Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Apa Dampak Pilpres Amerika Serikat terhadap Indonesia?
Donald Trump yang diusung Partai Republik dan Kamala Harris yang diusung Partai Demokrat saat ini tengah memperebutkan kursi presiden dalam Pilpres Amerika Serikat 2024.
Terlepas dari siapapun yang terpilih, sejumlah kebijakan Indonesia diperkirakan bakal terdampak hasil Pilpres AS 2024, mulai dari perdagangan, target penurunan emisi, hingga “potensi ketegangan geopolitik” di Laut China Selatan, menurut akademisi dan pengamat hubungan internasional.
Berikut analisis dari akademisi, pengusaha, diplomat, dan pengamat hubungan internasional mengenai dampak Pilpres AS bagi Indonesia.
Siapa yang diinginkan menang oleh ekonom dan pengusaha Indonesia?
Kalangan pengusaha Indonesia mengaku tidak memiliki ekspektasi tinggi terhadap hasil Pilpres AS.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bidang Hubungan Internasional, Shinta Kamdani, menuturkan merujuk pada rekam jejak pergantian presiden AS—siapa pun yang terpilih—tidak banyak berdampak terhadap perdagangan dan investasi antara Indonesia-AS.
“Dalam parameter pertumbuhan ekspor Indonesia ke AS dan pertumbuhan investasi AS di Indonesia selama ini tidak berubah signifikan antara era Trump dengan era Biden,” ujar Shinta kepada Nurika Manan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Kamis (04/11).
“Keduanya hanya menciptakan pertumbuhan aktivitas ekonomi bilateral secara modest, pertumbuhan kurang lebih 5% - 10% per tahun, dan konsentrasi kerja sama ekonomi pun tak banyak berubah,” kata perempuan yang juga Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).
Shinta memprediksi perbedaan yang kentara kemungkinan akan terjadi pada cara pendekatan hubungan bilateral antara Trump dengan Harris. Selebihnya, menurut Shinta, “akan relatif sama”.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengamini pendapat kalangan pengusaha.
Menurut peneliti INDEF, Andry Satrio Nugroho, pendapat tersebut berkaca pada rekam jejak beberapa tahun belakangan dan ketika Trump menjabat Presiden AS.
“Para pelaku usaha kan maunya biaya untuk ketidakpastian itu bisa ditekan. Tapi untuk kedua pasangan sih menurut saya, berkaca pada yang kemarin dan sebelum-sebelumnya, masih belum begitu besar dampaknya ke Indonesia,” kata dia.
Akan tetapi, Direktur Pusat Kajian Wilayah Amerika di Universitas Indonesia (UI), Suzie Sudarman, mengingatkan kebijakan ekonomi Indonesia sama-sama berisiko mengalami kendala, siapa pun pemenang Pilpres AS nanti.
“Kita akan terkendala dalam berdagang karena aturan Biden bahwa jangan sampai perusahaan China di Indonesia memiliki saham lebih [dari] 25%,” jelas Suzie, dengan asumsi Kamala Harris menang dan melanjutkan kebijakan perdagangan pendahulunya, Joe Biden.
“Kalau Trump sudah mengatakan, anggota BRICS akan terkendala, dalam berdagang ada tarif tinggi.”
Trump, lanjut Suzie, pernah melontarkan ancaman bakal mempersulit perdagangan dengan siapa pun yang mengecilkan nilai tukar mata uang AS.
Sementara situasi tersebut, menurutnya, kemungkinan tak akan terjadi jika Harris yang menang.
“Harris tetap menaruh perhatian pada potensi Indonesia dan akan mendisiplinkan jika memang Indonesia tidak good governance dan akuntabel,” kata dia.
Apa dampak Pilpres AS pada perdagangan Indonesia?
Andry Satrio Nugroho dari INDEF mengatakan, selama ini kebijakan ekonomi dan perdagangan Indonesia “masih berkiblat pada China”.
Perdagangan Indonesia, menurut Andry, langsung terdampak ketika permintaan domestik dari China menurun.
Indonesia kesulitan melarikan produk ekspor mengingat ketergantungan yang tinggi terhadap China.
Andry menekankan, perlu antisipasi jika kelak Trump yang memenangi Pilpres AS.
Ia menduga kebijakan pembatasan produk-produk China yang diterapkan Trump berpotensi “lebih ekstrem dan akan cukup berdampak bagi Indonesia”.
“Kalau Harris terpilih, kita akan melihat business as usual saja gitu. Tapi kalau Trump yang terpilih, siap-siap saja.”
Baca juga:
Perang dagang antara AS dan China memengaruhi sektor perdagangan global sejak 2018—saat Donald Trump menjabat presiden Amerika Serikat.
Andry mengatakan era Biden-Harris memang telah menaikkan tarif impor terhadap sejumlah produk China, namun dia memperkirakan jika Trump terpilih maka kebijakan pembatasan akan lebih ketat.
"China berpotensi lebih sulit menjual produknya dengan kondisi ketika Trump yang memimpin," jelas Andry.
Akibatnya, Indonesia diprediksi akan mendapatkan “limpahan produk-produk China lantaran kemungkinan besar sulit terserap di pasar Amerika".
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia.
Konsekuensinya, menurut Andry, industri dalam negeri akan kian tertekan.
"Sekarang kan dengan daya beli yang rendah ya, mereka akan banyak membeli produk-produk China. Karena harganya jauh lebih rendah. Produk-produk ini kan disupport kebijakan dumping," cetus Andry.
Dumping adalah praktik dagang eksportir dengan cara menjual barang di luar negeri dengan harga yang lebih murah dibandingkan harga di dalam negeri.
Praktik ini dianggap sebagai hambatan lantaran merupakan praktik perdagangan yang tidak jujur dan tidak adil.
Praktik dumping dianggap akan membahayakan kelangsungan industri dalam negeri dari negara tujuan karena produsen lokal tidak dapat bersaing.
“Harus berhati-hati karena banyak negara kan sudah melakukan proteksionisme. Proteksionisme yang menurut saya belum terlihat juga di Indonesia,” tambah Andry.
Shinta dari KADIN mengungkapkan, kedua kandidat memiliki agenda ekonomi yang sama-sama berpotensi bisa mendatangkan restriksi atau pembatasan ekspor dan impor bagi Indonesia.
Hanya saja, kepemimpinan Trump diduga akan lebih “mudah merestriksi atau lebih tepatnya mencari celah untuk mencegah produk Indonesia masuk ke AS”.
Sementara pengamat hubungan internasional, Suzie Sudarman, memperkirakan jika Trump terpilih sebagai presiden, dia akan mudah melarang impor produk tertentu karena alasan “national security”.
Apa dampak Pilpres AS terhadap konflik Laut China Selatan?
Suzie Sudarman menilai Kamala Harris diprediksi tidak akan banyak memedulikan geopolitik di Laut China Selatan.
Sementara pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah, memprediksi Trump akan lebih "berani mengganggu kredibilitas dari nine dash line China”.
“Dengan berani berlayar di situ [Laut China Selatan], karena ini adalah hukum internasional,” terang dia.
Nine dash line atau sembilan garis putus-putus adalah klaim klasik China atas wilayah mereka di Laut China Selatan.
Pada saat yang bersamaan Trump, kata Rezasyah, diperkirakan bakal memperkuat aliansi bilateral, masing-masing dengan Filipina dan Vietnam.
Kemenangan Trump, menurut Rezasyah, akan berdampak pada ketegangan di kawasan, sebab China kemungkinan juga akan mencoba keberanian Trump.
"Misalnya dengan mengganggu Taiwan, dengan mengganggu aset-aset di Laut China Selatan. Memang suasana akan tegang, tapi untuk itu memang Trump membutuhkan coalition of the willing yang semakin banyak,” tambah dia.
Soal potensi ketegangan geopolitik jika Trump menang ini juga diutarakan mantan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, dengan asumsi Trump melanjutkan kebijakannya dalam periode pertama pemerintahannya.
Kemungkinan ketegangan itu muncul lantaran negara-negara sekutu di kawasan menghadapi ketidakpastian komitmen payung keamanan AS.
“Negara-negara sekutu di kawasan kemungkinan terdorong untuk mengembangkan kemandirian kemampuan pertahanannya, termasuk pada bidang ballistic missile technology dan maritim.
Ketegangan ini, menurut Marty, menganduk risiko “action-reaction”.
Apa dampak Pilpres AS pada kebijakan iklim?
Direktur pusat kajian wilayah Amerika di Universitas Indonesia, Suzie Sudarman, memperkirakan Indonesia akan semakin sulit menerapkan kebijakan penanganan krisis iklim dan mencapai target penurunan emisi, jika Donald Trump menang.
Sebab, arah kebijakan Trump disebut Suzie “hanya mementingkan kebutuhan korporasi” dan tidak mempedulikan persoalan lingkungan.
Dengan begitu, perusahaan tidak bakal dibebankan tanggung jawab menangani krisis iklim–termasuk upaya menekan emisi, menurut Suzie.
“[Dampaknya] ke Indonesia kita akan kena climate change karena emisi dilakukan negara-negara kaya. Kita kena imbasnya,” tukas Suzie.
Sebaliknya, Suzie meyakini jika Harris terpilih sebagai presiden, dia akan cenderung menempuh langkah menanggulangi krisis iklim.
"Kita [Indonesia] akan mendapat perhatian karena rain forest ada di kita. Juga ada upaya-upaya mengajarkan teknologi energi baru terbarukan yang kita butuhkan,” Suzie memprediksi.
Harris juga diyakini akan menjaga pola yang dibangun Obama–dalam perjanjian Paris–berlanjut melalui aturan-aturan dalam negeri yang membatasi ketamakan korporasi, menurut Suzie.
Beberapa di antaranya soal ketentuan tanggung jawab penurunan emisi dan kewajiban menyertakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).
Sebelumnya, ketua Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Dino Patti Djalal, sempat mengingatkan upaya Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca berpotensi terhambat jika Donald Trump kembali terpilih sebagai Presiden AS.
Indonesia sendiri berulang kali menyatakan komitmen untuk mengurangi emisi demi mengatasi krisis iklim. Salah satunya tertuang dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC).
Indonesia berkomitmen menurunkan target emisi dari semula 29 persen menjadi 31,89% pada 2030 melalui transisi energi terbarukan dan perdagangan karbon.
Langkah tersebut diharapkan mampu mempercepat tercapainya Net Zero Emission pada 2060 atau lebih cepat dengan dukungan internasional.
Apa yang perlu disiapkan Indonesia?
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan pemerintah Indonesia memantau perkembangan Pilpres AS, yang diperkirakan bakal mengubah kebijakan pemerintahan negara itu jika berganti kepemimpinan.
Menurut Airlangga, penurunan jumlah kelas menengah di Amerika saat ini akan mengurangi permintaan sejumlah barang dan jasa di Indonesia. Sebab, Indonesia— dan negara-negara ASEAN—masih mengandalkan konsumsi di AS, Eropa, dan China.
"Itu makanya pekerjaan presiden terpilih itu penting untuk mengangkat kelas menengah. Nah, bagi Indonesia, tentu kelas menengah yang turun akan mengurangi demand terhadap produk-produk Indonesia," ujar Airlangga di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (05/11), seperti dikutip dari Kompas.com.
Sementara itu, ketua asosiasi pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani mengingatkan Indonesia perlu menavigasi relasi bilateral Indonesia-AS sesuai karakter dan fokus kebijakan presiden AS terpilih.
Sementara, mantan menteri luar negeri Marty Natalegawa menyarankan pemerintah menyusun rencana kebijakan yang jelas seraya mengingatkan tidak ada yang bisa menebak secara pasti arah kebijakan presiden AS terpilih ke depan.
"Yang hanya kita bisa lakukan adalah kita identifikasi exposure kita, keterpaparan Indonesia atau keterpaparan Asia Tenggara terhadap apa yang sedang terjadi di Washington, itu di bidang apa saja," ujar Marty.
"Setelah kita ada bidang-bidangnya, baru kita memberikan penilaian, kalau Presiden Trump bentuknya kayak gimana, kalau Presiden Harris seperti apa. Ada skenario, dengan berbagai opsi-opsinya,” usul Marty.
“Jadi bagi negara seperti Asia, apa pun yang terjadi, apakah itu Presiden Trump atau apakah itu Presiden Harris, kita harus mengembangkan apa yang sebenarnya kita harapkan dan inginkan di kawasan,” tutur Marty.