dirinya tidak pernah dimintai keterangan atau klarifikasi atas tuduhan dugaan kekerasan seksual tersebut.
Itu mengapa ia menyebut konferensi pers yang disampaikan oleh Meila dan LBH Yogyakarta tersebut sebagai fitnah.
Untuk menyelesaikan masalah ini serta memulihkan nama baiknya, IM pun membuat laporan ke Polda DIY.
"Saya tidak ada intensi apa pun dengan Meila, bahkan saya tidak ada niat melanjutkan kasus hukum, tapi enggak ada cara lain untuk memperbaiki nama baik saya kecuali dengan cara ini. Karena [proses hukum ini] bisa membuka semuanya apa yang terjadi," jelas IM kepada BBC News Indonesia.
IM juga bilang bahwa pada 2021 polisi pernah mengundangnya untuk melakukan mediasi bersama Meila serta LBH Yogyakarta.
Akan tetapi, sebutnya, Meila tidak hadir. Hanya Direktur LBH Yogyakarta, Julian Dwi Prasetya, dan dua orang lain yang datang.
Dalam mediasi tersebut, IM mengaku bertanya kepada Julian mengenai kasus dugaan kekerasan atau pelecehan seksual yang ditangani mereka.
"Di situ saya tanyakan kalau saya bersalah, siapa penyintasnya dan apa salah saya? Kalau saya salah, tolong kasih tahu siapa namanya, saya mau minta maaf."
"Tapi Julian bilang tidak bisa memberi tahu nama penyintasnya, padahal saat itu sudah sangat konfidensial situasinya, di ruang tertutup."
Atas dasar itulah, IM meyakini tuduhan pelecehan atau kekerasan seksual yang diarahkan padanya merupakan fitnah atau hoaks.
Pasalnya dia mengeklaim memiliki bukti adanya dugaan "editan percakapan yang diunggah oleh organisasi UII Bergerak di akun media sosialnya".
Unggahan itu, sambungnya, memuat tuduhan pelecehan seksual antara orang yang diduga korban dengan IM.
Pengacara IM, Abdul Hamid, juga menampik adanya tuduhan kriminalisasi dalam laporan kliennya kepada Meila dan LBH Yogyakarta. Sebab aduan tersebut dilakukan sejak tahun 2020.
Ia justru meminta Meila serta LBH Yogyakarta agar mengajukan upaya hukum praperadilan untuk membuktikan tudingan tersebut.
Dengan begitu perkara ini menjadi terang, termasuk dugaan pelecehan seksual yang diarahkan kepada kliennya.
"Silakan ajukan praperadilan, karena sampai saat ini tidak ada."
"Jika ada korbannya, silakan diproses hukum. Kami pro pada korban, silakan bersurat kuasa, ayo sama-sama menjunjung tinggi penyintas."

Apa hasil putusan PTUN Yogyakarta?

Dalam beberapa kesempatan Direktur LBH Yogyakarta, Julian Dwi Prasetya, mengakui Polda DIY pernah meminta data korban dugaan kekerasan seksual yang diduga dilakukan IM.
Hanya saja, Julian mengatakan tidak bisa memberikan data korban atau penyintas ke polisi lantaran "harus menjaga kerahasiaan informasi korban serta belum ada persetujuan dari mereka".
"Tapi kami sudah menunjukkan data-data tindakan kekerasan seksual ada," ucapnya seraya merujuk data yang dimaksud yakni putusan PTUN Yogyakarta nomor 17/g/2020/ptun.yk.
Aktivis perempuan berkumpul untuk mengecam aksi 14 pemuda di Bengkulu yang memperkosa seorang perempuan muda dan membunuhnya pada tahun 2016.
Putusan PTUN Yogyakarta itu terkait gugatan IM terhadap Universitas Islam Indonesia (UII) karena mencabut gelar 'Mahasiswa Berprestasi' yang diberikan kepadanya pada tahun 2015.
Pihak UII mencopot gelar tersebut pada 12 Mei 2020 melalui Surat Keputusan Rektor UII no.327/SK-REK/DPK/V/2020.
Pertimbangan UII mencabut gelar itu merujuk pada hasil kerja Tim Pendamping dan Advokasi yang dibentuk pihak rektorat tentang adanya dugaan tindakan kekerasan seksual yang dilakukan IM dalam rentang 2015-2020.