Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Akibat Proyek IKN, Warga Palu Terpapar Debu dan Tangkapan Ikan Nelayan Terganggu
23 Juni 2024 2:45 WIB
Akibat Proyek IKN, Warga Palu Terpapar Debu dan Tangkapan Ikan Nelayan Terganggu
Aktivitas tambang pasir, batu dan kerikil di Palu, Sulawesi Tengah untuk bahan material proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur diklaim membuat warga menderita penyakit pernapasan dan tangkapan ikan di perairan sekitar kini jauh berkurang.
Penambangan bebatuan dan pasir untuk kebutuhan IKN di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur – yang hanya dipisahkan oleh Selat Makassar – menjamur di sepanjang pesisir Kota Palu hingga Kabupaten Donggala di Sulawesi Tengah.
Sepanjang garis pantai Teluk Palu, kini ditemui banyak bukit gundul dan terpangkas sebagian akibat pengerukan yang masif. Aktivitas itu mengakibatkan polusi udara di wilayah lingkar tambang, salah satunya Kelurahan Buluri.
Debu hitam yang berterangan di permukiman warga tidak hanya mengotori bagian luar rumah, tapi juga bagian dalam rumah Bidaya - salah satu penduduk Buluri yang terdampak aktivitas tambang.
Lantai dan perabotan di dalam rumah Bidaya terkontaminasi debu. Intensitas debu yang tinggi juga memaksa Bidaya dan penduduk Buluri lainnya menghirup udara yang tidak sehat.
Imbasnya, banyak warga mengalami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
“Termasuk cucu dan anak saya terserang penyakit [ISPA].” ujar Bidaya kepada wartawan di Palu, M Taufan, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, pada awal Juni silam.
Tangisan Bidaya seketika pecah saat menceritakan awal mula cucunya terkena ISPA.
Sekitar dua bulan lalu, saat cucunya baru berusia dua minggu, tiba-tiba bocah laki-laki itu mengalami gejala demam, bersin dan batuk. Tenggorokannya juga berlendir.
Anak Bidaya yang khawatir dengan kondisi balitanya, langsung membawanya ke puskesmas terdekat. Anak itu langsung menjalani pemeriksaan. Merujuk pada diagnosis dokter, cucu Bidaya divonis menderita ISPA.
“Setelah itu dikasih obat, tapi belum lama ini cucu saya sakit lagi. Dan sampai sekarang tidurnya tidak nyenyak. Kalau malam masih biasa batuk,” ungkapnya.
Rumah Bidaya yang berada di pinggir jalan Trans Sulawesi Palu-Donggala berjarak kurang lebih 500 meter dari rumah anaknya yang mengarah ke pegunungan batu – tempat material pasir, batu dan kerikil ditambang.
Tiap kali mengunjungi anak dan cucunya, Bidaya selalu mengenakan masker dua lapis agar tidak menghidup debu tebal selama perjalanan.
Rumah anak Bidaya berada dalam wilayah izin usaha pertambangan salah satu perusahaan di Buluri. Mesin pemecah batu milik perusahaan hanya berjarak sekitar 70 meter dari halaman rumah anaknya.
“Di depan sana itu mesin pemecah batu, dekat sekali dari rumah. Makanya debunya banyak kemari. Karena debu ini semua sudah cucu saya terkena ISPA,” ujar Bidaya ketika ditemui di rumah anaknya.
Terlihat rumah, pagar, hingga tumbuhan di sekitar permukiman warga sekitar dipenuhi debu. Sementara polusi udara yang parah membuat udara di lingkungan rumah tersebut tak nyaman untuk dihirup.
Kala itu siang terik, suhu panas terasa menyengat ke kulit. Meski angin berembus kencang, terpaan angin tak mampu menghalau sengatan Matahari di ubun-ubun kepala.
Bidaya adalah satu dari warga Buluri yang hingga saat ini terus berjuang menuntut perusahaan tambang bebatuan (Galian C) yang beroperasi memproduksi pasir, batu, dan kerikil (sirtukil) di lingkungan mereka untuk menghentikan aktivitasnya.
Pada akhir Mei silam, Bidaya dan sejumlah warga Buluri yang lain menggelar unjuk rasa memprotes aktivitas tambang yang kian masif memasok bebatuan ke IKN dan diklaim berdampak buruk bagi lingkungan, kesehatan dan ekonomi warga sekitar.
‘Tiba-tiba batuk, keluar darah dari mulutnya’
Sebelum ISPA menyerang cucunya, anak Bidaya, Amil Safar, telah lebih dulu merasakan dampak buruk polusi udara tambang galian C di Buluri.
Putra bungsu Bidaya yang berumur 25 tahun itu sudah dua tahun bekerja di salah satu perusahaan tambang sebagai pencatat material yang diangkut truk dari lokasi tambang ke kapal tongkang yang bersandar di dermaga.
Namun, sesekali anaknya diperbantukan dengan beberapa karyawan lain di divisi berbeda.
“Waktu itu baru satu tahun Amil kerja, dia mengeluh sakit dadanya. Pas lagi di rumah tiba-tiba batuk, di situ sudah keluar darah dari mulutnya,” kata Bidaya.
Hasil pemeriksaan oleh dokter, Amil batuk darah karena tenggorokannya mengalami infeksi yang diduga kuat karena menghisap debu. Ketika sakit, anaknya sempat melapor ke pihak perusahaan, namun tidak ada jawaban.
“Mau tidak mau, kami obati sendiri anak kami tanpa keterlibatan perusahaan.”
Setelah ke dokter dan rutin mengonsumsi obat kurang lebih seminggu, Amil akhirnya sembuh. Sesaat setelah gejala penyakitnya mereda, Amil memilih kembali bekerja.
“Saya tidak bisa berbuat apa-apa, Amil tulang punggung kami di rumah ini. Jadi, saya biarkan anak saya kembali bekerja di perusahaan, meski memang saya tahu kesehatannya terancam,” ungkapnya.
Gaji sebesar Rp3 juta yang diterima Amir, digunakan setengahnya untuk membayar cicilan motor. Sementara, sisanya digunakan untuk membeli kebutuhan rumah tangga.
"Kalau Amil berhenti kerja, kami mau dapat uang dari mana untuk hidup?” paparnya.
Pengukuran kualitas udara yang dilakukan Kantor Stasiun Pemantau Atmosfer Global (SPAG) Lore Lindu Bariri, Poso, pada Rabu (01/05) menunjukkan peningkatan partikel debu halus PM2,5 atau yang berukuran lebih kecil dari 2,5 mikrometer dengan nilai 69 µgram/m3 atau masuk kategori “tidak sehat”.
“Nilai itu didapat dari pemantauan yang dilakukan pada pukul 14.48 – 14.58 WITA. Nilai PM2,5 itu jauh lebih tinggi dari nilai ambang normal bagi kesehatan yakni 15 µgram/m3,” kata Kepala SPAG Lore Lindu Bariri, Asep Firman Ilahi.
Menurutnya, peningkatan partikel juga terjadi pada PM10 dengan nilai 46 µgram/m3. Nilai itu meski disebut masih dalam kategori baik namun nilainya lebih tinggi dibanding hari-hari biasa. Nilai ambang batas PM10 adalah 40 µgram/m3.
Efek jangka pendek akibat PM2.5 yang diambang batas bisa memicu penyakit jantung, paru-paru, bronkitis, ISPA, dan serangan asma. Bayi, anak-anak, dan orang dewasa yang lebih tua rentan terhadap dampak tersebut.
“Sedangkan dampak kesehatan jangka pendek dari PM10 dapat memicu gangguan pernapasan seperti ISPA, asma dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK),” ungkap Asep.
ISPA adalah suatu peradangan akut pada saluran pernafasan atas dan bawah yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme atau bakteri, virus, dan rakitis, tanpa atau disertai radang parenkim paru.
Dokter Spesialis Paru dari Divisi Paru Kerja dan Lingkungan Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI - Pusat Respirasi Nasional RS Persahabatan Jakarta, dr Efriadi Ismail, Sp.P (K), mengatakan polusi udara sangat berdampak pada kesehatan manusia.
Pencemaran udara akibat pengolahan atau hasil industri pertambangan bebatuan misalnya, menurut Efriadi, akan memberikan dampak negatif terhadap paru-paru pekerja dan masyarakat sekitar wilayah pertambangan.
Penyakit pernafasan yang umumnya timbul akibat paparan partikel debu yaitu menurunnya kualitas udara sampai pada tingkat yang membahayakan kesehatan dan pada akhirnya berujung pada meningkatnya gangguan penyakit pernafasan seperti ISPA.
Partikel debu halus berupa PM2,5 atau partikel yang lebih kecil yaitu ultrafine particle, sangat mudah masuk ke saluran pernapasan.
“Jika yang terhirup sangat banyak dan terus menerus dampak akutnya bisa menimbulkan iritasi atau peradangan saluran pernapasan mulai dari hidung sampai saluran pernapasan bagian bawah,” ungkapnya.
Tidak hanya itu, partikel debu halus sering disertai virus, kuman dan bakteri bahkan jamur yang jika terhirup oleh individu rentan – seperti bayi, balita, ibu hamil dan lanjut usia, serta mereka yang memiliki riwayat penyakit pernapasan bawaan – bisa mengalami gejala ISPA.
“Jadi balita, pekerja tambang, dan warga sekitar sangat mungkin menderita ISPA karena pajanan debu tersebut. Dan hal ini harus jadi perhatian perusahaan tambang, pemerintah setempat, serta instansi yang terkait untuk membuat bagaimana pajanan polusi terkait debu ini bisa diminimalisisr,” pungkas Efriadi.
'Tidak bisa langsung menyimpulkan ISPA karena debu tambang’
Data otoritas kesehatan setempat menyebutkan penderita ISPA di tiga kelurahan lingkar tambang, yakni Kelurahan Buluri, Kelurahan Tipo, dan Kelurahan Watusampu, mengalami kenaikan.
Berdasarkan data Januari 2024 hingga April 2024 total ada 461 orang menderita ISPA di wilayah lingkar tambang, terdiri dari 164 orang di Buluri, 170 orang di Tipo, dan 127 irang di Watusampu.
Pada periode yang sama tahun sebelumnya, hanya ada 171 orang pasien ISPA, terdiri dari 50 orang di Buluri, 67 orang di Tipo dan 54 orang di Watusampu.
Artinya, ada kenaikan penderita ISPA sebanyak 290 orang.
Mereka terdiri dari orang lanjut usia (di atas 60 tahun), dewasa (di bawah 60 tahun), anak-anak (usia 5-9 tahun) dan balita (0-5 tahun).
Kepala Dinas Kesehatan Palu, Rochmat J Moenawar, tidak menampik penderita ISPA di tiga kelurahan lingkar tambang, termasuk tempat Bidaya tinggal, meningkat. Namun menurutnya, belum tentu penyebab ISPA karena debu yang ditimbulkan aktivitas pertambangan galian C.
“Tidak bisa kita langsung mengatakan karena debu sehingga banyak warga terkena ISPA di sana (Tipo, Buluri, dan Watusampu). Karena di kelurahan lain banyak juga kasus ISPA,” terangnya dalam sebuah pernyataan resmi, akhir Mei silam.
Kendati debu merupakan penyebab umum ISPA, menurut Rochmat, perlu penelitian lebih lanjut untuk memastikan apakah penderita ISPA di Buluri, Tipo, dan Watusampu betul-betul disebabkan oleh debu tambang galian C yang digunakan untuk pembangunan IKN.
“ISPA memang bisa dari debu, virus, atau zat kimia, cuma kami tidak bisa langsung menyimpulkan ISPA di sana karena debu tambang. Penelitian perlu dilakukan,” ungkapnya.
Dokter spesialis paru, dr Efriadi Ismail, mengatakan gejala ISPA antara lain batuk, pilek , hidung berair, demam, nyeri dada, dan sering kali disertai sesak napas tergantung tingkat kerentanan penderitanya.
“Faktor yang mempengaruhi risiko seseorang terkena ISPA adalah faktor lingkungan, karakteristik individu, dan perilaku pekerja,” ungkapnya.
Menurut Efriadi, faktor lingkungan yang menyebabkan ISPA adalah pencemaran udara dari asap rokok, hasil industri, dan asap pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan konsentrasi tinggi. Sedangkan, faktor individu seperti usia, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan juga dapat mempengaruhi risiko kerentanan terhadap ISPA.
“Perilaku pekerja meliputi perokok dan penggunaan masker”, kata Efriadi, juga menjadi faktor penyebab seseorang menderita ISPA.
Efriadi menambahkan, ISPA merupakan penyebab utama kasus penyakit dan kematian akibat infeksi di dunia. Hampir empat juta orang meninggal akibat ISPA setiap tahunnya, 98 % di antaranya disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan bawah.
“Angka kematian yang sangat tinggi pada bayi, anak-anak dan orang lanjut usia, terutama di negara-negara dengan pendapatan per kapita rendah dan menengah,” cetusnya.
Tingginya kasus ISPA di Palu, membuat anggota DPRD Palu, Muslimun, mendesak pemerintah bertindak sebelum terjadi kasus yang fatal.
“Bukan tidak mungkin kalau ini terus dibiarkan bisa saja terjadi kasus yang fatal. Dan ratusan warga terkena ISPA itu bukan data yang main-main,” tegas Muslimun.
Tangkapan ikan berkurang
Aktivitas tambang yang masif di Buluri disebut tidak hanya berdampak pada lingkungan dan kesehatan, tapi juga merugikan mata pencaharian warga yang berprofesi sebagai nelayan.
Buluri dihuni 1.308 kepala keluarga atau sekitar 4.057 jiwa penduduk. Sebagian dari jumlah itu berprofesi sebagai nelayan. Salah satunya adalah Yongga.
Pria berusia 50 tahun itu mengaku telah menjadi nelayan sejak kecil. Sebelum kedatangan perusahaan tambang, kata Yongga, tangkapan ikan nelayan melimpah.
Namun seiring masuknya satu per satu perusahaan tambang dan masifnya aktivitas tambang galian C dalam kurun lima tahun terakhir membuat pendapatan nelayan berkurang.
“Dulu satu kali turun melaut itu bisa dapat sampai Rp1 juta. Sejak lima tahun terakhir ini turun Rp200.000, itu pun kalau lagi beruntung, kalau tidak paling sekali turun cuman dapat Rp50.000,” ungkap Yongga.
Saat ini, hanya ada sekitar 200 nelayan di Buluri, termasuk Yongga dan tiga menantunya.
Berkurangnya tangkapan ikan, menurut Yongga, karena reklamasi pantai yang dilakukan untuk pembuatan dermaga kapal tongkang pengangkut material perusahaan tambang galian C. Akibatnya, habitat ikan rusak sehingga wilayah penangkapan ikan semakin jauh ke tengah laut.
Selain itu, titik-titik pemasangan pukat yang sebelumnya dipasang nelayan rusak digilas kapal yang melintas di pesisir pantai.
Dia mengaku beberapa kali mencoba peruntungan dengan memasang pukat di pesisir pantai dekat dermaga. Namun 12 jam kemudian, tak ada satu pun ekor yang tertangkap.
“Begitu juga kalau saya bapancing jarang sekali dapat. Susah memang dapat karena sudah tidak ada habitat ikan,” sebutnya.
Apa yang dialami oleh Yongga, berbanding terbalik dengan pernyataan Presiden Joko Widodo beberapa bulan lalu yang mengeklaim pemindahan ibu kota membawa dampak ekonomi bagi Sulteng.
Saat melakukan kunjungan kerja di Donggala pada Rabu (27/03) silam, Jokowi bilang Sulteng – terutama Palu dan Donggala – adalah penyuplai bahan baku pasir, batu dan kerikil untuk pembangunan IKN.
Dia mengaku merestui usulan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi untuk pengadaan rute kapal Ro-Ro – singkatan dari Roll-on/Roll-off – dari Pelabuhan Wani, Sulawesi Tengah, menuju IKN. Pengadaan rute akan memperlancar suplai material tersebut.
"Mungkin hampir semuanya dari sini dan nilainya itu juga bukan hanya miliar tetapi sudah triliun, sehingga yang dibangun di Kalimantan Timur, yang senang Sulawesi Tengah karena hampir semua material pembangunan IKN dari Palu dan Donggala," ucap Jokowi di Donggala, Rabu (27/03).
Ketua Asosiasi Pengusaha Tambang (ASPETA) Sulteng, Kamil Badrun, tidak membantah bahwa kebanyakan pengusaha tambang di Palu dan Donggala mendapat keuntungan dari adanya pembangunan IKN.
Namun Kamil menegaskan Palu dan Donggala bukan satu-satunya pemasok material ke IKN.
“Memang bisa kita lihat dari kasat mata gunung kita sudah gundul, pesanan tinggi. Tapi ketika saya cek langsung ke sana, ternyata banyak juga material IKN dari luar Sulteng,” ujarnya.
“Material pembangunan IKN juga dipasok dari daerah lain, seperti dari Banten, Bojo Negara, Kalimantan Utara, dan Sulawesi Selatan. Jadi Palu dan Donggala bukan pemasok tunggal.”
Pendapatan asli daerah Provinsi Sulawesi Tengah saat ini mengalami kenaikan yang signifikan dari Rp900 miliar pada tahun 2022 menjadi Rp2 triliun pada tahun 2023, menurut data pemerintah daerah. Kenaikan ini salah satunya karena sektor pertambangan.
Tata lingkungan yang buruk
Merujuk data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulteng, izin pertambangan yang berstatus operasi produksi di Kota Palu berjumlah 34 izin.
Koordinator JATAM Sulteng, Moh Taufik mengatakan, aktivitas tambang galian C yang masif di Palu hingga Donggala terjadi karena pemerintah daerah banyak memberikan izin usaha pertambangan baru.
Pada 2019 lalu, kata Taufik, perusahaan tambang di Palu hanya berjumlah 20 perusahaan namun saat ini jumlahnya mencapai 34 perusahaan. Sementara di Donggala, dari 33 perusahaan kini bertambah menjadi 54 perusahaan.
“Semua perusahaan itu berstatus operasi produksi. Makanya tidak heran kita lihat aktivitas mereka begitu masif,” ungkapnya.
Taufik menyebutkan, hampir semua perusahaan tersebut menyuplai hasil tambangnya untuk material pembangunan IKN di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
“Karena IKN digenjot, warga Palu yang menderita. Lingkungan rusak, kesehatan rusak, dan ekonomi rusak. Semuanya rusak karena aktivitas tambang,” ujarnya.
Kini, pegunungan yang gundul akibat eksploitasi besar-besaran perusahaan tambang menjadi pemandangan yang mencolok sepanjang jalan poros Trans Sulawesi Palu-Donggala.
“Gunung-gunung yang diambil batunya itu bisa saja menjadi pemicu banjir dan tanah longsor, karena sudah tidak ada ekosistem seperti hutan lokal yang menghalau. Kalau itu terjadi, pasti masyarakat yang bermukim di lingkar tambang juga yang terdampak,” paparnya.
Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulteng, Wandi, mengatakan pengelolaan pertambangan yang tidak memperhatikan tata lingkungan yang baik, terbukti merusak lingkungan dan menyebabkan polusi udara.
Apa yang terjadi di Buluri, menurut Wandi, adalah akibat tata lingkungan yang buruk oleh perusahaan tambang, sehingga debu dari tambangan bebatuan mereka beterbangan ke pemukiman dan lingkungan sekitar.
“Dan aktivitas tambang itu salah satu penyumbang terbesar polusi udara hingga ke sejumlah wilayah Palu. Kini produksi debunya semakin hari semakin parah karena banyak perusahaan yang beroperasi,” ungkap Wandi.
Apa tanggapan pemerintah dan perusahaan tambang?
Menanggapi tuntutan pegiat lingkungan, pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinas ESDM Sulteng, Eddy Lesnusa, menegaskan pihaknya tidak segan mencabut izin ketika perusahaan tambang bebatuan tidak mengikuti aturan yang berlaku.
“Investasi tentu perlu berjalan, namun investornya (perusahaan) juga harus taati aturan main. Intinya jangan merusak lingkungan dan merugikan masyarakat,” tegas Eddy.
Sementara, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Palu, Moh Arif, mengungkapkan pemerintah daerah dan perusahaan tambang telah menyepakati sejumlah poin untuk penanganan polusi udara dan kerusakan lingkungan di Palu dan Donggala.
Kesepakatan itu antara lain, perusahaan wajib menyiram area produksi dan jalur pengangkutan material guna meminimalisir paparan debu, sebelum melakukan kegiatan produksi perusahaan wajib menyiram lebih dulu areal yang akan dikeruk selama 30 hari ke depan.
Selain itu, perusahaan juga wajib memasang sprinkler atau alat penyiram air otomatis yang biasanya digunakan untuk memadamkan api.
“Kesepakatan itu juga termasuk perusahaan wajib menyiram dan membersihkan jalan di wilayah pemukiman lingkar tambang tiga kali sehari,” ungkapnya.
Tidak sampai di situ, menurut Arif, perusahaan juga memiliki kewajiban melakukan penataan kembali proses angkut material yang melintas di jalan protokol, termasuk menyampaikan laporan pemantauan lingkungan maupun laporan pengendalian pencemaran air, udara, dan limbah B3 secara periodik kepada pemerintah daerah.
“Kesepakatan lainnya juga perusahaan harus melakukan kegiatan penghijauan di sekitar kawasan tambangnya dan penuh pengawasan dari ASPETA,” katanya.
Ketua Asosiasi Pengusaha Tambang (ASPETA) Sulteng, Kamil Badrun, menegaskan seluruh perusahaan tambang yang beraktivitas di Palu dan Donggala berkomitmen mengelola pertambangan mereka dengan skema ramah lingkungan.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk memenimalisir debu akibat aktivitas pertambangan adalah dengan melakukan penyiraman secara rutin, baik di lokasi cruiser (mesin pemecah batu), di area jalan tambang dan jalan pelintasan antara lokasi tambang dan dermaga.
“Itu harus dilakukan penyiraman secara rutin minimal tiga kali sehari," tegasnya.
"Kemudian dilakukan lagi untuk membersihkan material terutama debu dan kerikil yang terhampar atau tercecer di jalanan. Sehingga debunya tidak menjadi polusi udara yang mengganggu masyarakat sekitar dan pengguna jalan,” ujarnya kemudian.
Seluruh perusahaan juga bersepakat ke depan melakukan pemeriksaan rutin terhadap kesehatan warga utamanya terkait ISPA, kata Kamil. Selain itu, perusahaan juga sepakat memulihkan kembali lingkungan yang rusak dengan program penghijauan.
Reportase oleh wartawan di Palu, M. Taufan.