Apa Artinya 'Work-life Balance' bagi Pekerja Modern?

Konten Media Partner
26 April 2023 10:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Apa Artinya 'Work-life Balance' bagi Pekerja Modern?

Apa Artinya 'Work-life Balance' bagi Pekerja Modern?
zoom-in-whitePerbesar
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sekarang, para pekerja mulai mendefinisikan sendiri apa itu 'keseimbangan' kehidupan pribadi dan pekerjaan (work-life balance) — bukan perusahaan mereka.
Di tengah berbagai ketidakpastian yang dirasakan banyak pekerja pada era pandemi, ada satu hal yang jelas: lebih dari sebelumnya – dan lebih dari segalanya – orang-orang menginginkan keseimbangan kehidupan pribadi-kerja yang sehat.
Pada 2021, data dari survei terhadap lebih dari 9.000 pekerja Inggris menunjukkan 65% pencari kerja lebih memprioritaskan work-life balance daripada gaji dan tunjangan.
Hal serupa terjadi di AS: dari 4.000 responden Survei Karir FlexJobs 2022, 63% peserta mengatakan mereka akan lebih memilih keseimbangan daripada gaji yang lebih besar.
Jadi apa tepatnya makna istilah ini bagi pekerja sekarang? Definisi work-life balance telah berubah secara dramatis selama beberapa tahun terakhir, dengan berakhirnya jam kerja 9-5 yang ketat dan meningkatnya tren kerja jarak jauh atau yang biasa disebut work from home (WFH).
Ya, jadwal yang fleksibel adalah bagian utama dari cara para pekerja menentukan keseimbangan. Tapi itu baru permulaan.
Pandangan pekerja tentang keseimbangan telah meluas. Semakin banyak karyawan mengatakan bahwa gagasan tersebut juga mencakup lingkungan kerja yang sehat secara holistik yang memungkinkan dialog terbuka antara karyawan dan atasan.
Komunikasi tersebut memungkinkan pekerja untuk menangani kehidupan pribadi dalam konteks karier mereka, dan menciptakan kehidupan yang mereka inginkan.
Tidak hanya pulang kerja jam 5 sore, keseimbangan sekarang bermakna lebih luas, lebih dalam, dan lebih bernuansa – dan artinya tidak sama bagi setiap orang.

Masuk pagi, pulang petang

Gagasan tentang work-life balance awalnya muncul seiring pemberlakuan delapan jam kerja sehari secara luas pada awal abad ke-20 — sesuatu yang diperjuangkan oleh para pekerja melalui perserikatan dan pemogokan.
Setelah para pekerja memenangkan hak atas delapan jam kerja sehari, keseimbangan kehidupan pribadi dan pekerjaan – meskipun tidak secara eksplisit dilabeli demikian – biasanya didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengotak-kotakkan tugas pekerjaan dan kehidupan pribadi.
Itu adalah langkah besar – dan langkah yang tetap penting bagi gagasan sentral tentang keseimbangan yang berkembang saat ini.
Ioana Lupu, profesor akuntansi dan manajemen di Sekolah Bisnis ESSEC Paris, mengatakan para karyawan paling bahagia yang pernah ia ajak bicara adalah mereka yang berhasil "memilah-milah, memutuskan koneksi, menghentikan pekerjaan tanpa rasa bersalah".
Bagi banyak pekerja, hari-hari ketika mereka bekerja di satu tempat dan menjalani kehidupan pribadi di tempat lain sudah berakhir.
Namun bagi banyak pekerja, batasan yang rigid ini terkikis seiring kemunculan teknologi baru pada pergantian milenium. Saat internet, email, dan akhirnya smartphone diadopsi di tempat kerja, mereka tidak hanya mengubah cara karyawan melakukan pekerjaan mereka, tetapi juga bentuk dan lama hari kerja.
“Itu mulai terjadi ketika para karyawan mendapat Blackberry,” kata Lupu.
“Sebelumnya, tentu saja, Anda bisa ditelepon [di luar jam kerja], tetapi biasanya Anda tidak bisa mengakses fail pekerjaan Anda atau apa pun, jadi lebih sulit untuk membawa pekerjaan pulang ke rumah. Sekarang, orang dapat dihubungi setiap saat — selama liburan, atau selama akhir pekan bersama keluarga.”
Namun alih-alih meruntuhkan batasan rigid ini, kata Lupu, budaya perusahaan melanggengkan kerja berlebihan, dan membanggakannya seakan-akan sebuah lencana kehormatan.
“Gagasan bahwa dengan menjadi sibuk, selalu tersedia, berarti Anda adalah profesional yang sangat baik, ini menjadi seperti ideologi,” katanya.
“Kita melihat pengusaha terbaik menyombongkan diri bahwa mereka bekerja 100 jam seminggu… Ada gagasan bahwa jam kerja yang panjang menunjukkan bahwa Anda berkomitmen dan merupakan pekerja yang baik.”
Kemunculan budaya sibuk alias hustle culture ini menyebabkan de-prioritisasi keseimbangan bagi sebagian karyawan. Namun pandemi mengubah pandangan ini lagi, terutama dengan integrasi pekerjaan jarak jauh dan hybrid.
Selain memungkinkan pekerja untuk bekerja di tempat yang mereka inginkan, dan dengan lebih banyak fleksibilitas, transformasi ini juga berarti kehidupan pribadi para pekerja mencampuri kehidupan kerja mereka dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya — entah itu baik atau buruk.
Dan itu mendorong banyak pekerja untuk kembali berusaha untuk secara tegas memisahkan keduanya.
Bagi sebagian orang, kata Lupu, batas-batas yang memang sudah kabur antara pribadi dan profesional telah menjadi semakin kabur.
Sebelum pandemi, pekerja menjalani “berbagai rutinitas yang memungkinkan mereka untuk memisahkan pekerjaan dan kehidupan pribadi. Misalnya, bersepeda dalam perjalanan pulang, atau naik kereta api, dan membaca buku. Kebiasaan-kebiasaan itu membuat mereka siap untuk menjalankan peran sebagai orang tua atau suami atau apapun”.
Tapi, kata Lupu, begitu orang-orang tidak lagi commuting, dan mulai bekerja di, atau tidak jauh dari, sofa, dapur, dan kamar tidur mereka, pemisah antara kehidupan kerja dan kehidupan rumah tangga terangkat.
Akibatnya, kata Lupu, pekerja tidak lagi memaknai work-life balance sebagai keseimbangan waktu yang dihabiskan di tempat kerja dan di rumah, atau keseimbangan antara tujuan pribadi dan profesional.
Sebaliknya, mereka mulai menerima semacam integrasi antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi, yang mengakui bahwa keduanya saling terkait, dan berusaha membuat hubungan antara keduanya menjadi hubungan yang sehat.
“Ada perubahan di mana orang menyadari bahwa mereka juga bisa memprioritaskan keluarga atau kehidupan pribadi, bahkan selama jam kerja,” kata Lupu.
“Karena kalau pekerjaan bisa mengganggu kehidupan keluarga Anda – di luar waktu kerja Anda – kenapa sebaliknya tidak boleh?”
Pekerja, katanya, sekarang menginginkan fleksibilitas yang memungkinkan mereka menggabungkan jam kerja dengan kehidupan pribadi.
“Ada perubahan pola pikir, menyadari bahwa mereka bisa dan harus menyediakan lebih banyak waktu untuk diri mereka sendiri, dan menggunakan fleksibilitas ke dua arah,” katanya.
“Kenapa kita tidak punya fleksibilitas untuk kehidupan pribadi kita juga, dan merasa berhak untuk meluangkan waktu selama hari kerja untuk pergi ke kelas yoga?”

Para karyawan menentukan 'keseimbangan'

Di era baru ini, pekerja kini melihat keseimbangan sebagai kapasitas untuk menyesuaikan pekerjaan dengan daftar prioritas individu mereka sendiri — dengan kata lain, para pekerja sendirilah yang mendefinisikan apa itu 'keseimbangan', bukan perusahaan.
Kehidupan yang seimbang mengintegrasikan aspek personal dan profesional secara sehat, menyokong identitas yang mencakup karier, tetapi tidak harus berpusat padanya.
Karyawan di tempat kerja yang telah berubah karena pandemi tidak hanya mereformasi – dan memperluas – definisi keseimbangan, tetapi juga menjadikannya nilai utama mereka.
Pada sebuah survei tahun 2022 terhadap 1.120 pekerja AS oleh Forbes Health, yang menanyai para responden tentang prioritas mereka, satu-satunya yang menyaingi kestabilan finansial ialah keseimbangan pekerjaan dan kehidupan pribadi, dengan 90% menyebutnya "aspek penting dalam pekerjaan mereka".
Pekerja semakin mencari fleksibilitas dan dukungan untuk mengintegrasikan kehidupan kerja dan kehidupan pribadi mereka, karena keduanya sulit untuk dipisahkan.
Guncangan pasar tenaga kerja akibat pandemi memberdayakan banyak pekerja untuk mendorong para pemberi kerja untuk memberikan keseimbangan ini.
"Ada peningkatan jelas dalam permintaan untuk tunjangan yang menyangkut work-life balance," kata Patricia Graves, pengamat sumber daya manusia di Society for Human Resource Management (Shrm).
"Karyawan berharap pemberi kerja untuk memberi mereka semua yang mereka inginkan. Lebih banyak fleksibilitas, model kerja hibrid atau pengaturan kerja jarak jauh telah meningkat secara dramatis sejak pandemi."
Dan lebih dari fleksibilitas – yang telah terbukti meningkatkan produktivitas dan kebahagiaan – para pekerja juga menginginkan benefit lainnya yang membantu memelihara integrasi yang sehat antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.
Mereka berharap bos mereka memupuk empati dan pengakuan di lingkungan kerja, serta menawarkan akses ke sumber daya kesehatan dan kebugaran.
Satu survei yang dilakukan Qualtrics terhadap 8000 pekerja penuh waktu di Asia, misalnya, menunjukkan hampir dua-pertiga responden merasa pekerjaan mereka adalah faktor utama dalam kesehatan mental mereka.
Ya, "pekerja menginginkan kendali atas jam dan lokasi kerja mereka", kata Graves — tetapi mereka juga menginginkan "komunikasi, empati, serta fokus pada kesehatan fisik dan jiwa".
Karena para pekerja mengakui bahwa pekerjaan tidak bisa benar-benar dipisahkan dari aspek lain kehidupan mereka, mereka mencari dukungan baru dari pemberi kerja untuk kehidupan pribadi mereka.
Kebutuhan setiap pekerja individu berbeda-beda, tapi menurut Graves, beberapa permintaan terbanyak secara langsung menjadikan kehidupan pribadi mereka lebih baik — sebut saja bonus seperti perawatan hewan piaraan, tunjangan fitnes, dan perawatan anggota keluarga yang membutuhkan (dependent care).
Dukungan fertilitas juga jadi permintaan yang semakin meningkat: data dari survei oleh perusahaan fertilitas Carrot dan National Infertility Association mengungkap bahwa 59% responden melaporkan bahwa fertilitas dan formasi keluarga berdampak pada performa kerja mereka, mendukung adanya kaitan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.
Bahkan, 77% dari pekerja yang disurvei mengatakan ketersediaan dukungan fertilitas akan memengaruhi waktu kerja mereka di perusahaan, mendorong mereka untuk bertahan atau mencari pekerjaan lain yang menawarkan benefit ini.
Dalam beberapa kasus, Lupu berkata kemampuan perusahaan untuk menyediakan manfaat yang dibutuhkan setiap individu pekerja "menjadi seperti penentu kesepakatan [kerja]".

Menavigasi masa depan

Komponen kunci evolusi keseimbangan ialah betapa pentingnya manfaat-manfaat ini bagi pekerja.
"Sekarang, banyak orang yang saya ajak bicara bilang, 'Oh kalau saya tidak mendapat fleksibilitas, atau manfaat, saya akan pergi'," kata Lupu.
Keseimbangan dan fleksibilitas telah menjadi prioritas yang begitu tinggi bagi pekerja sehingga banyak dari mereka yang mengambil langkah karier berdasarkan standar-standar ini.
Itu adalah pendorong gerakan pengunduran diri massal atau Great Resignation, yang di AS saja ada lebih dari 50 juta orang yang resign pada 2022, dan hampir 48 juta pada 2021.
Data dari 2022 Work Trend Index Annual Report Microsoft menunjukkan lebih dari setengah dari jumlah pekerja Millenial dan Gen Z yang mengundurkan diri menyebut kurangnya work-life balance atau kurangnya fleksibilitas sebagai alasan.
"Di pasar kerja hari ini, banyak karyawan berhenti untuk mencari kesempatan baru yang menawarkan keseimbangan yang lebih baik," kata Graves.
"Saya pikir kita telah berevolusi ke tempat di mana para pekerja sendirilah yang mendefinisikan apa arti keseimbangan bagi mereka sebagai individu.
"Ini telah memaksa para pemberi kerja untuk menawarkan banyak manfaat yang diminta itu untuk menarik dan mempertahankan talenta."
Namun, Lupu menekankan, evolusi adalah proses yang terus berlanjut, dan meskipun work-life balance telah berubah menjadi work-life integration, ia bisa terus berubah seiring keinginan dan kebutuhan pekerja menjadi lebih terpersonalisasi, terutama saat mereka menavigasi berbagai gaya hidup dan prioritas.
Di masa depan, bahkan gagasan tentang bagaimana pekerjaan dan kehidupan pribadi berjalan beriringan juga dapat berubah.
Barangkali, kata Lupu, tidak akurat untuk menyebutnya work-life balance, atau bahkan work-life integration. "Bagi saya, ini lebih seperti work-life navigation."