Konten Media Partner

Anatomi ‘Lingkaran Konspirasi’: Cara Baru untuk Menghentikan Penyebaran Hoaks dan Klaim Palsu

1 September 2024 13:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Anatomi ‘Lingkaran Konspirasi’: Cara Baru untuk Menghentikan Penyebaran Hoaks dan Klaim Palsu

Teori konspirasi telah memicu kericuhan politik di Amerika Serikat.
zoom-in-whitePerbesar
Teori konspirasi telah memicu kericuhan politik di Amerika Serikat.
Politik Amerika Serikat penuh dengan teori konspirasi. Dan, banyak di antaranya muncul setelah percobaan pembunuhan terhadap mantan presiden Donald Trump. Untuk mengatasinya, kata peneliti Sophia Knight, kita perlu melihat konspirasisme secara berbeda.
Hanya dalam hitungan menit setelah percobaan pembunuhan terhadap Trump pada 13 Juli 2024, berbagai teori konspirasi beredar di dunia maya.
Tanpa bukti, orang-orang menyebarkan klaim bahwa insiden itu adalah hoaks, plot, dan sebagainya. Terseret dalam pusaran kampanye pilpres yang memecah belah, warganet berusaha menawarkan penjelasan untuk mengisi detail-detail yang tak terjawab mengenai kejadian tersebut.
Teori konspirasi bukan barang baru dalam politik AS. Para pengikut gerakan konspirasi politik QAnon, misalnya, tercatat ikut memicu kerusuhan di Gedung Capitol pada 6 Januari 2021. Selain itu, banyak pula yang masih meyakini sejumlah teori konspirasi terkait pembunuhan mantan presiden John F. Kennedy lebih dari 60 tahun silam.
Dari pengalaman-pengalaman tersebut, kita tahu bahwa perpecahan, perselisihan, dan disintegrasi kepercayaan yang dihasilkan teori konspirasi sungguh berdampak buruk bagi kesehatan demokrasi.
Maka, apa yang perlu kita lakukan untuk merespons peningkatan gelombang konspirasi, atau kecenderungan mengaitkan segala kejadian dengan teori konspirasi?
Yang terpenting, jawabannya bukan sekadar mencoba membuktikan bahwa para penyebar teori konspirasi itu salah. Segala usaha untuk membongkar sebuah konspirasi bisa jadi bumerang, karena ia justru dapat dilihat sebagai upaya “para elite” atau “negara bayangan” untuk menyensor kebenaran – sejalan narasi yang dibangun dalam berbagai teori konspirasi.
Dalam laporan yang dirilis lembaga riset Demos asal Inggris bersama Everything is Connected (proyek penelitian dari University of Manchester), saya dan rekan-rekan penulis lainnya berargumen bahwa langkah pertama yang harus diambil adalah mengubah cara kita memahami konspirasisme.
Teori konspirasi bukan sekadar barang aneh yang tersebar di kelompok masyarakat tertentu yang eksistensinya dilanggengkan orang-orang nyentrik penggila konspirasi. Ia juga tidak muncul begitu saja.
Justru, ia muncul dari lingkaran setan yang jadi tempat lahirnya berbagai narasi konspiratif, yang diamplifikasi dan menjadi bahan bakar pemicu pertempuran politik nan kasar. Kami menyebut dinamika ini sebagai “lingkaran konspirasi”.
Untuk mengatasi konspirasisme, kita perlu memutus lingkaran tersebut.
Banyak orang masih meyakini sejumlah teori konspirasi terkait pembunuhan mantan presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy, lebih dari 60 tahun silam.
Ada sejumlah langkah intervensi yang telah diusulkan untuk mengubah keyakinan orang-orang terhadap teori konspirasi, tapi banyak di antaranya yang tidak efektif.
Konspirasi kerap disebut “berputar spiral tanpa kontrol”. Namun, istilah ini menggambarkan sistem semrawut yang dengan cepat berubah jadi tak terkendali.
Sementara itu, apa yang disebut sebagai lingkaran konspirasi menawarkan gagasan soal sebuah sistem mandiri. Dan, di situ, bisa jadi ada harapan untuk melakukan intervensi.
Dalam laporan kami, kami mendeskripsikan lingkaran konspirasi sebagai proses membangun dan memberi umpan balik ke konspirasi itu sendiri. Ini biasanya dimulai dari sebuah “biji kebenaran”, yang menjadi sumber berkembangnya sebagian besar teori konspirasi.
Di beberapa kasus, bijinya adalah “kebenaran” harfiah. Ia merujuk ke konspirasi atau rencana rahasia yang memang benar ada, yang dirancang oleh individu atau kelompok tertentu untuk membawa dampak merugikan.
Di kasus-kasus lain, “kebenaran“-nya mengacu pada lingkungan yang penuh kebingungan, ketidakpercayaan, kerugian, dan kecurigaan yang menjadi ladang bagi tumbuh suburnya teori konspirasi.
Contohnya adalah kekacauan dan setumpuk pertanyaan yang muncul setelah percobaan pembunuhan Trump, yang kemudian melahirkan spekulasi dan memicu penyebaran cepat disinformasi.
Pada sejumlah kasus lain, mereka yang menyebarkan teori konspirasi sepenuhnya sadar bahwa pernyataan yang mereka bagikan tidak akurat secara faktual, tapi mereka mengekspresikan perasaan kebenaran lebih dalam yang mencerminkan pengalaman hidup mereka sendiri.
Ketika individu atau kelompok masyarakat tidak mampu menemukan makna atau penjelasan atas berbagai peristiwa di dalam hidup mereka sendiri dan dunia sekitar mereka, terbukalah ruang untuk penjelasan alternatif.
Dengan mencap para “penganut teori konspirasi” gila, mereka akan semakin terpinggirkan. Rasa tidak percaya dan terasingkan yang telah ada jadi kian kuat.
Lingkaran konspirasi ini lahir dari benturan dinamika teknologi, sosial, dan politik. Ia perlahan berkembang dari lingkungan yang penuh rasa tidak percaya dan curiga hingga ke perang budaya besar. Dengan lebih memahami proses ini, kita dapat mengerti dengan lebih baik pula cara melakukan intervensi.
Sejumlah teori konspirasi beredar dalam situasi penuh kebingungan dan ketidakpercayaan setelah percobaan pembunuhan mantan presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Lingkaran konspirasi berkembang dan menghasilkan umpan balik dalam tiga tahap.

1. Kemunculan

Siklus ini dimulai dengan munculnya narasi-narasi konspiratif di tingkat akar rumput, termasuk di ruang-ruang daring dan luring.
Sering kali ketika suatu kelompok merasa dimarginalkan, diabaikan atau didorong ke pinggiran, teori konspirasi dapat memberikan penjelasan atas perjuangan-perjuangan dalam hidup mereka.
Teori konspirasi menawarkan narasi untuk mengartikulasikan kebencian mereka (yang berpotensi sah) atau justifikasi atas apa yang telah mereka yakini sebelumnya.
Dalam konteks politik, tahap kemunculan dimulai saat orang-orang merasa diabaikan dan tidak mendapat layanan publik memadai.
Ini misalnya terjadi ketika para politikus terlihat tidak menghiraukan suara pemilihnya dan kala ada kebijakan baru yang terasa memberatkan atau tidak menghargai kebutuhan dan nilai-nilai suatu kelompok masyarakat.

2. Amplifikasi

Para influencer konspirasi biasanya memilih sejumlah kecil teori konspirasi anyar lalu mengamplifikasinya ke audiens lebih besar melalui media sosial arus utama dan juga alternatif.
Contoh influencer konspirasi adalah Alex Jones dan David Icke, yang telah mempelajari cara menggunakan struktur media sosial untuk membangun kerajaan konspirasi. Dari sana, mereka bisa menjual berbagai dagangan dari film dokumenter hingga bahkan suplemen nutrisi.

3. Divergensi

Tahap akhir dari siklus ini terjadi ketika teori konspirasi telah sepenuhnya masuk arus utama serta dibahas oleh tokoh-tokoh politik dan berbagai media mainstream.
Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah tokoh politik tercatat menyebarkan narasi konspiratif. Beberapa di antaranya mungkin tak sadar mereka telah menjadi bagian dari lingkaran konspirasi. Namun, sebagian lain secara oportunis menggunakan teori konspirasi untuk mendapat dukungan kelompok tertentu sehingga bisa memperkuat argumen mereka.
Setelah percobaan pembunuhan terhadap Trump, muncul banyak komentar dari media dan tokoh-tokoh politik, yang beberapa di antaranya mengulangi retorika konspirasi.
Yang paling menonjol adalah Mike Collins, anggota kongres AS dari negara bagian Georgia yang secara langsung menyalahkan Presiden Joe Biden. Dia mengatakan di media sosial, "Joe Biden yang mengirimkan perintah."
Ini merujuk komentar Biden sebelumnya soal menempatkan “Trump tepat di titik sasaran” dalam pertarungan pilpres mereka. Biden kemudian mengakui bahwa komentarnya itu adalah sebuah kesalahan.
Sejumlah influencer membangun kerajaan komersial dengan menjual barang dagangan terkait teori konspirasi yang mereka sebarkan.

Memutus lingkaran konspirasi

Setelah serangan terhadap Trump, Trump dan Biden sama-sama menyerukan persatuan dan deeskalasi retorika politik.
Untuk menjaga masyarakat demokratis, kita juga mungkin perlu memutus lingkaran konspirasi. Jika teori konspirasi terus dianggap sebagai delusi paranoid yang berputar spiral tanpa kontrol, rasa tidak percaya dan konspirasisme akan terus tumbuh.
Sebaliknya, mungkin ini saatnya untuk mengkaji secara mendalam landasan demokrasi kita. Apakah ada cara lain yang bisa diterapkan untuk mengidentifikasi dan mengatasi kekhawatiran, kebingungan, dan kebencian yang selama ini kerap mendapat penjelasannya justru dari teori konspirasi?
Anda dapat membaca artikel ini dalam versi bahasa Inggris berjudul Anatomy of a 'conspiracy loop': Do we need a new way of looking at the spread of fake claims? pada laman BBC Future.