Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
'Anda Tidak Diterima di Sini' - Perlakuan Diskriminatif Australia kepada Imigran Penyandang Disabilitas
20 Juli 2024 16:45 WIB
'Anda Tidak Diterima di Sini' - Perlakuan Diskriminatif Australia kepada Imigran Penyandang Disabilitas
Ketika Luca lahir di rumah sakit di Perth dua tahun lalu, kebahagiaan orang tuanya runtuh dengan cara yang tak pernah mereka sangka.
Luca lahir dengan diagnosis yang mengejutkan: fibrosis kistik.
Australia, yang menjadi tempat tinggal Laura Currie dan suaminya Dante selama delapan tahun, kemudian mengatakan bahwa mereka tidak bisa tinggal permanen.
Pasangan suami istri ini juga diberi tahu bahwa Luca bisa menjadi beban keuangan bagi negara.
"Saya menangis selama seminggu, saya benar-benar merasa kasihan pada Luca," ucap Currie. "Dia hanya anak berusia 2,5 tahun yang tidak berdaya dan tidak pantas didiskriminasi seperti ini."
Lantaran sepertiga penduduknya lahir di luar negeri, Australia telah lama menganggap dirinya sebagai "negara migrasi" - atau rumah multikultural bagi para imigran dengan menjanjikan kesempatan yang adil dan awal yang baru.
Gagasan itu tertanam sehingga menjadi identitas Australia. Namun kenyataannya sering kali berbeda, terutama bagi mereka yang memiliki disabilitas atau kondisi medis yang serius.
Australia adalah salah satu dari sedikit negara yang secara rutin menolak visa imigran berdasarkan kebutuhan medis mereka - khususnya jika biaya perawatan melebihi A$86.000 atau sekitar Rp940 juta selama 10 tahun.
Selandia Baru memiliki kebijakan serupa, tapi Australia jauh lebih ketat.
Kebijakan yang diskriminatif
Pemerintah Australia mendukung kebijakan itu dengan alasan untuk membatasi pengeluaran negara dan melindungi akses warga terhadap layanan kesehatan.
Karenanya pihak otoritas resmi Australia kemudian akan menyatakan bahwa visa para imigran yang punya kebutuhan medis tertentu, secara teknis tidak ditolak. Namun, pengajuan visa mereka juga tidak diterima.
Beberapa imigran bisa mengajukan keringanan, meskipun tidak semua dikabulkan. Mereka juga dapat mengajukan banding atas keputusan tersebut, tetapi prosesnya panjang dan mahal.
Para pegiat hak-hak imigran menilai hal ini sebagai bentuk diskriminasi dan tidak sejalan dengan keberpihakan kepada disabilitas.
Dan setelah bertahun-tahun berjuang, mereka berharap akan ada perubahan dalam beberapa minggu ke depan, dengan meninjau persyaratan kesehatan yang kini sedang berlangsung.
Laura Currie dan Dante Vendittelli pindah dari Skotlandia untuk urusan pekerjaan yang sangat dibutuhkan Australia.
Laura adalah guru TK dan Dante merupakan pelukis serta dekorator. Mereka telah mengajukan permohonan untuk mendapatkan status penduduk tetap atau permanen sebelum Luca lahir.
Tapi kini mereka merasa kehidupan yang tengah dibangun dan pajak yang mereka bayarkan tidak berarti apa-apa.
"Rasanya seperti kami ada untuk Anda [Australia] saat Anda membutuhkan, tetapi ketika posisinya terbalik dan kami membutuhkan Anda, rasanya seperti... tidak ada..."
Australia punya sikap yang saklek dalam membuat kebijakan migrasi yang ketat.
Negara ini juga memiliki cara sendiri dalam "menghentikan kapal-kapal imigran", yakni dengan mengirim kapal-kapal berisi imigran ke pusat penahanan lepas pantai di Papua Nugini dan Pulau Nauru, di Pasifik.
Langkah tersebut menjadi berita utama yang kontroversial dalam beberapa tahun terakhir.
Baru pada tahun 1970-an, negara ini sepenuhnya menghapus kebijakan "Australia Kulih Putih" yang dimulai pada tahun 1901 dengan lahirnya Undang-Undang Pembatasan Imigrasi di mana membatasi jumlah imigran non-kulit putih.
Diskriminasi disabilitas dan kesehatan, yang juga sudah ada sejak tahun 1901 masih berlaku, kata Jan Gothard, seorang pengacara.
"Kami masih memperlakukan orang-orang penyandang disabilitas dengan cara yang sama seperti yang kami lakukan pada tahun 1901 dan kami pikir mereka bukan orang yang diterima di Australia," ujarnya.
Jan Gothard adalah bagian dari Welcoming Disability, sebuah kelompok yang mendesak pemerintah Australia untuk merombak aturan tersebut.
Anehnya, Undang-Undang Migrasi Australia dikecualikan dari UU Diskriminasi Disabilitas.
Sederhananya, tidak peduli berapa lama Anda tinggal di Australia, apakah Anda lahir di Australia, apakah Anda memiliki asuransi kesehatan swasta, atau bahkan apakah Anda bisa membayar sendiri biaya perawatan -jika Anda dianggap terlalu membebani keuangan negara, Anda akan dinyatakan gagal memenuhi persyaratan kesehatan.
Pemerintah Australia mengatakan bahwa 99% pemohon visa memenuhi persyaratan kesehatan. Namun sebanyak 1.779 orang tidak memenuhi kualifikasi, antara tahun 2021 dan 2022, menurut angka resmi.
Menteri Imigrasi Australia, Andrew Giles, yang menolak untuk diwawancarai baru-baru ini mengatakan bahwa "setiap anak yang lahir di Australia dan terkena dampak dari peraturan kesehatan migrasi, bisa mengajukan permohonan intervensi menteri", dan dia sendiri telah "menyetujuinya" dalam kasus-kasus tertentu.
Akan tetapi, keluarga imigran mengatakan prosesnya melelahkan dan sulit.
Jalan yang penuh lika-liku untuk bisa tinggal
"Banyak sekali hal yang terjadi dalam hidup Anda ketika anak sakit, begitu banyak pergulatan dan Anda berjuang, memohon, bahkan membuat petisi dengan meminta orang membantu Anda," tutur Mehwish Qasim, yang memahami situasi sulit tersebut.
Dia dan suaminya Qasim berjuang untuk bisa tetap tinggal di Australia. Cerita tentang mereka telah menarik perhatian dunia.
Putra mereka, Shaffan, lahir pada tahun 2014 dengan kondisi genetik langka dan sumsum tulang belakang yang rusak. Ia membutuhkan perawatan sepanjang waktu.
Pasangan tersebut yang berasal dari Pakistan bermaksud berencana untuk kembali ke negaranya suatu hari nanti, tetapi kelahiran Shaffan mengubah segalanya.
Sekarang, naik pesawat sama saja mempertaruhkan nyawa Shaffan.
Akhirnya pada tahun 2022 mereka diberi tahu bahwa mereka bisa tinggal.
Selama delapan tahun itu, Qasim yang merupakan seorang akuntan, tidak bisa bekerja sesuai profesinya. Sebaliknya, dia bekerja di kafe, supermarket, dan taksi online untuk memenuhi kebutuhan.
"Mereka harus menyadari bahwa itu adalah situasi yang sangat sulit. Anda tidak seharusnya menempatkan orang dalam situasi sulit," ujar istri Qasim.
Sementara itu Currie dan suaminya juga tidak menyerah - Australia telah menjadi rumah bagi anaknya Luca dan mereka bekerja sesuai yang dibutuhkan negara tersebut.
Mereka berharap hal itu cukup untuk memenangkan banding mereka.
Jika kalah, mereka memiliki waktu 28 hari untuk meninggalkan negara tersebut.
Bagi Luca, hal yang menjadi kendala adalah bagaimana bisa mendapatkan obat mahal seperti Trikafta.
Bocah laki-laki ini belum mengonsumsinya dan ada kemungkinan tidak cocok. Tapi obat tersebut menjadi dasar penghitungan Australia dalam memberikan layanan perawatan -yakni sekitar A$1,8 juta atau Rp19 miliar.
Itu berarti biaya medisnya melebihi batas yang diizikan sebesar A$86.000 atau Rp940 juta selama 10 tahun, atau yang dikenal sebagai Ambang Batas Biaya.
Meskipun para pengamat menyambut baik kenaikan ambang batas itu baru-baru ini -dari A$51.000 menjadi A$86.000 (Rp557 juta menjadi Rp940 juta)- namun mereka menilai tidak mencerminkan biaya rata-rata.
Data pemerintah menunjukkan bahwa Australia menghabiskan setidaknya A$17.610 atau setara Rp192 juta per tahun untuk warga.
Selama periode 10 tahun -jangka waktu maksimum yang dinilai untuk permohonan visa- jumlahnya akan lebih dari A$170.000 atau Rp1,8 miliar. Jadi para pengamat mempertanyakan bagaimana pemerintah menentukan ambang batas tersebut.
Mereka juga ingin agar biaya dukungan pendidikan dihapus dari perhitungan. Hal ini berdampak pada keluarga yang anak-anaknya telah didiagnosis dengan kondisi seperti down syndrome, ADHD, dan austisme.
Rintangan inilah yang menghambat rencana Claire Day dan keluarganya untuk mengikuti jejak saudaranya yang pindah ke Australia beberapa tahun lalu.
Putri bungsunya, Darcy, yang berusia hampir 10 tahun mengidap down syndrome. Para ahli migrasi berkata, karena hal tersebut kecil kemungkinannya dia bisa mendapatkan visa.
Pada suatu sore yang mendung di Kent, dia bercerita dengan rasa sedih tentang kehidupan yang dia impikan di Australia. Dia hanya ingin lingkungan yang lebih baik untuk anak-anaknya kelak.
Sebagai seorang petugas di Kepolisian Metropolitan London selama 21 tahun, dia ingin memanfaatkan perekrutan besar-besaran oleh kepolisian Australia.
Halaman media sosial kepolisian Australia penuh dengan video promosi yang dibuat oleh mantan perwira polisi Inggris, yang memperlihatkan mereka berhasil mewujudkan mimpinya di Australia -dengan berpatroli di pantai dan bersantai di tengah deru ombak.
Orang seperti mantan perwira polisi Inggris itu hanyalah sebagian dari 30.000 orang Inggris yang pindah ke Australia tahun lalu, menurut data pemerintah.
Claire Day tidak hanya mendapatkan satu, tapi dua tawaran pekerjaan dari kepolisian Queensland dan dari Australia Selatan.
Sebagai bagian dari pekerjaannya, dia juga berhak atas visa permanen. Sekarang dia justru tidak begitu yakin.
"Saya berharap itu tidak akan menjadi masalah karena anak saya Darcy tidak memiliki masalah medis apa pun. Dia sehat, bersekolah, dan berpartisipasi di klub siswa."
Kisah-kisah seperti ini telah meyakinkan para pengamat bahwa, pada intinya kebijakan tersebut bersifat diskriminatif.
"Jika kita berkata kepada penyandang disabilitas, 'Anda tidak diterima di sini,' maka kita juga harus mengatakan hal yang sama kepada disabilitas di negara ini, 'Anda tidak diterima di sini," ujar Dr. Jan Gothard.
"[Kami bilang] Anda tahu, jika diberi kesempatan, kami lebih suka tidak menerima Anda."
Pekerja sosial, Shizleen Aishath, mengatakan dia "kaget" saat mengetahui tentang persyaratan kesehatan tersebut dan dia menyebutnya sebagai jalan yang sulit.
Sebagai mantan karyawan PBB, dia datang ke Australia untuk melanjutkan pendidikan dengan niat kembali ke Maladewa.
Namun dia harus menjalani operasi caesar darurat saat putranya Kayban lahir pada tahun 2016. Namun Kayban menderita hemofilia yang tidak terdiagnosis dan mengalami pendarahan otak yang serius.
Sekarang dia membutuhkan perawatan 24 jam dan keluarganya memilih untuk tinggal di Australia.
Hanya saja visa sementara Kayban ditolak karena dianggap terlalu membebani -meskipun keluarganya memiliki asuransi kesehatan swasta dan tidak menggunakan sumber daya negara.
Tapi selain Kayban, anggota keluarga lainnya diberikan visa.
"Disabilitas adalah satu-satunya hal yang menghentikan Anda untuk bermigrasi, tidak ada yang lain," ucap Shizleen Aishath.
Setelah banding yang panjang, Kayban diizinkan untuk tetap tinggal. Keluarganya sekarang sedang mempersiapkan perjuangan selanjutnya -yakni agar bisa tinggal di Australia tanpa batas waktu.