Anak-anak Gaza Sudah Terbiasa dengan Kematian dan Pengeboman

Konten Media Partner
18 Agustus 2022 13:35 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Anna Foster
Koresponden BBC untuk kawasan Timur Tengah
Layan al-Shaair tewas dalam serangan Israel ke Gaza, pekan lalu.
Hala tidak tahu bahwa bahaya akan datang ketika dia membawa anak-anaknya ke pantai. Putrinya yang berusia sembilan tahun, Layan, ingin bermain di pasir dan bersantai di tepi pantai.
Saat Hala dan keluarganya menuju pantai menumpang kendaraan umum, mereka melewati sebuah kamp militer milik kelompok militan Jihad Islam Palestina (PIJ). Saat mereka melintas, lokasi itu tengah menjadi sasaran serangan Israel.
Sebuah pecahan hasil ledakan menembus leher Layan. Dia tumbang ke lantai. Darah mengalir deras dari tubuhnya. Perawatan intensif di rumah sakit Israel selama satu pekan tidak bisa menyelamatkan nyawanya.
"Saya putus asa," kata Hala. "Saya seharusnya tegas karena saya ibu dari seorang martir, tapi perang ini sangat berdampak kepada saya dan keluarga saya. Semua ini membuat saya benci tinggal di Gaza," tuturnya.
Saat kami berbicara, Hala memegang mainan kecil. Itu adalah hadiah istimewa yang diberikan kepada putrinya seusai tampil dalam pertunjukan tari dabke Palestina.
Saya bertanya apakah dia pikir kematian Layan akan mengubah situasi di Gaza. "Tidak, karena sudah banyak yang terbunuh sebelum dia dan tidak ada perubahan," ujarnya.
"Kematian seperti ini tidak pernah mempengaruhi otoritas di sini. Seolah-olah itu adalah normal."
Setelah eskalasi saling serang antara militer Israel dan milisi Palestina, kematian terjadi di Gaza. Dalam serangan terakhir, menurut Kementerian Kesehatan Palestina, terdapat 35 warga sipil yang tewas.
Perdana Menteri Israel, Yair Lapid, mengatakan pihaknya mengambil tindakan pencegahan untuk melindungi masyarakat mereka.
"Israel tidak akan meminta maaf karena menggunakan kekerasan untuk melindungi warganya. Namun kematian warga sipil tak berdosa, terutama anak-anak, sangat memilukan," ucapnya.
Pasukan Pertahanan Israel mengatakan kekerasan itu "hancur oleh kematian [Layan] dan warga sipil mana pun".
Saya mengikuti prosesi pemakaman Layan, dari masjid hingga ke tempat pemakaman.
Kerumunan orang berlari, mengibarkan bendera dan meletuskan tembakan.
Saat tubuhnya diturunkan ke liang lahat, orang-orang mengelilingi kuburan, menyapu pasir dan tanah di atasnya dengan tangan mereka, lalu mematok nisan.
Ibu Layan al-Shaair, Hala, perang di Gaza membuat kehidupan keluarganya penuh kekhawatiran.
Kuburan kecil yang sama juga muncul di kamp pengungsi Jabalia.
Terdapat lima anak laki-laki yang sedang bermain di kuburan ketika terjadi ledakan.
Israel mengatakan ledakan itu berasal dari roket Jihad Islam Palestina yang gagal meluncur. Tapi kelompok militan menyalahkan Israel.
Video yang beredar di media sosial menunjukkan akibat yang mengerikan dari ledakan tersebut.
Tubuh anak laki-laki yang tak bernyawa itu diangkat dan dibawa ke rumah sakit.
Keputusasaan merundung seluruh keluarganya, tak yakin entah bagaimana dia bisa selamat.
Korban lain dalam serangan itu adalah Mohammed, yang baru berusia 17 tahun. Semasa hidupnya, dia ingin menjadi polisi, kata ibunya.
"Mereka hanya anak-anak yang bermain. Tiba-tiba, kami mendengar ledakan.
Ayahnya berlari ke tempat kejadian dan membawa putra mereka yang sudah meninggal," katanya.
"Anak-anak kami terbiasa dengan pembunuhan, kematian, dan pengeboman. Mereka berbeda dengan orang lain di seluruh dunia, yang menjalani kehidupan yang baik dan pergi ke taman, bukan kuburan, untuk bermain."
Beberapa jam setelah ledakan di kuburan, sebuah video menjadi viral di TikTok. Khalil Alkahlout langsung berlari ke sana untuk memeriksa anak-anaknya sendiri.
Saat sejumlah jenazah dibaringkan di sekelilingnya, Khalil berteriak dan memukuli dadanya. Seorang teman di sebelahnya merekam kejadian itu.
"Semua ini untuk kepentingan Jihad Islam Palestina," kata Khalil. "Kenapa begitu? Karena ingin Bassem Saadi dibebaskan, tapi itu mengorbankan darah anak-anak kita."
Bassem Saadi adalah pemimpin Jihad Islam Palestina. Dia sempat ditangkap pasukan Israel di Tepi Barat beberapa hari sebelumnya. Penangkapan itu menjadi percikan eskalasi pertempuran terbaru.
Khalil Alkahlout
Video Khalil di TikTok terus-menerus ditonton dan mendapat banyak ribuan tanda suka. Kritik warga Gaza terhadap kelompok militan Jihad Islam Palestina sangat jarang terjadi.
"Orang-orang menyukai video saya karena sangat tepat," ujar Khalil.
“Video itu membuat orang-orang marah. Masyarakat tidak menginginkan perang, tidak menginginkan kematian, tidak ingin anak-anak terbunuh.
"Saya mengatakan bahwa waktu dan eskalasinya ini tidak tepat. Semua orang melihat saya di jalan-jalan dan memberi tahu saya bahwa saya telah mengungkap apa yang selama ini mereka pikirkan, hal-hal yang tidak bisa mereka katakan.
"Mereka berkata kepada saya, 'Kamu melakukan hal tepat' dan ' Bagus sekali'," ujar Khalil.
Israel memulai serangan mereka ke Gaza pada Jumat sore (12/08) pekan lalu.
Israel membuat klaim bahwa mereka menerima informasi soal rencana Jihad Islam Palestina menyerang warga sipil Israel. Dua dari pemimpin kelompok itu terbunuh dalam serangan Israel.
Sepanjang akhir pekan lalu, sekitar 1.000 roket Palestina ditembakkan ke arah Israel. Beberapa warga Israel menderita luka ringan.
Dampak dari setiap konflik ini bukan hanya kematian dan luka-luka.
Cucu perempuan Samir, Tuta, bermain dengan bonekanya di rumah keluarganya yang hancur akibat serangan Israel.
Saya memanjat masuk melalui dinding dapur Samir yang hancur untuk berbicara dengannya. Cucu perempuannya yang berusia tiga tahun, Tuta, berjalan melewati puing-puing saat kami berbicara.
Samir menggambarkan bagaimana tentara Israel memanggilnya dan menyuruhnya untuk mengumpulkan tetangganya dan pergi karena serangan akan datang.
Mereka lalu berjalan ke pantai. Di sana mereka mendengar bom jatuh dan meledak. Ketika Samir kembali, sebagian besar rumahnya telah menjadi reruntuhan.
"Kami secara psikologis tidak sehat," katanya, "Kami ingin perdamaian, bukan perang."
Samir tidak tahu bagaimana dia akan membangun kembali rumahnya. Ini adalah yang terjadi di seluruh Gaza.
Bahan bangunan sulit didapat. Impor Palestina dibatasi untuk mencegah kelompok milisi memanfaatkannya dalam serangan terhadap Israel.
Blokade darat dan laut Gaza telah diberlakukan oleh Israel dan Mesir sejak kelompok milisi Hamas merebut kendali penuh atas wilayah itu dari Otoritas Palestina dalam pertempuran internal berdarah tahun 2007.
Blokade dijatuhkan setahun setelah Hamas memenangkan pemilihan umum terakhir.
Blokade telah melumpuhkan ekonomi, tapi Israel mengatakan itu perlu untuk alasan keamanan. Artinya, dampak fisik akibat konflik kerap tidak ditangani.
PBB mengatakan lebih dari 1.700 unit rumah di Gaza rusak selama eskalasi pertempuran pekan lalu.
Bangunan tinggi yang hancur dan rata dengan tanah belum dibersihkan. Fondasi bangunan yang bengkok masih terlihat.
Bangunan lain dibersihkan tapi dibiarkan kosong dan kosong. Kecil kemungkinan bangunan yang sudah hancur ini akan dibangun kembali.
Ini adalah alasan lain mengapa warga Gaza begitu cemas setiap eskalasi baru pertempuran muncul.
Hamas menguasai Jalur Gaza. Kelompok ini ditetapkan sebagai organisasi teroris oleh AS, Inggris, dan beberapa negara lainnya.
Hamas berkata bahwa tujuan organisasi mereka adalah mengakhiri pendudukan Israel dengan segala cara, termasuk dengan angkat senjata.
Hamas memiliki banyak senjata, yang selama ini telah mereka gunakan untuk menyerang kota-kota di perbatasan Israel.
Namun kali ini Hamas tidak ikut dalam eskalasi pertempuran, walau Israel dan sebagian besar pengamat menilai segala serangan pasti melalui persetujuan mereka.
Semua roket yang ditembakkan dari Gaza berasal dari Jihad Islam Palestina, kelompok yang lebih kecil ketimbang Hamas. Mereka menguasai sejumlah peralatan tempur yang kurang canggih.
Beberapa roket kelompok ini salah sasaran bahkan jatuh di komunitas Palestina sehingga menyebabkan kematian dan korban luka.
Fakta bahwa Hamas tidak terlibat dalam pertempuran terakhir ini menunjukkan eskalasi terbaru tetap terkendali. Situasi saling serang berlangsung selama tiga hari sebelum Israel dan Jihad Islam Palestina menyepakati gencatan senjata.
Jika Hamas turut serta, banyak kalangan yakin dampaknya akan jauh lebih besar dan berpotensi memicu perang baru.
Israel mengatakan tembakan roket Jihad Islam Palestina tidak hanya mengancam warga Israel, tapi juga penduduk Gaza.
Jadi mengapa Hamas kini tidak terlibat?
"Saya pikir kita harus mengambil beberapa pelajaran dari babak baru konfrontasi ini," kata Ghazi Hamad, juru bicara kelompok itu.
“Saya pikir kami memiliki kerja sama yang baik dengan Jihad Islam dan kami telah melakukan diskusi mendalam dengan mereka. Kami harus bekerja sama sebagai faksi Palestina.
"Dengan cara ini saya pikir kami dapat mengurangi jumlah kesalahan, kami dapat mengurangi kerusakan, dan kerugian di antara orang-orang Palestina."
Saya mendesaknya menjawab bahwa serangan terhadap warga sipil Israel yang dilakukan Hamas dan penembakan roket tanpa pandang bulu ke wilayah sipil menurut Israel harus dilawan. Menargetkan warga sipil adalah kejahatan perang.
"Kami tidak melawan siapa pun, hanya pendudukan. Israel bisa menghindari korban di kalangan warga sipil, tapi jika mereka ingin membunuh seorang petempur, mereka membunuh semua orang di sekitarnya untuk membunuh kombatan itu," ujarnya.
Setelah gencatan senjata, Lapid mengatakan dia ingin berbicara langsung dengan penduduk Jalur Gaza. Dia ingin menyampaikan bahwa terdapat cara lain untuk mengatasi persoalan ini.
"Kami tahu bagaimana melindungi diri kami dari siapa pun yang mengancam kami, tetapi kami juga tahu bagaimana menyediakan pekerjaan, penghidupan, dan kehidupan yang bermartabat bagi mereka yang ingin hidup di sisi kami dalam damai," kata Lapid.
Gaza memiliki salah satu populasi termuda di dunia. Sebagian besar anak-anaknya hanya mengenal kehidupan konflik. Itu mempengaruhi seluruh hidup mereka dan mewarnai mimpi mereka.
Besan Abdalsalam akan segera lulus sebagai insinyur. Bersama dengan banyak orang lain seusianya, dia pergi ke pantai ketika hari sudah berakhir. Menyesap jus mangga saat matahari terbenam di cakrawala, dia bertanya-tanya bagaimana masa depannya akan terlihat.
"Sulit membayangkan bagaimana hidup kami jika ini berakhir. Orang-orang akan berhenti tidur dengan air mata berlinang karena kehilangan ayah, atau ibu, atau saudara perempuan. Seluruh hidup kita akan berubah," katanya.
"Mengapa kita tidak bisa melakukan seperti yang dilakukan orang di luar Gaza? Kami menonton YouTuber dan mereka senang dan melakukan hal-hal baik. Kami berharap blokade dicabut, sehingga kami bisa hidup seperti mereka," tuturnya.