Konten Media Partner

‘Aku Hampir Mati Perjuangkan Tanah Ini, Sekarang Tidak akan Takut' – Perempuan Desa Ria-Ria Melawan di Food Estate Sumatra Utara

4 Oktober 2024 8:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

‘Aku Hampir Mati Perjuangkan Tanah Ini, Sekarang Tidak akan Takut' – Perempuan Desa Ria-Ria Melawan di Food Estate Sumatra Utara

‘Aku Hampir Mati Perjuangkan Tanah Ini, Sekarang Tidak akan Takut' – Perempuan Desa Ria-Ria Melawan di Food Estate Sumatra Utara
zoom-in-whitePerbesar
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Empat dekade lalu, perempuan adat Desa Ria-Ria di Humbang Hasundutan, Sumatra Utara, berhasil memperjuangkan hak atas tanah leluhurnya saat para pria bersembunyi di hutan. Semangat perjuangan ini tumbuh lagi tatkala lahan mereka disebut ‘dirampas secara halus’ untuk program Food Estate.
“Pakai beha lah kamu! Pakai rok!” teriak Sumihar Lubis sembari menunjuk sejumlah polisi lelaki yang berjaga di hadapannya.
Di belakang Sumihar berdiri ratusan warga Desa Ria-Ria, teman-teman seperjuangannya dalam demonstrasi pada 28 Agustus lalu untuk menolak program Food Estate.
Sumihar tak benar-benar menyuruh aparat mengenakan pakaian dalam perempuan.
Ia mengaku hanya menirukan perkataan Bupati Humbang Hasundutan, Dosmar Banjarnahor, kepada sejumlah pejabat pria dari desanya yang menuntut penyelesaian konflik lahan akibat Food Estate pada Agustus lalu.
Sejak program lumbung pangan itu masuk Desa Ria-Ria pada 2020, berbagai permasalahan muncul, mulai dari soal sertifikat, gagal panen, hingga konflik lahan. Warga pun terus menyerukan protes.
Dalam hampir semua demonstrasi, perempuan adat Ria-Ria berada di garis depan, serupa dengan yang terjadi sekitar 45 tahun silam.
Pada medio 1970-an, desa ini sempat tenar karena aksi perempuan adat yang disebut-sebut sebagai salah satu yang terbesar sepanjang sejarah Sumatra Utara.
Desa Ria-Ria memang terletak di daerah terpencil, sekitar 200 kilometer dari ibu kota Sumatra Utara, Medan. Namun, kisah perjuangan perempuan adat Ria-Ria saat itu dapat menggegerkan pemerintahan Soeharto.
Sumihar adalah satu di antara ratusan perempuan yang memperjuangkan tanah adat Desa Ria-Ria kala itu.
“Apa yang sudah kami perjuangkan waktu itu, sekarang mau direbut lagi karena Food Estate. Kami tidak mau,” kata Sumihar.
Di depan para polisi, Sumihar pun kembali berteriak, “Sudah panjang perjuanganku tahun 1979. Jangan jadi sia-sia!”

Jejak perlawanan empat dekade silam

Pertengahan 1979, penjara Dolok Sanggul di Sumatra Utara kacau balau.
Sebanyak 11 perempuan, satu di antara mereka sedang hamil, ditahan dan diinterogasi oleh penyidik.
“Teman kami diangkat, dilemparkan ke dalam bak yang banyak lintah. Sudah mau pingsan orang itu, diangkat rambutnya ke atas, direndam lagi. Sampai banyak lintah [di badannya]. Ngeri,” kata Sumihar.
Di sudut lain ruang pemeriksaan, Peterina Situmorang hanya bisa meringkuk dan menangis sembari memeluk bayinya.
“Kalau memang harus mati karena tanah adat ini, mati saja kami, Tuhan,” kata Peterina saat ditemui pada Mei lalu, mengenang perjuangannya itu.
Hari-hari itu, kisah perlawanan para perempuan Ria-Ria ini menjadi tajuk berita berbagai media nasional.
Dalam laporan Majalah Tempo terbitan 11 Agustus 1979, tim khusus Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), lembaga keamanan pemerintah di era Orde Baru yang diperintahkan menyelesaikan kasus ini, menampik tindak kekerasan oleh aparat.
Penangkapan ini menjadi sorotan karena merupakan buntut dari konflik lahan berkepanjangan antara pemerintahan Soeharto dan warga Desa Ria-Ria.
Saat itu, desa yang juga sering disebut sebagai Desa Siria-Ria itu masih masuk ke Kabupaten Tapanuli Utara, sebelum pemekaran pada 2003.
Konflik tersebut bermula pada 1963, ketika Dinas Kehutanan meminta sebagian tanah masyarakat untuk dijadikan area reboisasi.
Merujuk pada laporan Majalah Tempo pada 11 Agustus 1979, warga Desa Ria-Ria, Parsingguran, dan Pollung saat itu sepakat dengan Dinas Kehutanan.
Namun, menurut penuturan Sumihar, kesepakatan itu hanya antara beberapa orang, tanpa persetujuan mayoritas warga.
Warga pun kaget ketika pada 1971, Dinas Kehutanan menetapkan lahan tambahan seluas 794 hektare untuk perluasan area reboisasi di Desa Ria-Ria, padahal masyarakat sudah sejak lama berkebun kopi di tanah ini.
Tanpa persetujuan warga, Dinas Kehutanan tiba-tiba menanam pohon pinus di sekitar perkebunan kopi itu. Sebagai tanda protes, para ibu mencabuti pinus-pinus itu.
Kejadian ini terus berulang. Pinus ditanam di siang hari, malam harinya dicabuti warga.
Pemerintah lantas mencari para pria untuk diinterogasi. Keadaan berubah mencekam.
Tak ada lagi pria yang berani berkeliaran. Banyak yang kemudian kabur sembunyi ke hutan, meninggalkan anak dan istrinya di desa.
Sejak itulah, para perempuan menjadi tonggak perjuangan untuk mempertahankan tanah adat mereka.
Dalam salah satu aksinya, sekitar 200 perempuan bahkan berjalan kaki sejauh 60 kilometer dari Dolok Sanggul ke Tarutung untuk menuntut haknya.
“Kantor koramil dan kantor camat Dolok Sanggul pun kami rusak dulu,” kata Sumihar.
Kisah perjuangan ini sampai ke telinga para pemimpin pemerintahan pusat di Jakarta. Mereka kemudian mengirimkan sejumlah utusannya untuk berdialog dengan warga Ria-Ria.
Hasilnya, pemerintah melalui Surat Keputusan (SK) Bupati Tapanuli Utara Nomor 138/Kpts/1979 mengakui tanah adat Ria-Ria atas area Sigende, Parandalimanan, Parhutaan, Adian Padang, dan Sipiuan seluas 794,6 hektare.
Catatan penangkapan dan upaya perdamaian ini terekam lengkap di Laporan Khusus Tentang Penyelesaian Masalah Tanah Ria-Ria Kecamatan Dolok Sanggul yang disusun bupati Tapanuli Utara saat itu, S. Sagala.
Berdasarkan salinan laporan khusus bupati yang dilihat BBC News Indonesia, warga yang ditahan akhirnya dibebaskan.
Warga Desa Ria-Ria lantas bisa hidup tenang, bertani kopi, andaliman, dan kemenyan.
Namun ketenangan itu terusik berpuluh tahun kemudian.
Pada Juni 2020, untuk mengatasi ancaman krisis pangan, Presiden Joko Widodo menyampaikan arahan pengembangan program Food Estate di lima provinsi, salah satunya Sumatra Utara.
Desa Ria-Ria dipilih sebagai area percontohan pertama program lumbung pangan di provinsi itu.

‘Janji manis’ lumbung pangan

Pada 27 Oktober 2020, Presiden Joko Widodo berdiri di balik podium Stadion Simangoransang, Sumatra Utara, sembari mengacungkan selembar kertas.
“Apa gunanya sertifikat? Kalau kita sudah pegang ini, hak hukum kita atas tanah itu menjadi jelas,” ujar Jokowi, seperti dikutip dari situs resmi Kementerian Sekretariat Negara.
Hari itu, Jokowi menyerahkan lebih dari 22.000 sertifikat tanah untuk warga Sumatra Utara. Sebanyak 87 sertifikat diberikan kepada pemilik lahan yang bakal jadi kawasan lumbung pangan di Desa Ria-Ria.
Berpuluh tahun mengalami konflik lahan, perkataan Jokowi itu tentu sangat berarti bagi warga Desa Ria-Ria.
Mereka memang sudah mengantongi pengakuan wilayah mereka sebagai tanah adat.  Namun, SK yang diterbitkan pada 1979 silam itu tidak memberikan kepastian kepemilikan tanah bagi tiap-tiap orang.
Alhasil, warga hanya mengandalkan asas “tahu sama tahu” batas lahan masing-masing. Dengan sertifikat ini, warga Desa Ria-Ria bisa mendapatkan kepastian kepemilikan lahan mereka.
“Ini [sertifikat] bisa ‘disekolahkan’ ke bank kalau ingin dipakai untuk modal kerja usaha,” kata Jokowi lagi.
Kalimat ini kembali membawa keriaan bagi warga Ria-Ria yang ekonominya morat-marit karena pandemi Covid-19.
Nyaris setahun berselang, warga diajak sosialisasi sertifikasi tanah tahap kedua. Saat itu, pengelolaan Food Estate Sumatra Utara sudah diserahkan ke Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (Kemenko Marves).
Berbeda dari proses pembagian sertifikat tanah di tahap pertama, kali ini warga diminta menandatangani surat pernyataan sebagai syarat sertifikasi.
Dalam surat pernyataan yang dilihat oleh BBC News Indonesia, terdapat empat butir kesepakatan.
Pertama, bahwa mereka bersedia mengikuti program Food Estate melalui pola kemitraan dengan investor.
Kedua, tidak akan mengalihkan kepemilikan tanah tersebut kepada pihak lain jika sudah disertifikatkan, kecuali kepada ahli waris yang sah.
Ketiga, tidak akan mengalihfungsikan tanah menjadi untuk kegiatan non-pertanian. Terakhir, akan tetap mempertahankan penggunaan tanah untuk kegiatan Food Estate.
Para aktivis menganggap butir-butir pernyataan yang bersifat mengikat, isinya ditentukan sepihak, dan tak ada batasan waktu jelas semacam ini “membuat warga tak memegang kendali penuh atas tanahnya”.
Sintia Agustina Simbolon, peneliti dari Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), mengeklaim praktik ini sebagai perampasan lahan.
“Model perampasan lahan yang sangat halus, berbeda dengan perampasan lahan yang pernah terjadi di Desa Ria-Ria pada tahun 70-an,” tulis Sintia dalam buku Mangan Sian Tano Ni Ompung: Food Estate versus Kedaulatan Petani yang terbit pada September 2021.

Sertifikat ‘terikat’ Serita

Lahan untuk Food Estate. Tidak boleh dialihfungsikan. Tidak bisa dialihkan kecuali kepada pihak yang memenuhi syarat.
Mata Serita Siregar tak bisa lepas dari tulisan yang tertera pada sertifikat tanah keluarganya itu.
Mereka sudah menerima sertifikat itu menjelang tahap kedua program Food Estate pada September 2021, tapi Serita baru benar-benar menyadari keberadaan tulisan itu saat berbincang dengan BBC News Indonesia pada Mei lalu.
"Ini enggak sesuai dengan omongan orang BPN (Badan Pertanahan Nasional) waktu itu,” kata Serita dengan suara bergetar.
Pada awal proses sertifikasi, kata Serita, BPN memang menyodorkan surat pernyataan berisi empat poin untuk ditandatangani warga.
Keluarga Serita dan sejumlah warga Ria-Ria lainnya mengaku awalnya enggan membubuhkan tanda tangan di surat pernyataan itu.
Mereka keberatan dengan hampir tiap poin, tapi yang paling membuat mereka geram adalah keterangan tanah tak bisa dialihkan/dijual ke pihak lain.
“Seandainya anak kami mau sekolah atau menikah, atau orang tua sakit, cuma [tanah] itu yang kami harapkan [untuk dijual],” ucap Serita.
Namun, Serita dan sejumlah warga Ria-Ria akhirnya mau membubuhkan tanda tangan setelah BPN meyakinkan mereka bahwa isi surat itu sebenarnya untuk melindungi rakyat dari mafia tanah.
Kesan yang ditangkap Serita waktu itu, berarti pernyataan di dalam surat tersebut tidak berlaku mutlak.
Beberapa bulan berselang, Serita ingin menjual sebagian tanah yang disertifikatkan itu kepada kerabatnya. Hasil penjualan ini nantinya bakal dipakai untuk modal penggarapan lahan pertaniannya.
Karena yang dijual hanya sebagian, maka Serita harus terlebih dulu memecah sertifikat itu. Pergilah ia ke kantor BPN Humbang Hasundutan pada Agustus 2023.
Awalnya, Serita masih bersemangat. Namun, hari dan bulan berganti, proses pemecahan sertifikat tak kunjung rampung.
Suatu kali, kata Serita, BPN menanyakan alasan keluarganya mau menjual tanahnya, padahal lahan itu berada di kawasan Food Estate.
Setelah dijelaskan bahwa pembeli masih punya hubungan darah, Serita berkata BPN kemudian meminta calon pembeli menandatangani surat pernyataan bahwa lahan itu akan tetap dipakai untuk Food Estate.
Pemecahan sertifikat itu akhirnya baru rampung pada 20 Mei 2024, hampir setahun setelah Serita mengajukan permohonan.
“Jadi [lebih] rumit dari proses mengurus sertifikat yang biasa, padahal itu tanah sendiri,” ujar Serita dengan nada tinggi.
BBC News Indonesia telah menghubungi BPN Humbahas untuk meminta penjelasan mengenai keterangan di dalam sertifikat ini, tapi mereka enggan menjawab.
"Silakan dikoordinasikan ke pihak Marves karena pihak Marves adalah penanggung jawab kegiatan Food Estate," demikian pernyataan BPN Humbahas melalui pesan singkat.
BBC News Indonesia sudah mengajukan permintaan wawancara ke Van Basten Panjaitan, Manajer Tim Transisi Food Estate dari Kemenko Marves, tapi tak ada respons.
Dari pengalaman ini, Serita baru menyadari bahwa pernyataan yang ia tanda tangani sebagai persyaratan pembuatan sertifikat itu memang berlaku mutlak.
Ia pun khawatir ketika mengingat poin lain dalam surat pernyataan itu, terutama bagian “mempertahankan penggunaan tanah untuk kegiatan Food Estate”.
Secara keseluruhan, keluarga Serita memiliki total 12,5 hektare lahan di kawasan Food Estate.
Kini, mereka menanami 1 hektare di antaranya dengan ubi jalar, padahal komoditas utama yang seharusnya dikembangkan di lahan Food Estate adalah kentang, bawang merah, dan bawang putih.
“Sebenarnya kami butuh perlindungan atau [keterangan] lebih jelas mengenai hal ini [poin-poin dalam surat pernyataan]. Ke siapa lah kami minta tolong? Kami takut. Kalau terjadi sesuatu, siapa yang melindungi kami?” kata Serita.
"Kita petani Food Estate, kita berada di genggaman mereka, masalah lahan ini, masalah Food Estate ini."
Keluarga Serita dan sejumlah warga Desa Ria-Ria lainnya sudah lama tak mengikuti arahan program lumbung pangan karena berbagai masalah, mulai dari sistem pengerjaan terburu-buru hingga kerugian besar selama proses pengerjaan.

Program ‘begu-begu

Saat panen perdana pada 23 Maret 2021, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan, datang ke lahan Food Estate di Desa Ria-Ria dan mengumumkan “hasil panen yang memuaskan”.
Siaran pers Kementerian Pertanian menyebut panen kentang saat itu mencapai 15 ton per hektare, serta bawang merah dan bawang putih masing-masing 5,8 ton per hektare.
Mereka mengeklaim hasil itu mencapai “75 persen rata-rata dengan produktivitas nasional”.
Namun, kisah sukses panen pertama versi pemerintah ini bertolak belakang dengan cerita sejumlah petani di lapangan.
Saat BBC News Indonesia berkunjung ke lokasi Food Estate pada Mei, kawasan itu sepi. Tak jarang terlihat lahan tidur dan kering.
Tampak petani bekerja di beberapa lahan, tapi ketika dihampiri, mereka mengaku menanam atas inisiatif sendiri, tidak ikut program Food Estate.
Hanya segelintir petani yang masih mengikuti program Food Estate bekerja sama dengan mitra pemerintah, seperti Kantor Dagang Taiwan (TETO).
Menurut riset KSPPM pada awal tahun ini, 80 persen lahan di area Food Estate sudah kosong. Riset itu menyebut kegagalan di dua masa tanam membuat banyak petani mengaku kapok.
“Rata-rata petani rugi. Saya pun begitu. Kapok lah,” kata Serita sambil duduk di pondok peristirahatan yang ada di sebelah lahan garapannya.
Saking kesalnya, banyak warga menyebut Food Estate sebagai program “begu-begu”, yang secara harfiah berarti “hantu-hantuan” alias “abal-abal”.
Sejak awal, warga mengaku bingung karena pemerintah meminta petani menanam komoditas yang tak biasa ditumbuhkan di tanah itu, seperti kentang, bawang merah, dan bawang putih.
Proses pengerjaannya pun seperti kejar tayang, kata Serita.
Tanah mulai digarap November 2020, tapi diminta langsung panen pada Maret 2021, padahal menurut Serita, menggemburkan tanah saja butuh waktu sekitar enam bulan.
Hasil panen akhirnya tak maksimal, apalagi komoditas yang ditanam ternyata memang tidak cocok dengan tanah di Desa Ria-Ria.
Alhasil, banyak petani di Desa Ria-Ria mengalami gagal panen total.
“Jelas lah rugi. Di lahan saya itu bibitnya saja empat ton, hasilnya cuma dua ton,” ujar Serita, yang mengaku keluarganya merugi sekitar Rp15 juta di musim tanam pertama.
Tak hanya Serita, warga lain yang menyalurkan hasil taninya melalui Koperasi Unit Bersama (KUB) juga mengalami kerugian.
Koperasi bentukan Bupati Humbang Hasundutan, Dosmar Banjarnahor, itu bertugas memfasilitasi transaksi jual-beli hasil panen dari petani ke offtaker—perusahaan yang berperan sebagai investor sekaligus pembeli hasil panen.
Seharusnya, KUB membagi hasil penjualan menjadi tiga, yaitu 60 persen untuk petani, 10 persen untuk pengembangan KUB, 30 persen sisanya sebagai bekal petani untuk masa tanam selanjutnya yang dicairkan dalam bentuk bahan pertanian.
Namun, setelah petani menyerahkan hasil tani, KUB tak lagi beroperasi.
Menurut Serita, warga sudah berulang kali menanyakan ihwal KUB kepada Dosmar, tapi tak kunjung mendapat kejelasan.
Mereka juga mengatakan sudah bertanya kepada Van Basten Pandjaitan, Manajer Tim Transisi Food Estate dari Kemenko Marves, yang kini mengambil alih program lumbung pangan pemerintah di Humbahas. Namun, lanjut Serita, tidak ada respons.
BBC News Indonesia telah menghubungi Dosmar dan Van Basten untuk berkomenta. Tapi sampai artikel ini diterbitkan, keduanya tidak merespons.

Terjebak kontrak, bergelimang utang

Meski sebagian petani Ria-Ria menganggap masa tanam pertama gagal total, program Food Estate di Kabupaten Humbahas tetap berlanjut.
Berdasarkan Keputusan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Nomor 19 Tahun 2023, pemerintah bekerja sama dengan tujuh perusahaan dalam pengembangan lahan Food Estate tahap kedua ini.
Saat mendampingi Komisi IV DPR RI meninjau lokasi Food Estate di Desa Ria-Ria pada Januari 2023, Dosmar Banjarnahor mengumumkan tujuh perusahaan yang bisa menjadi mitra petani tersebut.
“PT Parna Raya dengan komoditi bawang merah dan bawang putih, PT Indofood dengan komoditi kentang, PT Eden Farm dengan komoditi kentang,” ujarnya, seperti dikutip media lokal.
Melanjutkan daftar itu, Dosmar berkata, “PT Ewindo dengan komoditi kentang, PT DR dengan komoditi kentang, bawang merah dan buncis, PT BISI dengan komoditi jagung, dan PT Champ dengan komoditi kentang.”
Karena tak ada lagi modal di kantong, Serita akhirnya bermitra dengan PT East West Seed Indonesia (Ewindo), produsen benih sayuran Cap Panah Merah. Sesuai perjanjian, Ewindo hanya memberikan pinjaman bibit.
“Kata Ewindo, bibit ini bagus. Harganya bagus. Offtaker nanti bisa mereka jamin,” tutur Serita.
Namun ternyata, bibit yang diberikan Ewindo tidak cocok ditanam di lahan Serita. Panen gagal lagi, padahal keluarganya sudah keluar banyak uang untuk perawatan dan membayar upah para pekerja.
“Di situlah kami rugi banyak, sampai harus berutang. Kami meminjam ke Koperasi Usaha Rakyat (KUR). Atas nama saya Rp30 juta, atas nama bapak Rp50 juta. Rp80 juta lah total. Sampai sekarang masih mengangsur,” katanya.
Ketika keluarganya kian putus asa, datanglah Champ. Perusahaan produsen makanan cepat saji itu ingin menyewa lahan keluarga Serita untuk masa tanam selanjutnya.
Merujuk pada kontrak yang dilihat BBC News Indonesia, perusahaan makanan cepat saji itu menyewa lahan seluas 12,5 hektare milik keluarga Serita selama tiga tahun, terhitung mulai Oktober 2023.
Berdasarkan kontrak itu, Champ bakal menggunakan lahan itu untuk program percontohan dan pelatihan budi daya dengan komoditas utama kentang, beserta tanaman lainnya untuk rotasi, seperti cabai, kubis, bawang merah, dan jagung.
Namun, kata Serita, hingga kini Champ belum memulai kegiatan di lahan itu.
Sementara menunggu kepastian dari Champ, keluarga Serita menanam jagung di 0,5 hektare lahan mereka dengan modal seadanya, demi perputaran uang.
BBC News Indonesia telah meminta tanggapan Ewindo dan Champ, namun hingga artikel ini diterbitkan belum mendapat respons.
Serita bukan satu-satunya petani yang menyewakan lahan alih-alih menggarapnya sendiri. Yang ia tahu, beberapa warga Ria-Ria lain juga terpaksa menyewakan lahannya karena tak punya modal setelah gagal panen.
Kegagalan panen juga mendorong sebagian petani menggadaikan sertifikat tanah mereka ke bank untuk modal usaha. Namun karena gagal bayar, mereka kini terancam kehilangan sertifikat tanahnya.
Delima Silalahi, Direktur KSPPM, LSM yang selama beberapa tahun belakangan mengadvokasi penduduk Desa Ria-Ria, mengaku menerima laporan dari lima warga yang tanahnya terancam disita bank akibat gagal bayar.

Dugaan hutan jadi sasaran

“Sertifikat hilang, hutan hilang. Kayak sulap ini semua,” kata Indah Purba, berkelakar sembari melepas lelah usai bekerja di ladang milik Serita.
Saat ini, sejumlah warga Ria-Ria khawatir area hutan mereka akan masuk wilayah Food Estate. Indah memendam ketakutan tersendiri karena keluarganya memiliki lahan di area hutan tersebut.
Berdasarkan rancangan awal pemerintah pada 2020, kawasan Food Estate terbentang sampai ke area hutan adat Ria-Ria yang diakui dalam SK bupati pada 1979.
Namun, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan bahwa area itu merupakan hutan lindung berdasarkan SK Menhut Nomor 579 Tahun 2014.
“Jadi dipermasalahkan lah lahan kami itu, padahal menurut SK, itu tanah adat Ria-Ria,” ucap Indah.
Menurut Indah, pihak KLHK sudah beberapa kali memperingatkan dia bahwa tanah itu masuk kawasan hutan lindung, yang berarti milik pemerintah.
Namun, keluarganya tetap ngotot menanami lahan mereka di hutan itu dengan andaliman dan kemenyan.
Saat ini, keluarga Indah masih dapat menggarap lahan mereka yang berada di hutan, tapi ia khawatir tanah itu nantinya “dirampas” untuk program Food Estate.
Sementara itu, pemerintah telah mengeluarkan aturan yang memungkinkan penggunaan hutan lindung untuk kegiatan lumbung pangan.
Aturan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, serta Penggunaan Kawasan Hutan.
Aturan ini banyak dikritik aktivis lingkungan karena berpotensi melanggengkan deforestasi.
Jika benar-benar terjadi, Indah waswas pemerintah bakal langsung menjadikan tanah itu sebagai kawasan Food Estate tanpa koordinasi dengan warga, mengingat lahan tersebut masuk hutan negara berdasarkan SK Menhut.
"Kalau memang itu masih kawasan hutan lindung, tapi itu sudah masuk dalam peta Food Estate, kekhawatirannya nantinya hak kepemilikan kami gugur," kata Indah.
"Kami kan enggak terima ganti rugi, enggak terima edukasi yang maksimal tentang program Food Estate ini."
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Humbang Hasundutan, Halomoan Manullang, mengatakan saat ini pemerintah memang sedang berupaya memenuhi target yang tertera di Keputusan Menteri PPN/Bappenas Nomor 19 Tahun 2023.
Berdasarkan kepmen itu, Food Estate di Sumatra Utara seharusnya mencakup 11.759 hektare, yang 3.964 hektare di antaranya berada di Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas).
Per Juni 2023, Kementerian Pertanian menyatakan total akumulasi luas tanam Food Estate di Kabupaten Humbahas baru mencapai 482,84 hektare.
Targetnya, pada 2024 sudah ada 1.000 hektare area penanaman di Humbahas.
Pada 2024 ini, perluasan program lumbung pangan di Humbahas juga akan mencakup kawasan hutan yang dikelola secara agroforestry seluas 1.868 hektare.
Namun, Halomoan mengeklaim bahwa kawasan sengketa antara warga dan KLHK itu tidak masuk dalam proyeksi untuk memenuhi target pada tahun ini.
"Yang saya ketahui dan yang saya plot sebagai wilayah Food Estate tidak ada di hutan lindung," ucap Halomoan kepada BBC News Indonesia.
"Masih target 1.000 hektare di APL (area penggunaan lain), meliputi Desa Hutajulu, Ria-Ria, dan Parsingguran I."
Ketika ditanya lebih lanjut mengenai kemungkinan area sengketa itu masuk ke dalam target perluasan Food Estate di tahun-tahun berikutnya, Halomoan enggan menjawab.
"Masih target dulu. Untuk perluasan, belum tahu," tutur Halomoan.
BBC News Indonesia sudah mengajukan permintaan wawancara kepada Kementerian LHK untuk mengonfirmasi perkara tumpang tindih klaim ini, tapi hingga artikel ini diterbitkan tidak ada respons.

Dua desa berebut Sigende

"Kita ini sudah jatuh, tertimpa tetangga,” kelakar Serita kembali memecah tawa di pondok peristirahatan di samping ladangnya.
Konflik memanas antara Desa Ria-Ria dan Parsingguran I pada 2021, ketika pemerintah memperluas kawasan Food Estate.
Area perluasan itu mencakup lahan yang juga masuk ke dalam tanah adat Desa Ria-Ria berdasarkan SK di tahun 1979, yaitu di daerah Sigende.
Namun, pengelolaan tanah kosong di perluasan Food Estate itu diserahkan kepada desa tetangga, yaitu Desa Parsingguran I, melalui mekanisme penetapan Calon Penerima dan Calon Lokasi (CPCL).
Mekanisme ini ditempuh dengan penyampaian proposal oleh warga kepada kepala dinas pertanian kabupaten/kota, dan diteruskan kepada dinas provinsi.
“Ya, memang ada diajukan oleh warga [Desa Parsingguran I],” kata Junter Marbun, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Humbang Hasundutan, kepada wartawan Apriadi Gunawan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Pemerintah pun memulai pembangunan Jalan Usaha Tani (JUT) atas permintaan Desa Parsingguran I. Ketika BBC News Indonesia berkunjung, terlihat patok-patok batas di lahan di area itu.
“Itu katanya sudah pembagian patok-patok buat calon penerima CPCL dari desa mereka [Parsingguran I],” kata Indah sembari menunjuk ke arah tanah yang kami lewati saat berkendara di dekat ladang Serita.
Karena warga Desa Ria-Ria terus melontarkan protes, proses pembagian CPCL saat ini ditunda. Namun menurut Indah, warga Desa Parsingguran masih terus menggarap lahan di Sigende.
Karena emosi mendidih, warga Ria-Ria sudah beberapa kali melakukan aksi di area sengketa itu. Mereka mencoreti jalan dan tembok dengan tulisan-tulisan seperti, “TANAH ADAT DESA RIA-RIA”.
Pada awal Juli lalu, amarah warga Ria-Ria memuncak hingga mereka melakukan aksi lanjutan.
“Ada aksi pembakaran pondok, merusak tanaman para petani penggarap lahan di Sigende,” kata Serita.
Serita heran. Sebagai desa yang bertetangga, warga Parsingguran sebenarnya tahu betul perjuangan legendaris para perempuan Ria-Ria untuk merebut kembali tanah mereka di medio 1970-an.
Kepala Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Parsingguran I, Albert Banjarnahor, pun mengakui berdasarkan peta yang tercantum di SK tahun 1979 itu, Sigende masuk ke tanah adat Desa Ria-Ria.
Namun, ia mengeklaim bahwa berdasarkan sejarah, Sigende merupakan wilayah Desa Parsingguran I.
Menurutnya, zaman dahulu para leluhurnya menentukan batas wilayah desa berdasarkan bentang alam. Desa Parsingguran I dan Desa Ria-Ria, katanya, dibatasi Sungai Sirugi-Rugi yang membentang di antara kedua desa.
“Artinya, walaupun [SK bupati] itu merupakan dokumen negara, bisa saja kan itu diperbarui, ditinjau kembali,” katanya.
Selama ini, memang belum ada batasan kepemilikan tanah yang jelas di area tersebut. Rumah Indah Purba, kepala lembaga adat perempuan Ria-Ria, juga berada di area Sigende.
“Kalau sampai Sigende masuk Desa Parsingguran, rumah kami ini bukan lagi rumah kami,” tutur Indah.

Politik etnis bikin perjuangan kembang kempis

Hingga saat ini, proses mediasi antara Desa Ria-Ria dan Parsingguran masih terus berlanjut, dengan pendampingan dari Pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan.
Namun, proses mediasi berjalan alot. Ria-Ria ngotot mempertahankan tanah mereka sesuai SK, sementara Parsingguran terus bertahan menggarap lahan-lahan di Sigende.
Indah mengatakan bahwa pada awalnya, Ria-Ria masih ingin menyelesaikan masalah ini secara adat, apalagi warga kedua desa bertetangga ini sudah saling kawin-mawin, yang berarti terikat tali persaudaraan.
“Kami lebih banyak hula-hula kami di sana. Kalau bahasa Batak-nya bilang, lebih banyak yang kami marhula-hula daripada yang marboru, jadi kesannya [mereka] seperti, ‘Aku harus disegani,’” kata Indah.
Dalam tradisi Batak, dikenal sebutan “hula-hula” atau keluarga dari pihak istri, yang sangat dihormati sampai-sampai diperlakukan bak raja.
Ada pula sebutan pihak “boru” atau anak perempuan, yang seharusnya hormat dan tunduk pada pihak “hula-hula” keluarganya.
Delima Silalahi dari KSPPM menganggap pemerintah memanfaatkan budaya Batak ini.
“Mereka menggunakan politik etnisitas. Itu akan memperlambat proses penyelesaian masalah, penyelesaian konflik,” katanya.
Menurut Delima, pemerintah sengaja membiarkan rakyat saling menyalahkan, agar terbentuk konflik horizontal, padahal masalah itu seharusnya struktural, yaitu ketidakjelasan batas desa.
“Jadi yang tadinya konfliknya struktural ke sistem [pemerintah], diarahkan ke horizontal, sehingga negara itu lagi-lagi cuci tangannya negara terhadap persoalan-persoalan agraria di Food Estate itu,” ujar Delima.
Sementara itu, Jaulim Simanullang, Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Pemerintahan Kabupaten Humbang Hasundutan, mengatakan sudah menawarkan solusi kepada kedua desa, tapi selalu ditolak.
“Di rapat terakhir sudah kita sampaikan, kalau memang tidak mau menerima yang disampaikan pemerintah sebagai fasilitator, silakan ditempuh dengan jalur hukum,” kata Jaulim kepada wartawan Nanda Batubara yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Perempuan ujung tombak perjuangan Ria-Ria

Mardianton Lumban Gaol, bayi yang dipeluk Peterina Situmorang di sudut Penjara Dolok Sanggul puluhan tahun lalu, kini telah dewasa dan didapuk menjadi ketua Lembaga Adat Desa Ria-Ria.
“Peran perempuan dalam masyarakat itu sangat besar. Kalau dulu enggak ada ibu-ibu memperjuangkan tanah ini, bagaimana lagi?” kata Mardianton.
Menurut Mardianton, sampai sekarang pun, perempuan masih menjadi ujung tombak perjuangan Desa Ria-Ria dalam mempertahankan tanah adat mereka.
Tak lama setelah proyek Food Estate masuk ke Desa Ria-Ria, Mardianton membentuk Lembaga Perempuan Adat Desa Ria-Ria yang diketuai oleh Indah Purba. Serita Siregar ditunjuk sebagai sekretaris.
Semenjak terbentuk, mereka terus berupaya mengumpulkan kekuatan perempuan untuk mempertahankan hak atas tanah adat mereka.
Ini bukan perkara mudah. Baik Indah dan Serita mengaku kerap mendapat laporan dari warga tentang berbagai ancaman yang mereka terima.
Pada akhirnya, kata Indah, banyak pula warga yang apatis karena sudah terlampau pesimistis.
“Kita berjuang gimana pun, tidak akan menang melawan mereka. Jadi rasa apatis yang membuat akhirnya kaum muda kurang empati untuk berjuang, karena merasa enggak akan menang, akan sia-sia,” ujar Indah.
Walau demikian, Serita dan Indah terus berupaya mengajak para perempuan agar ikut berjuang. Belakangan, sudah semakin banyak perempuan yang ikut serta dalam perjuangan ini.
Delima Silalahi mengatakan bahwa sejak dulu, perempuan memang memegang peranan penting dalam gerakan memperjuangkan tanah adat.
“Gerakan-gerakan agraria, kalau kita lihat sejarah Ria-Ria, Pandumaan, Sipitahuta, di Sumatera Utara, itu perempuan yang maju di depan,” kata Delima.
“Ada personifikasi perempuan sebagai bumi, sebagai ibu bumi, sebagai ibu. Ketika tanahnya dirampas atau hutannya dirusak, yang paling melawan sebenarnya perempuan.”
Delima menggarisbawahi bahwa di adat Batak, perempuan merupakan lambang keberlanjutan, baik itu dalam segi reproduksi, mau pun menurunkan warisan kepada generasi seterusnya.
“Walaupun yang akan meneruskan ini marga dari suaminya, tapi yang paling ingin bumi ini tetap diwariskan ke generasi berikutnya adalah kaum perempuan,” katanya.
Delima mengaku tak heran bila ada upaya untuk membungkam perempuan dalam perjuangan tanah adat, dengan memanfaatkan budaya patriarki di Batak.
“Jadi budaya patriarki itu digunakan untuk memperlemah posisi perempuan ketika bicara,” ucap Delima.
Di tengah berbagai tantangan ini, Sumihar dan para perempuan adat Desa Ria-Ria masih berdiri tegak di garda depan setiap demonstrasi.
“Aku hampir mati memperjuangkan tanah kami tahun 1979. Sekarang enggak ada [rasa] takut,” ujarnya ketika berbincang dengan tim BBC News Indonesia di ruang tengah rumahnya.
Cita-citanya cuma satu: dikuburkan di atas tanah perjuangan tersebut dengan nama panggilannya sebagai nenek dari cucunya, Samuel.
Sembari membendung air mata, Sumihar tersenyum.
“Di muka [tanah itu] bikin batu nisan. Bikin tulisan, ‘Inilah perjuangan Ompu Samuel boru Lubis pada waktu tahun 1979.’ Begitu saja inginku,” katanya.